Mohon tunggu...
Alif Rahman Muljawan
Alif Rahman Muljawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Seorang Mahasiswa di Administrasi Publik

Hobi menulis dengan berkaitan administrasi dan publik.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mengenal Trend Thrifting Pakaian yang Akan Dilarang, Bagaimana Dampaknya bagi Negara?

30 Maret 2023   15:37 Diperbarui: 30 Maret 2023   16:55 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Trend thrifting yang banyak terjadi di kota-kota besar di Indonesia akibat dari tingginya animo masyarakat terhadap barang-barang bekas dari luar negeri yang masuk ke Indonesia dan dijual dengan murah, sehingga masyarakat kita lebih memilih membeli barang atau pakaian bekas dari luar negeri karena beberapa barang bermerek dan harganya miring sehingga menjadi berjamur trend thrifting. Sehinga ini menjadi alternatif bagi yang ingin berbelanja baju branded dengan harga murah.Di sisi lain, thrifting juga dianggap sebagai salah satu alternatif berbelanja yang memiliki manfaat tersendiri terutama untuk lingkungan, karena menjadi metode reuse.

Hal ini menjadi polemik yang serius lantaran barang bekas yang dijual merupakan hasil impor dari luar negeri, akibatnya tentu berpengaruh terhadap ekonomi negara dan kerugian negara terhadap perekonomian dalam negeri. Sehingga dampak negatif yang dihasilkan adalah industri dari dalam negeri terpukul lantaran kalah bersaing dengan barang dari luar negeri, tentunya masyarakat kita akan tertarik membeli pakaian bekas yang murah.

Dampak Aspek Kesehatan

Pemerintah telah mewanti-wanti terhadap efek negatif ataupun dampak dari membelinya pakaian dari thrifting, selain alasan perekonomian pun masalah kesehatan mengitari yang membeli dan yang menjual, seperti kontaminasi bakteri baik dari negara asal ataupun melalui pengiriman yang sudah jelas bercampur dengan barang lain yang tidak steril. Berdasarkan hasil penelitian Kementerian Perdagangan, baju bekas impor ternyata mengandung bakteri yang tidak baik bagi tubuh manusia. Walaupun baju itu sudah dicuci berkali-kali, bakteri yang ada di baju tersebut tidak bisa hilang. Itulah dampak yang kita dapatkan dari aspek kesehatan, memang tidak langsung terkena, tetapi dalam jangka panjang bisa saja terjadi.

Adapun aturan mengenai pelarangan impor baju bekas impor telah tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 tentang impor pakaian bekas dilarang, dan yang sudah masuk harus segera dimusnahkan. Alasan dikeluarkan Permendagri ini sangat masuk akal memang selain untuk mengurangi peredaran barang thrift juga untuk masalah kesehatan seperti mikroba dan jamur yang tertinggal di pakaian dapat memicu penyakit kulit, termasuk selulitis, melalui kontak kulit. Beberapa komplikasi ini mungkin berbahaya dan bahkan tidak dapat disembuhkan. Penggunaan pakaian tersebut juga dapat menyebabkan penyakit virus termasuk kutil, herpes simplex, dan maloscum. Faktor mikroba dan bakteri yang tersisa pada pakaian bekas terlalu resisten dan tidak dapat dihilangkan dengan pencucian biasa dan harus didesinfeksi melalui proses antiseptik yang tepat. Pakaian yang bersentuhan langsung dengan kulit, termasuk pakaian dalam, memiliki risiko penularan penyakit yang lebih besar.

Dampak Ekonomi Negara

Dampak yang terjadi sangatlah besar, selain memperlambat perputaran ekonomi dalam negeri juga tidak memberdayakan produk lokal. Seperti dalam data badan pusat statistik (BPS), volume dan nilai impor pakaian bekas ke Indonesia relatif meningkat setiap tahunnya hingga memuncak pada 2019.

Pada tahun itu, impor pakaian bekas mencapai 392 ton dengan nilai US$6,08 juta. Sementara itu, pada 2021 BPS mencatat impor pakaian bekas Indonesia menurun dan hanya 8 ton dengan nilai US$44 ribu. Tentunya hal ini akan sangat merugikan, padalah dengan nominal yang segitu besarnya dapat digunakan untuk membuat perpuatan ekonomi sebuah negara semakin cepat dan meguntungkan negara dan masyarakat tentunya. Walaupun memang  telah diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor. Faktanya, meski ada larangan mengimpor pakaian bekas, barang tersebut dengan mudah ditemukan di sejumlah pasar di Indonesia, termasuk di kota-kota besar di Indonesia. Karena menurut peraturan tersebut penjualan barang bekas memang tidak dilarang oleh pemerintah, tapi untuk impor pakaian bekaslah yang dilarang.

Upaya pemerintah juga tidak membahas bagaimana menanggulangi mode cepat di Indonesia. Sisi positif kebijakan larangan thrifting juga memperkenalkan produk pakaian Indonesia melalui UMKM. Sehingga mau tidak mau, masyarakat membeli pakaian buatan dalam negeri. Karena pakaian bekas impor yang masuk ke pelabuhan harus dimusnahkan. Sebab, jalurnya tidak masuk lewat pintu resmi sehingga hitungannya adalah barang ilegal. Karenanya, uangnya yang dapat berputar di dalam negeri untuk memberdayakan produk lokal malah berlari ke luar negeri untuk membeli pakaian bekas yang telah dimasukan dalam tiap-tiap karung besar. 

Tentu kebijakan yang diambil pemerintah untuk melarang thrifting menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat sendiri, tetapi keputusan harus dibuat tegak tidak abu-abu, apakah dilarang atau diperbolehkan, kemudian dalam kebijakan pun harus meminimalisir dampak-dampak negatifnya, tidak hanya melarang kebijakan tersebut tetapi turut menghadirkan kebijakan atau rekomendasi terhadap pedagang yang terdampak.

Bagaimana kebijakan yang menghasilkan win-win solutions?

Dalam kebijakan yang akan dibuat oleh pemerintah terutama dalam pelarangan trend thrifting memiliki dampak positif dimana masyarakat akan beralih ke brand-brand lokal yang harganya tidak terpaut jauh dari harga pakaian hasil thrifting, tetapi disisi lain pedagang thrifting akan kehilangan sumber pencahariannya, pemerintah harus merangkul untuk dapat memberikan opsi-opsi lain bagi para pedagang thrift, tentunya dengan membangun citra brand lokal yang bergengsi sehingga pemakainya merasa bangga menggunakannya, membuat marketing dan packaging yang menarik dan banyak berkolaborasi dengan para seniman untuk mengangkat brand tersebut, mampu menekan bahan baku pakaian agar tetap murah sehingga konsumen dapat memilih dan memiliki banyak pilihan harga dari yang termurah hingga yang mahal dengan berbagai pilihan brand.

Sehingga solusi yang tepat adalah melarang pakaian bekas tetapi dari akarnya, yaitu melarang dari pintu pelabuhan dimana tempat tersebut adalah pintu masuk barang thrift dari kontainer yang didatangkan dari luar negeri karena pedagang menjual pun karena ada permintaan dari konsumen dan ada celah untuk menjualnya, tetapi pemerintah pun harus memberdayakan pedagang dengan memberikan opsi dengan menjual pakaian brand lokal dengan berkolaborasi antara pemerintah, produsen, dan penjual. Serta mampu mengontrol bahan baku atau bahan utama dari pakaian tersebut agar tetap terjangkau. Setelah itu pemerintah harus mampu mengangkat brand-brand lokal yang tentu akan membuat bangga pemakainya, tentu produsen dan penjual pun harus mempu memberikan marketing, produk, dan packaging yang menarik dan berkualitas tinggi. Sehingga masyarakat mampu memilih produk yang akan dipakai dan ekonomi dalam negeri dapat berjalan dengan berdayanya produsen lokal, hidupnya penjual, dan maksimalnya ekonomi berputar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun