"Tapi kami tidak meminta." Dia menyela
"Tapi menerima," dia cepat menjawab. "Dan menerima berarti mau untuk kemudian minta supaya bulan depan diberi lagi." Di tantangnya mata bapaknya dari dalam kaca: kemudian dia membuang pandangnya kea rah jauh." Ayah tak menyadari betapa pentingnya tuntutan Darwo di masa depan. Ibu juga tidak."
Kalimat terakhir itu di ucapkannya dengan lemah sekali. Dia tahu kenapa ibunya begitu rakus akan kebutuhan uang. Lingkungan ibu yang tidak punya banyak kerja itu membuat keisengan membuat membuang buang waktu. Perjudian yang dimulai dari kecil dan lama-kelamaan mencandu dan mendarah daging pada manusia. Kehidupan ibunya, manusia yang dicintai anak-anaknya itu mencari keisengan sejak pagi ditinggal suami dan anak-anaknya berangkat kerja dan sekolah. Hidup yang sederhana kadang-kadang terhanyut pula ke meja judi.
Tiba-tiba kanti masuk dengan  langkahnya yang belum tegak benar. Iswanti melihatkan anaknya dari dalam kaca. Tubuh mungil itu akan diberikan kepada Darwono, bapak Kanti? Tidak! Hatinya sendiri mengatakan tidak. Betapa deritanya Iswanti pada saat malam itu dia berjuang merebutkan nyawanya dan nyawa anaknya.
"Kanti tak boleh diasuh ibu tiri!" tiba-tiba dia berkata. Dan di belainya kepala anaknya yang jongkok di kakinya menggapai-gapai bola di bawah tempat tidur.
"Kalau ada tuntutan?" Tanya bapaknya sambil membantu cucunya mengambil bola.
"Aku akan berusaha mengembalikan uangnya."
"Kau harus hati-hati dengan kesehatanmu."
"Aku tahu itu. Tapi aku sangat menyesal karena namaku dibuat mencari keuntungan. Dan keuntungannya cuma untuk di buang-buang di meja judi."
Iswanti sendiri sudah demikian tak tahan jantung hingga terungkit olehnya kepincangan rumah tangga ayah. Ayah diam, sebagai kepala rumah tangga yang tak bisa menumbuhkan kebahgiaan dalam lingkungannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H