Mohon tunggu...
Aliffia Zahrah Nur Afifah
Aliffia Zahrah Nur Afifah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Alumni SMA Daarul Qur'an

Be The Better Person

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Review Buku "Pribadi dan Martabat Buya Hamka"

12 November 2020   10:22 Diperbarui: 12 November 2020   10:29 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

REVIEW BUKU " PRIBADI DAN MARTABAT BUYA HAMKA "

PENDAHULUAN 

Buku yang dilaporkan adalah buku yang berjudul Pribadi dan Martabat Buya Hamka yang ditulis oleh anaknya yang bernama H. Rusyidi Hamka. Buku ini diterbitkan pada September 2018 oleh penerbit Noura ( PT Mizan Publika ) dengan tebal 387 halaman.

Buku ini menjelaskan tentang sejarah lisan perjalanan Buya Hamka yang ditulis langsung berdasarkan pengalaman anaknya yaitu H. Rusyidi Hamka.

Dalam buku ini penulis menyajikannya dengan bahasa yang sangat ramah kepada pembaca sehingga dapat tersampaikan dengan baik apa yang ingin di sampaikan oleh dirinya sendiri dengan memoar ingatan kepada sang ayah. Buku ini juga mendapat banyak sejarah lisan langsung oleh anak dan istri Buya Hamka yang dituangkan kedalam tulisan -- tulisan penulis.

Tulisan ini juga disusun seperti yang terdapat dalam lembaran -- lembaran berikut ; setiap selesai satu judul, penilis bacakan di hadapan saudara -- saudara dan ibu kami. Merekalah yang menambah atau membesarkan peristiwa -- peristiwa yang penulis ungkapkan, sesuai dengan ingatan mereka masing -- masing. Di dalam buku ini, kita juga mendapat gambaran sosok Hamka sebagai ulama yang benar -- benar hidup di tengah umat.

Selain itu isi buku ini juga melihatkan dengan menggunakan beberapa bagian seperti bab 1 dan bab 2 serta terdapat lampiran -- lampiran.

BAB I : Catatan Latar Belakang Kehidupan Hamka " Di usia belasan tahun, Hamka sudah merantau ke Makkah, meski meras kehilangan, ayahnya bangga karena Hamka mampu berpijak pada kakinya sendiri.

Syaikh Abdulkarim Amrullah, tokoh pelopor dari Gerakan Islam ( Kaum Muda ) di Minangkabau yang memulai gerakannya pada 1906 setelah kembali dari Makkah. Penulis juga menjelaskan tentang kelahiran putranya yang bernama Abdul Malik pada zaman itu dengan adanya pertentangan kaum muda dan kaum tua. 

Dijelaskan juga terbitnya majalah Al Munir pada April 1911. Sejak itu, Abdul Malik alias Hamka menyaksikan kegiatan ayahnya dalam menyebarkan paham dan keyakinan. Pada 1922 dia pun melihat bagaimana Ayahnya menyambut kedatangan guru dan sahabtnya, Syaikh Thaher Jalaludin AL- Azhary dari Malaya.

Penulis menuliskan bahwa pada 5 April 1929, Buya Hamka menikah dengan almarhumah Siti Raham. Mereka menikah pada usia muda. Buya Hamka 21 tahun dan istrinya 15 tahun. 

Kemudian, ayahnya aktif sebagai pengurus Muhammadiyah Cabang Padang dan sibuk mempersiapkan kongres Muhammadiyah ke -- 19 di Minangkabau. " Ayah selalu diutus untuk untuk menghadiri Kongres Muhammadiyah " seperti tahun 1930, ayah diutus oleh Cabang Muhammadiyah Padang Panjang mendirikan Muhammadiyah di Bengkalis. Setelah itu ayah langsung menghadiri Kongres Muhammadiyah ke -- 20 di Yogyakarta. 

Waktu itu, dia berdoa di bawah lindungan Ka'bah agar sisa umurnya bermanfaat untuk meneruskan cita -- cita yang telah dirintis oleh ayahandanya melalui Sumatera Thawalib dan organisasi Muhammadiyah.

Disini juga diceritakan bahwa  Buya Hamka adalah seorang yang rajin sholat tahajjud, baik itu di rumah atau sedang dalam perjalanan. Ia juga mempunyai ingatan yang tajam dan seorang yang cerdas, ia sangat suka menceritakan kembali sejarah -- sejarah saat melakukan perjalanan. Dalam menempuh hidupnya Buya Hamka pernah sulit juga, pernah miskin, pernah menjadi Pegawai Negeri, pernah juga masuk penjara.

Tongkat -- Tongkat Buya : " Tongkat yang telah menopang tubuhnya selama 23 tahun. Dengan itu pula, Buya Hamka menjangkau dunia.

Saya ( penulis ) mengenal dan hampir hafal jalan -- jalan di Rimba Malalak, Ranah, atau Air Badarun, untuk sampai ke Bukit Tinggi. Tongkat bukan hanya untuk menopang langkah ketika mendaki, atau untuk menahan keseimbangan bila menurun, tetapi juga berguna sebagai senjata. Terutama untuk menghadapi binatang -- binatang berbisa, seperti ular dan kalajengking. 

Bila sampai di jalan rata, tongkat itu digantungi beberapa barang bawaan kami, seperti bekal dalam perjalanan, ataupun oleh -- oleh untuk keluarga dan kerabat di kampung.

Suatu hari pada tahun 1960, ayah ( Buya Hamka ) jatuh tergelincir dari tangga selepas mengingami sholat maghrib, akibatnya dokter mengatakan ada tulang yang patah disekitar ruas tumitnya dan harus di gips. Almarhumah Isa Anshary berkata " Biasanya kaki yang sudah patah itu semakin kuat, karena itu saya harap kakanda melangkah terus " sedangkan Presiden Soekarno pernah meminta ayah tak memakai tongkat, " Kelihatan lebih tua ", ujarnya.

Dalam bab ini juga penulis menjelaskan tentang Almarhumah Ummi Hajjah Siti Raham, yang mendampingin kehidupan Buya Hamka selama 43 tahun, dan melahirkan 10 orang anak. Itu belum termasuk 2 orang anak yang meninggal, dan 2 orang anak yang keguguran.

Almarhumah adalah sosok yang sangat sabar menemani jalan karier seorang Buya Hamka, disini di ceritakan bahwa Siti Rahma mampu menguatkan anak -- anak nya saat keadaan tidak baik sekalipun. Ia juga selalu menjaga kehormatan sang ayah Hamka. 

Tetapi ibu yang sudah mulai sakit -- sakitan harus menghembuskan nafas terakhirnya karena penyakit komplikasi yang di deritanya, antara lain diabetes dan darah tinggi serta menyerang ke jantung. Ummi harus menyerah pada 1 Januari 1972 pukul 07.45 di ruang Cendrawasih Rumah Sakit Umum Pusat Jakarta pada usia 58 tahun.

Setelah kepergian Ummi Siti Rahma, Buya Hamka yang terus sedih di suruh menikah oleh anak -- anak dan menantunya. Setelah 1,5 tahun Ummi meninggal tepatnya tahun 1973 lalu ayah menikah lagi dengan seorang wanita dari Cirebon, bernama Hajjah Siti Khadijah. Lalu Buya Hamka meninggal pada 24 Juli 1981 di hari Jum'at pada usia 73 tahun 5 bulan, setelah 8 tahun pernikahannya dengan Ibu. Ibu juga adalah sosok yang hebat menemani sisa hidup ayah.

Buya Hamka juga pernah menjadi pegawai negeri. Tetapi, saat itu sekitar tahun 1959 pemerintahan Soekarno mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang menyuruh Ayah ( Buya Hamka ) memilih antara jabatan pegawai negeri golongan F atau anggota partai, ummilah yang menentukan pilihan terakhir yaitu tetap menjadi Hamka. 

Itu berarti Buya Hamka memilih melepas jabatan nya dan tetap menjadi anggota partai Masyumi. Buya Hamka juga pernah di penjara dengan tuduhan mengepalai gerombolah untuk membunuh Soekarno yang didanai ileh Tengku Abdul Rahman dan memimpin rapat bersama teman -- teman nya ; Ghazali Sahlan, Dalali Umar, dan colonel Nasuhi yang tentu saja tuduhan itu tidak benar. Bahkan ayah terpaksa membuat pengakuan palsu karena menghindari penyiksaan fisik.

BAB II :

Dalam bab ini penulis menceritakan perjalanan ayahnya dalam menjalankan kehidupan sehari -- hari. Umat islam harus punya harga diri ; muru'ah. Jangan lengah dan lalai dalam wawasan, agar bisa berdiskusi dengan banyak kalangan, terutama mereka yang hendak memecah belah persatuan umat islam.

Dalam kedudukan nya sebagai Pegawai Negeri Tinggi Kementerian Agama, ayah ( Buya Hamka ) sempat mengunjungi Amerika Serikat selama empat bulan. Hasilnya berupa buku Empat Bulan di Amerika yang diterbitkan oleh Penerbit Tintamas, Jakarta. Namun sebelumnya, Ayah diangkat menjadi anggota Majelis Haji ( MPH ).

            Kegiatan yang lain sekitar tahun- 50 an, ialah menjadi Dosen Perguruan Tinggi Islam, antara lain UIN Jakarta yang dipimpin oleh Prof. Dr. Hazairin S. H., Perguruan Tinggi Agama Islam Yogyakarta, Universitas Muhammadiyah Padang Panjang, dan Universitas Muslim Ujung Pandang. Waktu itu ayah menjadi dosen terbang.

            Buya Hamka juga pandai bahasa dibandingkan teman -- teman yang lainnya. Sebagai anggota biasa Partai Masyumi, ayah terpilih menjadi anggota Konstituante dalam Pemilihan Umum 1955. Seingat penulis, 4 kali ayahnya mendapat kepercayaan dari Fraksinya untuk berpidato dalam Sidang Umum lembaga pembuat UUD itu. Buya Hamka juga memakmurkan masjid, dengan menyatukan kaum gedongan dengan penduduk asli Betawi.

Anak kesebelas ; anak kandung Buya Hamka berjumlah sepuluh orang, tapi dia selalu punya anak kesebelas, yakni mereka yang diizinkannya tinggal di rumah sampai menapaki jalannya sendiri. Mungkin ini yang menyebabkan kehidupan kami tak pernah kekurangan, meski melewati zaman sulit.

Ada seorang keturunan China yang rupanya tertarik masuk islam karena menggemari ceramah -- cermah ayah di televise. Saya tidak tahu nama aslinya, tapi setelah disyahadatkan diberi nama Mohammad Yusuf. Dia tidak puas dengan nama itu lalu memohon ahar di belakang namanya ditambah Hamka, jadi Mohammad Yusu Hamka. Mulanya ayah kebertan karena itu hak dari anak -- anaknya tetapi setelah dia merasa dirinya anak kesebelas, ayah meyakinkan Yusuf bahwa " anak kesebelas " itu tidak berarti adopsi atau anak angkat. Setelah itu Yusuf menjadi giat mendakwah diantara kaumnya.

Rumah Buya Hamka sendiri menjadi tempat rumah konsultasi, tak pernah sepi dari tamu yang dating dari segala penjuru untuk berdiskusi atau konsultasi dengan Buya Hamka.

Selanjutkan dalam bab ini juga menjelaskan bagaimana Buya Hamka memilah menantu serta mendakwahkan ajaran agama islam kesana kemari. Bukanlah seorang Buya Hamka kalau dia tak berjuang mati -- matian untuk membela agamanya, walaupun nyawa menjadi resikonya.

LAMPIRAN -- LAMPIRAN

Lampiran I                  Catatan dalam Tahanan Rezim Soekarno

: Saat Buya Hamka di tangkap karena fitnah penyerangan bung karno pada 27    Januari 1964.

Lampiran II                 Sambutan Sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Tanggal 27 Juli 1975

: Berisi tentang sambutan Buya Hamka sebagai Ketua Umum Majelis Ulama pada tanggal 27 Juli 1975.

Lampiran III                Toleransi

 : Toleransi antar umat beragama.

Lampiran IV               Surat Pribadi kepada Presiden Soeharto

: Surat pribadi dari Buya Hamka untuk Presiden Soeharto tentang kepercayaan, agama dan kenegaraan.

Lampiran V                 Pembahasan dari Hal Intisari UUD'45

 : Membahas tentang undang -- undah dasar 1945

Lampiran VI               Kepada Pangkopkamtib Sudomo

: Surat Buya Hamka kepada Pangkopkamtib Sudomo  tentang rasa keberatan -- keberatan Buya Hamka terhadap ucapan Pangkopkamtib Sudomo

Lampiran VII              Jawaban dari Pangkopkamtib Sudomo

: Berisi tentang jawaban surat Buya Hamka yang menjelaskan tentang permasalahan kesalah pahaman dan dimaksudkan untuk dapat menjernihkan keadaan.

Lampiran VIII             Karya Hamka Sejak Tahun 1925 ( 17 tahun )

: Kumpulan karya -- karya Buya Hamka dari umur 17 tahun hingga akhir hayat dengan jumlah 118 jilid tulisan -- tulisan yang telah dibukukan dan masih ada dalam Majalah Panji Masyarakat.

Lampiran IX               Coretan Tangan Buya Hamka

: Coretan tangan Buya Hamka dengan huruf latin dan Arab Jawi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun