Sejarah Angkringan
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia Angkringan adalah istilah umum berasal dari Bahasa Jawa “angkring” yang berarti alat pikul atau barang yang dipikul. Angkringan jaman dahulu memiliki ciri khas memakai gerobak pikul yang berisi makanan dan minuman hangat untuk dibawa berkeliling di sore atau malam hari. Angkringan terkenal dengan harga murah dan porsi makanan yang kecil, cocok untuk sekedar mengganjal perut.
Di jaman sekarang angkringan menjadi salah satu tempat favorit masyarakat dari segala usia. Di kota-kota besar banyak Food Vlogger yang kerap mengulas Angkringan sebagai upaya peningkatan daya tarik masyarakat mengingat jumlah angkringan yang menjamur di berbagai daerah terutama wilayah kampus. Angkringan kerap kali menjadi tujuan anak muda atau mahasiswa untuk sekedar berkumpul atau mengerjakan tugas.
Namun, angkringan di masa sekarang lebih banyak yang menggunakan gerobak dorong yang bertempat tetap di suatu lahan dengan kanopi sebagai atap atau terpal berwarna biru, hingga di beberapa daerah ada yang menyebut angkringan sebagai tenda biru. Umumnya angkringan menjual makanan dari makanan berat hingga makanan ringan seperti nasi kucing, berbagai macam jenis sate, gorengan, dan makanan siap saji lainnya serta minuman baik yang dingin maupun hangat.
Namun, ternyata di beberapa daerah ada perbedaan dari segi konsep hingga jenis makanan yang dijual. Berdasarkan pengalaman pribadi penulis, ia menyoroti beberapa perbedaan antara angkringan di wilayah Jawa Timur khususnya Surabaya dan Angkringan di wilayah Jawa Tengah yaitu di Yogyakarta. Penulis sendiri berasal dari Kabupaten Ngawi dan sering bepergian ke daerah Yogyakarta maupun Solo, namun kini jadi mahasiswa Universitas Airlangga di Surabaya. Perbedaan yang mencolok nampak dari segi tempat, dan makanan serta minuman yang dijual.
Angkringan Yogyakarta
Di wilayah Jawa Tengah khususnya di Yogyakarta yang sering dijuluki kota pelajar, atau di Solo, banyak tersebar angkringan yang buka dari sore hingga malam atau bahkan 24 jam. Terlebih di wilayah kampus, angkringan tersebar dengan berbagai konsep. Ada angkringan yang berlahan tetap di pinggir jalan dengan tenda, Adapun yang bertempat di suatu bangunan dengan tambahan kursi di sekitar bangunan. Sebutan yang umum didengar di wilayah Yogyakarta atau Solo terkait angkringan adalah Burjo/Warmindo.
Berdasarkan pengamatan penulis terdapat perbedaan yang signifikan dengan angkringan yang ada di wilayah jawa timur. Dari jenis makanan yang dijual, angkringan di wilayah Yogyakarta/Solo menjual berbagai jenis makanan seperti sate tempura, sundukan hati ayam, gorengan, nasi bakar, dan nasi kucing. Bahkan, beberapa angkringan menjual olahan mie instan dan nasi dengan berbagai lauk seperti ayam geprek, nasi goreng, atau ayam krispi. Adapun berbagai jenis minuman hangat mulai dari jahe, teh, jeruk, kopi, hingga wedang herbal lainnya. Tak lupa juga menjual minuman dingin dari es teh hingga minuman kemasan.
Angkringan Surabaya
Berbeda dengan yang ada di Yogyakarta, ternyata angkringan berkonsep jadul sulit ditemukan di wilayah Jawa Timur utamanya wilayah Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, dan Gresik. Di wilayah tersebut umumnya angkringan hanyalah warung kopi yang menjual minuman instan kemasan atau kopi bubuk. Jenis makanan yang dijual pun lebih sedikit, biasanya mereka hanya menjual dua atau tiga macam gorengan, dan roti kemasan. Jarang ada angkringan yang menjual nasi dan makanan berat atau sate-satean. Hal ini merupakan perbedaan yang sangat besar bagi mahasiswa yang sering merasakan jenis angkringan seperti di wilayah Yogyakarta, mengingat angkringan sering jadi destinasi untuk mengganjall perut di malam hari.
Angkringan di Surabaya seringnya menetap di suatu lahan dengan dapur kecil yang digunakan untuk membuat minuman dan mie instan. Umumnya angkringan menggunakan cat kuning yang mencolok dan terkesan ikonik. Masyarakat sering menyebutnya dengan “Bening” atau “STK” untuk menamai angkringan. STK atau Bening sendiri merupakan brand atau nama angkringan yang tersebar di wilayah Surabaya.
Perbedaan seperti ini tentu sering kita temukan di kehidupan sehari-hari, bukan hanya angkringan. Hal ini bisa terjadi karena pengaruh geografis, maupun budaya masyarakat setempat. Surabaya terkesan dengan kota Metropolitan dengan kegiatan masyarakat yang berlalu cepat hingga kurang waktu dalam bersantai dan menikmati waktu di angkringan. Sedangkan di Yogyakarta masyarakat sering mengunjungi angkringan baik untuk makan atau sekedar beristirahat dan berkumpul dengan teman. Bila Pun lapar, masyarakat Surabaya lebih memilih pergi ke warteg atau restoran untuk makan. Hal tersebut mungkin juga menjadi pengaruh dalam konsep angkringan yang tersebar di Surabaya dan Yogyakarta.
Angkringan sendiri sebenarnya umum dijadikan tempat berkumpul sambil menikmati cemilan yang disajikan, namun di era modern ini angkringan sering difungsikan sebagai tempat belajar bagi mahasiswa dan tak jarang diadakan acara Nobar sepak bola. Hingga akhirnya angkringan umum digunakan sebagai pusat aktivitas terutama bapak-bapak dan mahasiswa.
Namun, adanya perbedaan ini turut mewarnai budaya dan keragaman bangsa Indonesia. Perbedaan-perbedaan kecil seperti ini wajar terjadi, dari sabang hingga Merauke masih banyak perbedaan lainnya yang mungkin belum terungkap, dan sebagai masyarakat Indonesia adaptasi merupakan keahlian yang harus dikuasai. Indonesia memiliki banyak pulau, beragam budaya yang tersebar di seluruh Negara Indonesia. Perbedaan inilah yang menjadikan Indonesia unik dan berbeda dari yang lain. Sebagai generasi muda penerus bangsa, kita lah yang di masa depan melanjutkan budaya dengan inovasi dan keragamannya, maka dari itu perbedaan bukanlah alasan perpecahan, melainkan sebuah cikal bakal adanya persatuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H