Mohon tunggu...
Alifka Hadi Saputra
Alifka Hadi Saputra Mohon Tunggu... Relawan - Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Muhammadiyah A.R. Fachruddin

Bermain bola

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Analisis Alur pada cerpen "Dua Dunia" Karya NH. DINI

9 Januari 2025   15:06 Diperbarui: 9 Januari 2025   15:06 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hidup Iswanti sudah lebih dari biasa yang mengetahui segalanya. Dia malu kepada tetangga dan kawan kawannya, dan kepada diri sendiri sebagai perempuan yang tahu bagaimana menyelenggarakan rumah tangga yang baik. Ia menerima mesra cukup banyak dari ibunya sebelum tergila-gila oleh judi dan kelalaian. Tapi sejak kelahiran adiknya yang bungsu, dia hidup di bawah asuhannya sebagai anak sulung yang mengerti ke mana ibunya pergi.

Cerpen ini menceritakan seorang tokoh yang bernama Iswanti dengan tokoh-tokoh lain di antaranya, seperti Ibu, Ayah, kakek, Darwo, dan Kanti anaknya Iswanti

Dengan hati-hati , di belai rambutnya sekali lagi, untuk kesekian selamanya. Dipandang sebentar wajahynya didalam cermin. Ah, tidak! Tak sampai hati dia merenungkan wajah itu. Redup kuyu benar sinar matanya. Terlalu beda dia yang dulu, segar dan selalu lincah pandang matanya, dengan dia yang sekarang sudah tak lengkap lagi keseluruhannya yang dulu, sudah dimakan penyakit. Ribuan kuman yang telah merampas sebagian miliknya.

Disisir perlahan memanjang. Dia tak mau memberikan minyak karena minyak di anggapnya akan membuat rambut terlihat sedikit. Dan dia tak mau rambutnya menjadi sedikit dilihat orang. Meskipun dengan cara ini dia hanya menipu hatinya sendiri, dia masih membujuk perasaannya sendiri yang mengatakan bahwa dia masih cukup untuk berhias dengan rambut yang ada sekarang.

Dia masih ingat  dulu sewaktu kecil, bagaimana takutnya dia menyuntikan. Dan dia masih ingat pula ibunya membisikkan bujukan rayu ke telinga agar mau di suntik. Dia masih ingat pula bagaimana dulu dia lari pulang dari sekolahnya karena ada injeksi di sekolahnya. Dan ibunya memeluknya dengan mesra, menginsafkan apa perlunya orang disuntik. Tapi waktu itu dia belum mengerti kenapa orang harus ditusuk lengannya kemudian di beri semacam air dalam tusukan itu. Dia hanya takut pada jarum itu dan dia gamau orang menusuknya begitu saja. Sampai pada batas umur yang tak pantas lagi dia selalu ditolong, dia tetap belum bisa memberanikan dirinya untuk tidak takut untuk di suntik.

Dan dia bener-bener ketakutannya selama itu. Takutnya terhadap jarum, satu ujung kecil yang menusuk dagingnya dan yang tak akan minta kekuatan tenaga apapun darinya, kini memberinya akhiran yang tidak seimbang. Sebagian hidupnya sudah lesu. Dia tak akan bisa kuat benar seperti dulu, segala yang dia makan harus ada batasannya. Satu paksaan di samping kehilangan keseluruhannya yang dulu seakan-akan dia tak akan lagi bisa memberi arti hidupnya sendiri. Hidup yang dulu selalu ditimbang atau di idamkan oleh ibunya: "Jadilah manusia yang berarti bagi keluargamu!" ucap ibunya, manusisa yang kini sudah tak hadir lagi di kelanjutannya hidupnya.

Dia tersenyum, alangkah kaku ucapan ibunya itu di ingatkannya kini. Dia harus menjadi manusia yang berarti bagi keluarganya. Tapi kenyataannya sampai kini dia tetap tak bisa menjdai tokkoh yang berarti dalam keluarga. Dan idaman ibu yang sangat sederhana, menjadi seorang istri dan ibu yang baik dan membawa kebesaran bagi nama keluarga, tidak bisa dia penuhi. Meskipun dia sudah berusaha untuk memenuhinya, berusaha menjadi istri yang baik sambil menuruti segala perintah orang tuanyya. Orang seperti dia yang terus menerus di sodori berbagai ajaran adat, tumbuh dalam belaian kata timangan ibunya yang sangat terbatas penampilannya. Sampai pada perkawinannya, dia hanya mempunyai kesadaran harus bagaimana nanti dia menjadi istri yang baik, dan dia tinggal menjalankan saja perkawinan itu.

Suaminya dipilihkan oleh orang tuanya.

"Apa kata Darwo, I?" tiba-tiba suara ayah memadati sepi di kamar itu.

Dan tiba-tiba pula dia teringat kepada surat bekas suaminya yang dating siang tadi. Wajahnya muram menjawab ayahnya.

"Minta Kanti"

Suaranya merendah dan memantulkan ke wajah ayahnya di dalam kaca. Mendengarnya menghela nafas, lalu Iswanti melanjutkan, "Uang izin dimasukkan di sana, dan anak itu harus ikut dia."

"Memang menurut hokum islam anak perempuan ikut bapak."

"Saya tidak peduli macam hukum mana pun juga. Terlalu tak terbuka perasaan kemanusiaan."

"Biar Bapak saja yang menjawab surat itu nanti."

"Ibumu yang menerima,Is."

Betapa terkejutnya dia mendengar ini. Dibalikkan badannya dam di tentang mata bapaknya, mata yang sudah pudar itu.

"Tanpa setahuku!" dia memprotes

"Kita sama-sama membutuhkan uang, Is,"suara ayah rendah.

"Tapi belum cukuplah gajiku tiap bulan yang kuserahkan semua kepada Ibu? Tak terhitung juga gaji bapak sebelum pensiun."

Ayahnya diam saja. Dan oleh kediamannya itu hati Iswanti menjadi lemah.

"Seolah sudah begitu mendesaknya kebutuhannya itu sehingga harus meminta kepada orang lain."

"Tapi kami tidak meminta." Dia menyela

"Tapi menerima," dia cepat menjawab. "Dan menerima berarti mau untuk kemudian minta supaya bulan depan diberi lagi." Di tantangnya mata bapaknya dari dalam kaca: kemudian dia membuang pandangnya kea rah jauh." Ayah tak menyadari betapa pentingnya tuntutan Darwo di masa depan. Ibu juga tidak."

Kalimat terakhir itu di ucapkannya dengan lemah sekali. Dia tahu kenapa ibunya begitu rakus akan kebutuhan uang. Lingkungan ibu yang tidak punya banyak kerja itu membuat keisengan membuat membuang buang waktu. Perjudian yang dimulai dari kecil dan lama-kelamaan mencandu dan mendarah daging pada manusia. Kehidupan ibunya, manusia yang dicintai anak-anaknya itu mencari keisengan sejak pagi ditinggal suami dan anak-anaknya berangkat kerja dan sekolah. Hidup yang sederhana kadang-kadang terhanyut pula ke meja judi.

Tiba-tiba kanti masuk dengan  langkahnya yang belum tegak benar. Iswanti melihatkan anaknya dari dalam kaca. Tubuh mungil itu akan diberikan kepada Darwono, bapak Kanti? Tidak! Hatinya sendiri mengatakan tidak. Betapa deritanya Iswanti pada saat malam itu dia berjuang merebutkan nyawanya dan nyawa anaknya.

"Kanti tak boleh diasuh ibu tiri!" tiba-tiba dia berkata. Dan di belainya kepala anaknya yang jongkok di kakinya menggapai-gapai bola di bawah tempat tidur.

"Kalau ada tuntutan?" Tanya bapaknya sambil membantu cucunya mengambil bola.

"Aku akan berusaha mengembalikan uangnya."

"Kau harus hati-hati dengan kesehatanmu."

"Aku tahu itu. Tapi aku sangat menyesal karena namaku dibuat mencari keuntungan. Dan keuntungannya cuma untuk di buang-buang di meja judi."

Iswanti sendiri sudah demikian tak tahan jantung hingga terungkit olehnya kepincangan rumah tangga ayah. Ayah diam, sebagai kepala rumah tangga yang tak bisa menumbuhkan kebahgiaan dalam lingkungannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun