Judul Buku: OaseKeteladanan K.H. A. Warits Ilyas
Penulis: K.H. M. Syafi’ie Anshori, dkk.
Penerbit Q Media Yogyakarta
Cetakan: 1, Februari 2015
Tebal: 131 halaman
ISBN: 978-602-71599-2-1
Menjalani hidup tak lepas dari tantangan. Pribadi yang terpuji ditentukan sejauh mana pribadi itu mampu menaklukkan segala cobaan hingga ajal menjemputnya.
Warna-warni hidup juga dapat dilihat dari perjalanan hidup Kiai Warits—sebutan KH. A. Warits Ilyas—yang diurai secara detail dalam buku Oase Keteladanaan K.H. A. Warits Ilyas.Buku inimemuat satu profil Kiai Warits dan dua puluh tulisan alumni Pondok Pesantren Annuqayah.
Tiga tafsir kepribadian Kiai Warits yang tetap membekas: beliau sebagai kiai, tokoh masyarakat, dan politisi.
Pertama,sosok Kiai Warits sebagai kiai yang terpancar: [a] menjunjung tinggi akhlakul karimah.Kata KH. Syafi’ie Anshori (santri PP. Annuqayah 1966-1972) dalam tulisannya, Warna-Warni Keteladanan,“Hati-hati, peduli, dan menghormati. Itulah di antara sikap Kiai Warits yang sangat berkesan bagi saya dan penting diteladani” (hal. 13); [b] mewariskan Al-Qur’an sebagai pegangan hidup santri beliau, baik saat mondok maupun saat pulang ke masyarakat. Muhdori AR (santri PP. Annuqayah 1979-1985)menyatakan dalam tulisannya, Mewariskan Al-Qur’an, “Sekitar empat tahun lamanya saya belajar membaca Al-Qur’an diasuh langsung oleh sang kiai. Setiap hari ba’dha Subuh saya bersama beberapa santri mengaji di serambi rumah beliau. Saya yakin dengan barokah bimbingan beliau dalam mengaji, saat ini saya di Jakarta menjadi pengajar Al-Qur’an dari pinggiran kota Jakarta hingga di Masjid Istiqlal” (hal. 44); dan [c] menjadi pendidik sejati. Dalam tulisan Hasani Asro (santri PP. Annuqayah 1989-1994) yang bertajuk Ulama, Pendidik dan Politisi, Kiai Warits selain menjadi pengasuh/kiai pesantren, beliau juga aktif di dunia politik, namun beliau tetap mendidik santri beliau tanpa terkecuali. Sikap seperti ini sangat sulit dimiliki banyak orang; jamak orang yang terjun di politik, mengesampingkan dunia pendidikan, begitupun sebaliknya (hal. 101).
Kedua, beliau sebagai tokoh masyarakat. Menjadi tokoh mayarakat, bukan suatu hal yang mudah diemban. Setiap gerak-geriknya menjadi cermin bagi masyarakatnya. Kultur yang baik dan jelek di suatu masyarakat, salah satunya, bisa dilihat dari sikap tokoh masyakatnya.