Dua guru sedang berbincang di warung sego pecel.
A: Sudahlah, stop memperdebatkan UN atau UNBK. Berhentilah...
B: Gak bisa begitu donk. Ini persoalan serius, kawan.
A: Ini biasa saja kok. Lihatlah, yang berteriak dan protes paling kuat jangan-jangan mereka yang memiliki ketakutan paling besar.
B: Sebentar, saya gak paham dengan ketakutan yang kamu maksud. Jangan-jangan terbalik. Buktinya mereka berani menyampaikan pendapat dan bahkan mengkritik pemerintah.
A: Tidak. Mereka sesungguhnya menunjukkan ketakutan. Ya, takut kalau nilai anak didiknya tidak sempurna. Takut kalau sekolahnya dianggap menurun nilai UN-nya. Takut sekolah binaannya dianggap gagal. Takut dengan pemerintah daerah yang memberikan dana lebih. Takut dengan orangtua murid, dan seterusnya.
B: Menurut aku, tidak begitu cara memahaminya. Kita mempersiapkan diri menghadapai ujian. Kita ajarkan materi sesuai dengan kisi-kisi kementerian pendidikan. Kita mengajar sesuai kurikulum. Maka, seharusnya anak diuji sesuai dengan apa yang dia pelajari. Kalau tidak sesuai, namanya tidak adil. Kita mengkritik untuk perbaikan dan keadilan. Bukan takut.
A: Kalau tidak takut, seharusnya santai saja. Saya masih melihat ketakutan terhadap UN ada dimana-mana. Ketakutan inilah yang menyebabkan terjadinya kecurangan, mencontek massal, dan bocornya soal. Ketakutan itu semakin terlihat jelas bagi sekolah-sekolah yang mengukur kesuksesannya melalui nilai UN semata. Seolah-seolah tujuan meluluskan siswa adalah hanya untuk mendapatkan nilai bagus saat UN. Kita mau memperjuangkan kualitas pendidikan atau memperjuangkan UN?
B: Aku tetap tidak suka dengan istilah ketakutan.
A: Silakan tidak setuju. Lihat faktanya, UN melahirkan berbagai macam tekanan. Orangtua menekan anak. Guru menekan anak juga. Guru ditekan oleh pimpinan sekolah. Pimpinan sekolah ditekan oleh yayasan. Pimpinan sekolah ditekan oleh dinas pendidikan daerah. Sekolah ditekan pasar agar selalu bagus. Tekanan-tekanan inilah yang secara tidak sadar menimbulkan ketakutan.
B: Bukan itu yang menjadi persoalan. Saat ini, muncul soal yang terlalu sulit bagi siswa. Siswa tidak pernah belajar dengan cara berpikir setinggi itu. Gurunya tidak pernah diminta dan disiapkan untuk mengajarkan hal tersebut. Jadi, bukan takut. Kalau memang mau mengeluarkan soal dengan level tinggi sebanyak 10%, misalnya, sampaikan kepada kami sebagai guru agar kami menyiapkan anak didik kita.
A: Betul, saya setuju. Saya kira, protes menggunakan cara-cara yang baik tanpa ada hinaan kepada pihak lain, harus diutamakan. Sikapilah dengan bahasa yang baik di media sosial. Sebagian besar anak didik kita sudah mengenal media sosial. Mereka akan belajar cara kita merespon sesuatu.
Saya tetap berpendapat, tolong hentikan riuh rendah ini! Gak perlu panjang lebar. UN hanya berkontribusi kecil dalam proses pembelajaran dan pendidikan. Memperbaiki proses belajar, memperbaiki cara kita mengajar dan mendidik, serta mencontohkan hal yang baik, jauh lebih penting.
Satu lagi, saking takutnya, pendalaman materi diadakan sedemikian panjang dan melelahkan.
B: Please, jangan pakai kata takut lagi.
A: Terserah kamu. Bagi mereka yang selalu memperbaiki proses pembelajaran dari hari ke hari dan minggu ke minggu. Juga selalau melakukan perbaikan proses belajar sejak kelas satu dan terus berkelanjutan. Maka, UN adalah hal yang biasa. Ketakutan---atau ya.. kekhawatitanlah kalau kamu tidak suka---muncul karena proses belajar yang biasa-biasa saja dan mungkin saja proses yang kurang baik. Sehingga kelas 6, kelas 9, atau kelas 12, adalah tahun-tahun sibuk.
Mindset ini yang harus diperbaiki.
B: Tapi, kita tidak bisa menghindari UN. Maka, kita harus mempersiapkannya.
A: Cara mempersiapkannya juga gak harus begitu amat.
B: Tapi efektif dan terbukti berhasil.
A: Berhasil dari ukuran apa? Apa yang didapat anak dengan model pembelajaran bongkar muat soal?. Menghafal sebanyak mungkin, mengulang-ulang cara mengerjakan soal. Dan waktu pendalamannya, cukup melelahkan. Proses ini bisa sia-sia. Tidak ada level berpikir yang meningkat.
Ingat ya, ketika anak-anak belajar hanya dengan model menghafal sebanyak mungkin, maka siswa hanya takut "lupa", bukan takut tidak bisa belajar.
B: Jangan melihat satu sisi saja donk. Kita juga ada ujian praktik. Â Jangan melihat ujungnya saja. Kita kan juga melatih anak untuk mempersiapkan segala sesuatu sebelum menghadapi tantangan besar.
A: Ketika menghadapi tantangan, Apakah respon seperti ini yang dibutuhkan anak? Apakah kita terus mengajarkan sistem, kata orang dulu, SKS (sistem kebut semalam). Sekarang menjadi SKS (sistem kebut setahun---atau 6 bulan). Pasti ada cara yang lebih baik yang harus kita ajarkan dalam merespon tantangan.
Ingat kawan, mendidik itu untuk mengubah karakter, menaikkan level berpikir, dan meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah sehari-hari. Jadi, kita harus bisa membedakan antara "mengajar" dengan "mengajar untuk ujian saja".
B: Gak sesederhana itu, fren. Perbaikan pendidikan harus menyeluruh. Infrastruktur, guru, dan pemerataan.
A: Ya sudah, bagaimana kalau bapak yang bayarin nasi pecel ini ya... hitung-hitung pemerataan insentif ujian.....
hehehe
salam. www.sejutaguru.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H