Persia? Pernah dengar, tapi dimana? Kata Persia sudah pasti sangat jarang kita dengar, mungkin sebagian orang mengerti lewat video game atau pun film yang memiliki background kota Persia, contoh saja Prince of Persia.
Mungkin beberapa dari kita yang lain lagi mengerti dari mempelajari tentang budaya Islam dan menjadi tidak asing dalam mendengar kata Persia ini.
Namun tahukah anda tentang Persia? Atau yang saat ini lebih dikenal sebagai negara Iran? Ya, bagi masyarakat dunia maupun Indonesia dalam memandang negara Iran pasti akan langsung terbesit kata Syiah, salah satu golongan dalam ajaran agama Islam. Suatu golongan yang ajarannya telah resmi dianggap "sesat" oleh negara kita ini.
Namun, masyarakat Indonesia saat ini masih banyak yang tidak mengetahui bahwa Muslim Persia atau yang saat ini lebih dikenal sebagai Iran lah yang pertama kali memperkenalkan kita kepada dunia Islam melalui aktivitas perdagangan di pulau Sumatra.
Sudah ada banyak bukti yang memperkuat kondisi ini, namun secara umum bisa dikatakan bahwa “gairah ilmiah” umat Islam di Indonesia saat ini untuk sekedar memahami dirinya sendiri dan juga “saudara-saudaranya” di berbagai belahan dunia lain, masih tergolong rendah.[1]
Tesis paling umum untuk membuktikan bahwa terdapat pengaruh Persia dalam budaya Islam Nusantara ialah pendapat bahwa masuknya Islam ke Nusantara sendiri adalah melalui Persia, atau dari Gujarat India yang sudah terpengaruh oleh Persia.
Dalam teori ini Islam masuk ke Nusantara abad 13 M dan pembawanya berasal dari Persia. Dasar teori ini adalah beberapa kesamaan budaya Persia dengan budaya masyarakat Islam Indonesia. Pendukung teori ini antara lain adalah P. A. Hoessein Djajadiningrat.
Dalam konteks yang sama K.H. Abdurahman Wahid (Gus Dur) pernah menyatakan bahwa NU (Nahdlatul Ulama') secara kultural adalah Syiah. Hal itu karena tradisi Syafi'i di Indonesia sendiri berbeda dengan tradisi Syafi’i di negeri-negeri lain corak budaya Syafi'iah di Indonesia sangat didominasi oleh tradisi-tradisi Syiah. Dan ada beberapa shalawat khas Syiah yang sampai sekarang masih dijalankan di pesantren-pesantren. Masih terdapat wirid-wirid tertentu yang jelas menyebutkan lima keturunan Ahlul Bait.
Sementara itu coraknya pun masih dapat ditelaah lewat masih eksisnya tradisi ziarah kubur di Nusantara serta membuat kubah pada kuburan. Menurut beliau, itu semua tradisi Syiah. Tradisi itu lahir di sini dalam bentuk Mazhab Syafi’i. Jadi, di luarnya Syafi’i namun di dalamnya Syiah.[2]
Persinggungan antar para pedagang yang kebanyakan dari Persia dengan penduduk Nusantara semenjak abad ke-7, dapat diasumsikan mengakibatkan terjadinya proses saling mempengaruhi baik itu dalam aspek ekonomi, sosial, budaya, religi, dan terutama bahasa di antara keduanya.
Dalam konteks bahasa, pengaruh Persia di Nusantara cukup signifikan karena tidak saja sejumlah kata Persia diserap menjadi kosa kata Nusantara, melainkan pola peminjaman kata Arab pun dicapai melalui bahasa Persia.
Beberapa contoh yang paling dikenal dalam hal ini adalah kata kanduri (kenduri), astana (istana), bandar (pelabuhan), bedebah, biadab, bius, diwan (dewan), gandum, jadah (anak haram), lasykar, nakhoda, tamasya, saudagar, pasar, syahbandar, pahlawan, kismis, anggur, takhta, medan, firman, dan lain sebagainya.[3]
Di daerah Jawa sendiri, pengaruh sufisme Persia ini tampak dalam berkembangnya paham "manunggaling kawulo gusti." Paham ini kadang disebut juga sebagai pamoring kawulo gusti, jumbuhing kawulo gusti, curiga manjing warangka, warangka manjing curiga.[4] Tegas sekali paham ini menampakkan pengaruh Al-Hallaj dengan ajaran hulul-nya. Tokoh sufi Jawa yang sering dianggap sebagai penyebar ajaran ini adalah Syekh Siti Jenar.
Terdapat fakta indah yang lahir di awal pertemuan Persia Islam yang datang ke Nusantara tanpa menyinggung perihal kekerasan, namun memilih untuk melewati jalur Keindahan-Budaya selayaknya dijadikan semacam dasar percontohan dan modus pergaulan antar umat Islam di tengah segala perbedaan yang muncul saat ini, khususnya dalam hal harmoni, saling memahami dan saling menghargai.
Tidak dapat dipungkiri, keadaan ukhuwwah di antara kaum muslimin saat ini berkembang ke arah yang lebih tertutup, kaku, formal, saling klaim kebenaran sendiri, mengedepankan prejudice dan kecurigaan kepada yang lain, mencari sebanyak mungkin kesalahan “yang lain” serta menutup diri dari segala wawasan dan pengetahuan baru apapun yang dianggap mengancam kemapanan ideologisnya.
[1] Fahruddin Faiz, “Sufisme-Persia Dan Pengaruhnya Terhadap Ekspresi Budaya Islam Nusantara”, Jurnal Esensia, Vol. 17, No. 1 (April 2016), hlm. 3.
[2] Yayan Sopyani Al-Hadi, “Kutip Gus Dur, NU Disebut Syiah Tanpa Imamah”, dalam http://www.rakyatmerdeka.co.id/news/2010/01/01/85823/Kutip-Gus-Dur-NU-Disebut-Syiah-Minus-Imamah/, akses 06 April 2019.
[3] Agus Sunyoto, “Pengaruh Persia pada Sastra dan Seni Islam Nusantara”, Al-Qurba, Vol.1, No. 1 (2010) , hlm. 130.
[4] Sudirman Tebba, “Syekh Siti Jenar, Pengaruh Tasawwuf al-Hallaj di Jawa” (Jakarta: Pustaka Irvan, 2008), hlm. 91.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H