Mohon tunggu...
ali fauzi
ali fauzi Mohon Tunggu... -

Seorang guru, orang tua, penulis lepas, dan pengelola www.sejutaguru.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Alasan Tulisan Bernuansa Politis Lebih "Menggoda"

17 November 2017   08:36 Diperbarui: 17 November 2017   09:17 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

www.sejutaguru.com|| Whatsapp dan facebook mencatat sekitar 30 miliar pesan yang mereka kirim masing-masing setiap harinya. Belum lagi media sosial yang lain (youtube, instagram, dll). Inilah era gempuran teks, gambar dan video yang memikat, menyihir, sekaligus membahayakan.

Salah seorang pemerhati pendidikan negeri ini pernah melakukan pengamatan kecil-kecilan tentang tulisan-tulisan yang beredar di media sosial. Hasilnya, tulisan yang bermuatan politis lebih cepat mendapatkan respon (like dan share) ketimbang tulisan bertema yang lain.

Setidaknya ada dua alasan kenapa hal ini bisa terjadi.

 Pertama, alasan "perhatian".

Daniel Goleman mengamati bahwa ada dua bentuk utama pengalih perhatian, yakni sensoris dan emosional. Pengalih perhatian sensoris lebih bersifat inderawi, sedangkan pengalih perhatian emosional lebih mengintimidasi dan memikat perhatian kita.

Ketika kita menghadapi luberan informasi, baik melalui berita televisi maupun media sosial, maka perhatian mendalam kita terhadap satu hal semakin menipis. Perhatian kita menjadi kepada banyak hal dalam waktu bersamaan. Kita dituntut melihat, membaca, dan mencerna dengan cepat puluhan informasi dalam waktu singjat. Inilah sebenarnya yang di tahun 1977 pernah diingatkan oleh pemenang nobel, Herbert Simon, dengan memperingatkan bahwa "luberan informasi menciptakan kemiskinan atensi".

Saat kita membaca blog, buku, atau sebuah cerita, maka pikiran kita akan membangun jaringan dalam otak agar terkait dengan informasi lain yang serupa untuk membangun nalar pengetahuan. Namun, gempuran teks, video, gambar, dan beragam pesan yang kita dapatkan secara online menjadikan otak kita melompat-lompat dari satu tema ke tema yang lain dengan cepat dan berganti-ganti. Kadang-kadang kita hanya membaca judulnya saja, dua paragraf pertama, dan video yang durasinya kurang dari tiga menit.

Nah, ketika membaca tulisan yang isinya menyentuh emosi kita, maka perhatian semakin besar. Perhatian ini semakin meningkat dua kali lipat atau bahkan lebih ketika tulisan tersebut datang dari gejolak emosi yang terkait langsung dengan atau menimpa kehidupan kita.

Tanda-tandanya sederhana, jika dari informasi atau tulisan tertentu kita merasakan kepuasan atau mendapatkan pembenaran atas emosi yang kita alami dan membenci sebaliknya, maka di situlah faktor emosional bekerja.

Hal ini bisa dengan mudah menerobos masuk ke emosi kita karena alasan yang sangat bagus. Dalam pengamatan Goleman, alasan yang sering dimunculkan adalah agar kita bisa berpikir matang mengenai apa yang harus dilakukan terhadap sesuatu yang mengganggu kita.

Efeknya, kita cepat merasa puas ketika ikut nge-share tulisan yang sesuai emosi kita. Kita bangga secara beramai-ramai mempersoalkan hal yang berlawanan dengan kita yang belum tentu salah, dan seterusnya. Kondisi ini membuat kita mudah kehilangan objektivitas dan akibatnya yang sangat mudah dirasakan adalah mudahnya muncul keriuhan dan "berisik" untuk membicarakan "masalah" ketimbang menganalisisnya dengan logika dan mencari solusi.

Jika hal ini terus menerus terjadi maka akan membawa kita kepada generasi yang kehilangan "pembacaan mendalam".  Remaja kita akhirnya akan lebih mudah "nyinyir" terhadap persoalan sosial ketimbang membicarakannya untuk dijadikan pelajaran. Di sisi lain, mereka juga akan mengalami kesulitan membaca buku dalam waktu yang panjang, kesulitan memahami persoalan dari berbagai aspek kehidupan, dan kesulitan menganalisis informasi yang dianggap benar tapi belum dipastikan keakuratannya.

Korban terbesar atas ini semua adalah remaja yang merupakan garda terdepan masa depan kita. Jika guru, orangtua, dan semua elemen bangsa tidak segera memperbaiki diri dan keadaan ini, bayangkan sendiri masa depan bangsa yang akan terjadi dengan generasi seperti itu.

Alasan kedua adalah kecepatan.

Obsesi kecepatan mengubah banyak hal. Di dunia bisnis, teknologi, dan lain-lain. Obsesi akan kecepatan membuat kita berubah menjadi orang yang ingin selalu lebih cepat tahu. Ya, ingin cepat share dan like atas informasi apa saja di media sosial.

Informasi, ucapan orang tertentu (tokoh, pemerintah, pejabat), dan kisah-kisah tertentu selalu diburu dengan cepat agar bisa menjadi senjata untuk menyerang pihak yang berlawanan. Rujukan-rujukan tersebut seharusnya menjadi serpihan referensi dari info-info lain yang saling terkait.

Celakanya, terkadang kecepatan ini dibangun secara massal untuk memengaruhi pikiran orang sebelum informasi yang akurat muncul. Ingat, bukan memengaruhi orangnya yang salah, melainkan orang yang terpengaruhlah yang harus memperbaiki diri dalam menerima informasi. Apakah anda salah satunya?

Untuk guru. Ajaklah anak didik kita membicarakan masalah yang sedang hangat dibicarakan. Ajarkan cara melihat masalah tersebut dengan membandingkan setidaknya sepuluh informasi yang sama dari sumber yang berbeda, kemudian bimbinglah mengambil kesimpulan yang objektif, menyeluruh, logis, dan mempertimbangkan kondisi sosial dan budaya yang ada.

Obsesi kecepatan mudah sekali menggoyang fokus seseorang. Asal cepat, asal puas, asal senang, dan asal baru, maka fokus dalam memilih keakuratan dan kebenaran menjadi tersingkirkan. Inilah yang harus kita perbaiki.

Para guru, ajarkan kecepatan dan kreativitas karena sangat dibutuhkan saat ini. Lengkapi juga dengan kebijaksanaan hidup.

Qui-Gon Jinn berkata dalam Star Wars, "fokusmu menentukan realitasmu".

Tulisan ini hanya pengantar, silakan melanjutkan sendiri renungan ini!

 

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun