KONDISI EMPIRIS
Community Development atau Perkembangan Masyarakat telah diaplikasikan kajiannya oleh hampir keseluruhan kelompok/organisasi dari seluruh penjuru dunia dengan tujuan satu, yakni, meningkatkan kualitas (Bhattacharyya, 2004). Terminologi ini patut dimaknai untuk menjadi garda keberlangsungan hidup umat manusia, dikarenakan metode pendekatan kolaboratif (Foot, 2012; Foot & Hopkins, 2010) yang diusung dapat menawarkan prospek baru untuk membenahi kelompok/masyarakat yang dirugikan/ditindas/ditelantarkan. Dirujuk dari perihal tersebut, paham community development mengandung tujuan sebagai alat identifikasi dan pembangun kerangka kekokohan aset dari setiap individu dan masyarakat (Kretzmann & McKnight, 1996). Pun sama halnya dalam memumafakti  potensi kapasitas, keterampilan, pengetahuan, koneksi, dan sportivitas dalam suatu tatanan masyarakat (Foot, 2012).
Kilas balik kembali pada tahun 1958 (Samonte, 1982), pemerintah Filipina telah meluncurkan program community development melalui the Philippine Assistance on Community Development (PACD). Program ini menerapkan pendekatan dengan fokus perkembangan daerah rural dan populasinya yang bersiklus pada empat mata tujuan dalam mempromosikan penghidupan (livelihood), pendidikan, kesehatan, dan pemerintahan sendiri (self-government). PACD hanya mengalami kesuksesan sementara karena banyaknya aspirasi dan besarnya ekspektasi dari stakeholder semacam petani, wanita rural, dan pemuda jalanan. Lalu, dirancanglah the first Philippine Community Development Plan (Luna, 1999a) yang menegaskan tentang peran unit pemerintah daerah dalam menguatkan demokrasi wilayah melalui kegiatan pengembangan masyarakat yang melibatkan proses kepemimpinan. Pada tahun 1960an, hanya konsep pemberdayaan dan partisipasi masyarakat lokal yang berlaku, tidak sampai 1980an, metode pendekatan community-led dan community-based terhadap program-program pengembangan masyarakat baru diimplementasikan secara nyata (SELN, 2006).
Community forestry di pelataran Amerika Utara contohnya. Di British Columbia pada tahun 1945, terefleksi suatu alternatif untuk meningkatkan skala industri perhutanan ke seluruh daerah Amerika Utara dengan perencanaan pengelolaan hutan di tingkat kotamadya (Pinkerton, 2018). Berdasarkan definisi yang diutarakan Mather (2001), post-industrial forestry yang dipetakan oleh komunitas kehutanan di Kanada (British Columbia Community Forest Association), bahwa manajemen operasional hutan meliputi multifungsi, nilai intrinsik, dan bersifat konsultatif. Pengelolaan ini strukturnya dari otak sampai penggerak, dikendalikan oleh warga setempat dalam meningkatkan potensi wilayah pada sektor kehutanan terhadap peningkatan moneter pun peningkatan manfaat lain yang dihasilkan, yang pada akhirnya ditujukan untuk memakmurkan pembangunan daerah mereka sendiri (BCCFA, 2019a).
Bukti empiris lainnya dari pengaplikasian community development pada segelintir masyarakat mikro yang berdampak pada masyarakat makro, begitupun sebaliknya. Seperti pada pengembangan afiliasi pada payung organisasi seperti Industrial Areas Foundation dan the Grameen Bank. Konsep community development dipakai oleh beragam organisasi, dari lingkup kecil, yang berdiri sendiri, pun lingkup masyarakat luas. Seperti halnya pada negara demokratis (i.e. AS, Britania Raya, dan India), pada demokrasi transisi (i.e. negara tinggalan Uni Soviet), dan bahkan pada negara otoriter sekalipun (i.e. Cina) (Bhattacharyya, 2004). Hal ini dapat diwujudkan karena adanya sistem partnership yang menyediakan wadah kepada pelaku untuk bersama-sama memegang peranan penting dalam sektor kinerja pemerintahan, perancangan (design), dan fasilitator (Brooks & Kendall, 2013; Bull et al., 2013; Foot, 2012; Foot & Hopkins, 2010; Morgan & Ziglio, 2007; Morgan et al., 2010).
KONSEP TEORI
Menurut Flora dan Flora (1993), community development berasal dari dua kata, yaitu, community dan development. Jika dikombinasikan, jalannya korelasi kedua kata tersebut bergantung pada interaksi antara sekelompok orang yang tergabung pada suatu agensi kolektif. Dalam menunjang peranannya sebagai peningkatan kualitas masyarakat, community development memiliki paralel dengan inovasi kemasyarakatan yang difondasikan oleh konsep placemaking, konsep tersebut adalah antidote untuk menstabilisasikan perkembangan zaman dengan kebutuhan masyarakat (Scoones, 2009; Markusen & Gadwa, 2010). Â Â
Community development menjuruskan pada usaha untuk membangun solidaritas dan pelayanan melalui penerapan self-help (menolong diri sendiri), felt needs (kebutuhan yang dirasakan), dan partisipasi (Bhattacharyya, 1995). Konsep ini merupakan cita-cita fleksibilitas yang jika sekali konsep ini dibelenggu oleh sejumlah restriksi, agen sosial akan merasa terpaksa dan berujung terjadinya separatisme paham (Denise & Harris, 1990: 7). Kontribusi seluruh aspek yang bersangkutan akan sangat shahih dalilnya jika terkumpul niatnya yang memang berfokus pada dialektika/problematika hari ini dengan bercermin pada masa lalu untuk penunjang masa depan (Biddle, 1966: 12).
Konsep terminologi ini merupakan sebuah teknik dan/atau alat untuk mengakses dan menjaring jangkauan masyarakat dengan segala kandungannya yang kemudian mengambil langkah untuk direvitalisasi tujuan serta metodenya seunik mungkin dalam mencapai pemahaman pengawasan implementasi yang lebih mutakhir (Christenson & Robinson, 1989; Ferguson & Dickens, 1999). Menurut Lee Cary, pendiri the Community Development Society pada pertemuan the Illinois State Chapter of the Community Development Society, ia menyatakan bahwa konseptual ini bisa juga disebut sebagai Locality Development, karena model praksis yang similar.Â
Kenny (2007) menyatakan bahwa community development hanyalah konsep dinamis dan usaha menantang yang ditujukan untuk menghadapi segala situasi dalam mencari jalan keluar pun juga untuk mengembangkannya. Masyarakat dengan segala masalahnya tidak bisa ditahan oleh hanya satu metode pendekatan yang seragam, justru community development hadir untuk merumuskan variasi tersebut untuk keunikan pada masing-masing masalah. Formulasi community development dalam mempromosikan solidaritas dan agensi, dapat digunakan pada projek demokrasi yang akan memberdayakan masyarakat yang berkelanjutan dalam meraih kebebasan kesempatan sesuai kehendaknya yang berafirmasi (Bhattacharyya, 1995; Walzer, Phillips, & Blair, 2022).Â
Indikator yang harus dipegang teguh dalam harapan kesuksesan berjalannya community development sebagai berikut:
Ketidakpuasan;
Kepercayaan pada diri sendiri;
Kepemimpinan;
Kolaborasi;
Kemauan dan tekad;
Relasi;
Konsistensi; dan
Fokus spesifik.
(Shaffer, 1989)
Adapun hasil yang diharapkan dari setiap program pengembangan masyarakat, pastilah berkiblat pada outcome demikian:
Partisipan yang meluas, bervariasi, dan inklusif;
Basis kepemimpinan yang meluas;
Keterampilan individu yang meningkat;
Visi untuk hari esok yang diketahui dan disetujui oleh seluruh masyarakat di bawah naungan;
Progress terhadap target yang konsisten dan konkret;
Organisasi masyarakat yang lebih efektif; dan
Pemanfaatan sumber daya yang sesuai kebutuhan.
(Aspen Institute, 1996)
IMPLEMENTASI DI INDONESIA
Perjalanan penggenapan cita-cita kemakmuran bangsa Indonesia semenjak diraihnya kemerdekaan pada tahun 1945 silam terus bersinergi hingga detik ini. Sebagai contoh dalam bidang pendidikan, berdirinya sekolah Taman Siswa oleh Ki Hadjar Dewantara pada tahun 1922 menjadi jejak langkah booming pertama perkembangan masyarakat melalui bidang pendidikan untuk pribumi. Jauh sebelum itupun, pada tahun 1800an sudah muncul gerakan memintarkan pribumi tanah air di berbagai penjuru seluk-beluk Indonesia, seperti di Maluku, Minahasa, NTT, Batak, Nias, dan daerah lainnya (Shaturaev, 2021).Â
Sejarah mengungkapkan bahwa akhir era order baru pada 1998 menyebabkan pertentangan terhadap keturunan/kaum/komunitas Chinese (sekalipun itu Chinese Muslim). Persepi ini disebabkan oleh politisasi kebijakan negara atas kesenjangan kepentingan yang berakhir malapetaka pada satu kelompok. Tetapi, setelah jatuhnya rezim, perlahan eksistensi orang cina di Indonesia lebih dihormati haknya sebagai manusia melalui penyingkiran asumsi negatif (Hoon 2008; Lim & Mead 2011; Lindsey & Pausacker 2005). Penyingkiran asumsi negatif pada masyarakat terhadap orang cina, khususnya mereka yang beragama muslim, dijalankan secara berkelanjutan dengan hadirnya masjid Cheng Hoo di Surabaya yang disetujui dan didukung oleh pemerintah dan organisasi masyarakat (Sujanto, 2015; Satryo, 2017). Akulturasi kebudayaan arsitektur Arab, Cina, dan Jawa ditambah dengan konstruksi yang meniadakan pintu, melambangkan 'keterbukaan' (Onghokham, 2017). Keterbukaan terhadap perbedaan yang diyakini akan menjadi kekuatan ampuh apabila bersatu tanpa adanya bentrok konsepsi (Sujanto, 2015). Seiring berjalannya waktu, atas kontribusi aktif dan bermanfaat oleh komunitas orang muslim Cina di Indonesia pada masyarakat, merubah paradigma buruk rakyat terhadap mereka. Hal tersebut merupakan aktualisasi nyata dari community development.Â
Bukti implementasi community development pada era modern ini tampak pada projek Nata Desa yang didirikan oleh sejumlah pemuda. Sebuah platform yang memfasilitasi kolaborasi dan koperasi untuk memulihkan serta merevitalisasi wilayah pedesaan, tersurat pada motonya, "Gotong Royong Membangun Desa". Contoh keberhasilan projek ini dapat dibuktikan pada Kebun Keluarga di desa Waitaru, NTT. Dengan segala potensi dan permasalahan yang dikandungnya, Nata Desa berhasil menemukan titik temu untuk masyarakat desa ini dalam memperbaiki nasib hidup mereka melalui pemanfaatan lahan pertanian serta alam yang asri sebagai pemenuhan kebutuhan dan sumber pemasukan desa. Dengan elaborasi masterplan Nata Desa, mereka berhasil menerapkan konsep community development pada masyarakat rural (Pasteruk, 2020).
Daftar Pustaka
Aspen Institute (1996). Measuring Community Capacity Building: A Workbook-in Progress for Rural Communities. Washington D. C., USA: The Aspen Institute.
BCCFA (2019a). About Us.Â
Bhattacharyya, J. (1995). Solidarity and agency: Rethinking community development. Human Organization 54(1): 60-69. https://www.jstor.org/stable/44126573.
Bhattacharyya, J. (2004). Theorizing community development. Community Development, 34(2), 5-34. https://doi.org/10.1080/15575330409490110.
Biddle, W. (1966). The "fuzziness" of the definition of community development. Community Development Journal 1: 5-12. https://www.jstor.org/stable/44256391.
Brooks, F. & Kendall, S. (2013). Making sense of assets: What can an assets based approach offer public health? Critical Public Health, 23, 127-130. Crossref. https://doi.org/10.1080/09581596.2013.783687.
Bull, T., Mittelmark, M. B., & Kanyeka, N. E. (2013). Assets for well-being for women living in deep poverty: Through a salutogenic looking-glass. Critical Public Health, 23, 160-173. Crossref. https://doi.org/10.1080/09581596.2013.771811.
Christenson, J. A., & Robinson, J. W. (1989). Community Development in Perspective. Iowa City, USA: Iowa State University Press.Â
Denise, P. S. & Harris, I. (1990). Experiential Education for Community Development. New York: Greenwood Press.
Ferguson, R. F. & Dickens, W. T. (1999). Urban Problems and Community Development. Washington, D.C.: Brookings Institution Press.
Flora, C. B. & Flora, J. L. (1993). Entrepreneurial social infrastructure: a necessary ingredient. Ann. Am. Acad. Pol. Soc. Sci. 529, 48--58. https://doi.org/10.1177/0002716293529001005.
Foot, J. (2012). What makes us healthy? The asset based approach in practice: Evidence, action, evaluation.Â
Foot J., Hopkins T. (2010). A glass half-full: How an asset approach can improve community health and well-being.Â
Hoon, Chang-Yau. (2008). Chinese Identity in Post-Suharto Indonesia: Culture, Politics and Media. Brighton, UK: Sussex Academic Press.Â
Kenny, S. (2007). Developing communities for the future (3rd ed.). South Melbourne, Victoria: Thomson.
Kretzmann, J. & McKnight, J. P. (1996). Assets-based community development. National Civic Review, 85(4), 23-29. https://doi.org/10.1002/ncr.4100850405.
Lim, Hermanto, and David Mead. (2011). Chinese in Indonesia: A Background Study. SIL International.
Lindsey, Tim, and Helen Pausacker. (2005). Chinese Indonesians: Remembering, Distorting, Forgetting. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.
Luna, E. M. (1999a). Rethinking community development in the Philippines: Indigenizing and regaining grounds. In V.A. Miralao (Ed.), The Philippine social sciences in the life of the nation. Vol. 1: The history and development of social sciences in the Philippines (pp. 315--343). Quezon City: Philippine Social Science Council.
Markusen, A. & Gadwa, A. (2010). Creative Placemaking. Washington, D. C., USA: National Endowment for the Arts.
Mather, A. S. (2001). Forests of Consumption: Postproductivism, Postmaterialism, and the Postindustrial Forest. Environment and Planning C: Government and Policy 19 (2): 249--268. https://doi.org/10.1068/c9914j.
Morgan, A., Ziglio, E., & Davies, M. (2010). Health assets in a global context: Theory, methods, action. New York, NY: Springer. https://doi.org/10.1007/978-1-4419-5921-8.
Morgan, A. & Ziglio, E. (2007). Revitalising the evidence base for public health: An assets model. Promotion & Education, 14(Suppl. 2), 17-22. Crossref PubMed. https://doi.org/10.1177/10253823070140020701x.
Onghokham (2017). Migrasi Cina, Kapitalisme Cina, Dan Anti Cina. Depok: Komunitas Bambu.
Pasteruk, I. (2020). Community Development in Indonesia: Contemporary Aspects of Culture. Advances in Social Science, Education and Humanities Research. Proceedings of the International Conference on Community Development (ICCD 2020). Atlantis Press. https://doi.org/10.2991/assehr.k.201017.075.
Pinkerton, E. (2018). Benefits of Collaboration Between Indigenous and non-Indigenous Communities Through Community Forests in British Columbia. Canadian Journal of Forest Research 49 (4): 387--394. https://doi.org/10.1139/cjfr-2018-0154.
Samonte, A. G. (1982). Integrated rural development: Concept, approach and objectives. In R. V. Cuyno, M.F. Lumanta, & M.G. Ramos (Eds.), Management of rural development in the 80's: Philippine reflections (pp. 15--27). College, Laguna: Management of Rural Development (MaRD) Program, University of the Philippines Los Banos.
Satryo, H. (2017). Interview with Chairman of PITI East Java, Surabaya, Indonesia.Â
Scoones, I. (2009). Livelihoods Perspectives and Rural Development. The Journal of Peasant Studies 36 (1): 171--196. https://doi.org/10.1080/03066150902820503.
SELN (2006). Enabling change in rural and regional Australia: The role of extension in achieving sustainable and productive futures. A discussion document. Indooroopilly, Qld.: State Extension Leaders Network. https://doi.org/10.13140/2.1.1994.9447.
Shaffer, R. E. (1989). Community Economics. Economic Structure and Change in Smaller Communities. Iowa State University Press, Ames, Iowa.
Shaturaev, J. (2021). Education in Indonesia: Financing , Challenges of Quality and Academic Results in Primary Education. , 6(6). https://tsue.scienceweb.uz/index.php/archive/article/view/4116.
Sujanto (2015). Interview with HMY.Â
Walzer, N., Phillips, R., & Blair, R. (2022). 50 Years of Community Development Vol. 1: A History of its Evolution and Application in North America. USA: Routledge.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H