Mohon tunggu...
ali fauzi
ali fauzi Mohon Tunggu... -

Seorang guru, orang tua, penulis lepas, dan pengelola www.sejutaguru.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hanya Guru yang Mampu Menyelamatkan Bangsa Ini

20 Maret 2018   13:52 Diperbarui: 20 Maret 2018   14:04 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sejutaguru.com|| Kenapa bukan orangtua, saudara, guru ngaji, guru sekolah, ormas tertentu, atau presiden? Inilah jawabannya.

Kenapa hanya "Guru" yang mampu menyelamatkan?

Karena jiwa gurulah yang memandang dunia dan interaksi di dalamnya sebagai pendidikan dan sebuah proses pendewasaan berpikir.

Ada orang dewasa yang selalu memandang dunia sebagai sebuah pasar. Maka ukuran segala-galanya adalah uang. Ada yang memandang dunia sebagai ladang untuk tabungan kehidupan akhirat. Maka kesalihan dan ibadah adalah ukuran kesuksesan. Namun, ada juga yang memandang dunia sebagai medan pertempuran. Apa saja boleh dilakukan, asalkan lawan kalah. Ada juga yang memandang dunia sebagai sebuah panggung sandiwara. Pokoknya harus pura-pura.

Setiap orang pasti memiliki pilihan sikap yang berbeda ketika dalam kondisi yang berbeda. Kadang berada di sekolah, pasar, tempat ibadah, atau medan tempur. Memang begitulah seharusnya. Namun, jiwa seorang guru tetap memilih proses baik dan kebaikan itu sendiri sebagai tujuan utamanya.

Kenapa hanya "Guru" yang mampu menyelamatkan?

Karena ketika seorang guru bermedia sosial, maka dia tetap akan menjadikannya tempat belajar. Seorang guru akan berpikir bahwa apapun yang saya share dan tulis akan menjadi bahan ajar bagi orang lain.

Ketika memposting resep masakan, maka pembacanya suatu saat akan mencobanya. Ketika yang diposting adalah kesedihan, maka orang lain akan belajar cara menyikapi kesedihan. Ketika memposting kebencian, hinaan, dan cemoohan, maka pembacanya pasti menyimpan cara-cara kita bersikap dan kearifan dalam menyikapi sesuatu.

Dan pribadi yang berjiwa guru akan mempertimbangkan itu semua.

Namun, jika orang dewasa bermedia sosial dan menganggapnya sebagai medan pertempuran, maka tujuan utamanya adalah mengalahkan lawan. Tidak ada lagi ukuran kebenaran dan kebaikan, yang ada adalah kemenangan dan kekalahan.

Mereka lupa, medan pertempuran itu bagi orang lain bisa menjadi tempat belajar bagi murid-murid yang tidak kelihatan. Kalau banyak orang dewasa berulang-ulang memposting hinaan, fitnah, kebohongan, dan tuduhan tanpa data yang akurat, maka itulah pelajaran yang anda berikan kepada pembaca anda. Bahwa hal itu sah-sah saja.

Kenapa hanya "Guru" yang mampu menyelamatkan?

Karena jiwa gurulah yang akan mengerem kita, mengerem jari kita di medsos.

Jika anda orang dewasa dan berperan sebagai orangtua, maka ingatlah bahwa apapun yang anda lakukan dan katakan, baik di medsos maupun di dunia nyata, maka anak-anak anda dan anak-anak orang lain akan menjadikannya sebagai referensi hidup.

Jika anda orang dewasa dan berperan sebagai guru profesional, maka setiap tingkah laku dan tutur kata anda, di dunia maya maupun di dunia sesungguhnya, akan dibaca, dilihat, dan ditiru oleh murid-murid di seluruh penjuru dunia.

Jika anda orang dewasa berperan sebagai apa saja, ingatlah bahwa dunia maya telah menjadi sama dengan kehidupan sehari-hari. Kalau anda membangun kesan perang, maka sama dengan mendidiknya untuk berperang.
Dan masalah sesungguhnya bisa saja meletus dan menimpa anda bahkan ketika anda mulai menyesalinya.

Kenapa hanya "Guru" yang mampu menyelamatkan?

Karena jiwa gurulah yang selalu menginginkan keindahan dan kebaikan dengan tulus. Guru adalah sebuah peran yang menunjukkan, mengantarkan, mencontohkan, dan menguatkan kebaikan.

Lingkaran pertama jiwa guru adalah orangtua, keluarga, dan saudara. Berikutnya adalah guru sekolah, madrasah, pesantren, dan lembaga pendidikan lain. Berikutnya lagi adalah lingkungan dan masyarakat.

Celakanya, ketika media sosial menjadi tempat berbagi banyak hal, maka jutaan orang telah menjadikan media sosial sebagai guru pertama tempat belajar.

Akibatnya, muncul kenyataan, anti sosial tidak masalah asalkan eksis di medsos. Rela membantah dan tidak menghormati orangtua karena berbeda pandangan politik. Rela tidak mengakui saudara hanya karena berbeda pilihan. Terbiasa menghina orang lain yang berbeda pandangan. Tidak menghormati guru dengan alasan harga diri. Akhlak sudah bukan hal penting lagi.

Kalau dipikir-pikir, saat ini, hampir sebagian besar efeknya adalah munculnya generasi yang memandang dunia sebagai medan pertempuran.

Dan jiwa guru, sekali lagi, masih berkeyakinan bahwa jumlah orang yang mampu mengendalikan diri saat bermedsos masih sangat banyak.

Kenapa selalu orang dewasa?

Karena kualitas budaya suatu bangsa ditentukan sebagian besar oleh kualitas interaksi antara orang dewasa dengan generasi di bawahnya.

Kini, koneksi digital mendominasi bentuk interaksi sosial. Tulisan dan postingan di media sosial telah menjadi faktor penting perubahan budaya suatu masyarakat. Apa yang kita tanam, itulah yang kita panen.

Jika kita menanam kesantunan dan akhlak yang baik, maka kita memanen ketenteraman dan kedamaian. Jika yang kita tanam adalah kebencian, kebohongan, dan kebiasaan merendahkan orang lain, maka kita akan memanen kecurigaan dan perpecahan.

Ingatlah pepatah lama ini, "butuh satu kampung untuk membesarkan satu anak, agar dia tumbuh menjadi anak yang baik"

Medsos adalah satu kampung besar. Jangan lupakan itu.

Ingat, bahwa penentu perubahan tetaplah Allah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun