Suaranya merendah dan memantulkan ke wajah ayahnya di dalam kaca. Mendengarnya menghela nafas, lalu Iswanti melanjutkan, "Uang izin dimasukkan di sana, dan anak itu harus ikut dia."
"Memang menurut hokum islam anak perempuan ikut bapak."
"Saya tidak peduli macam hukum mana pun juga. Terlalu tak terbuka perasaan kemanusiaan."
"Biar Bapak saja yang menjawab surat itu nanti."
"Ibumu yang menerima,Is."
Betapa terkejutnya dia mendengar ini. Dibalikkan badannya dam di tentang mata bapaknya, mata yang sudah pudar itu.
"Tanpa setahuku!" dia memprotes
"Kita sama-sama membutuhkan uang, Is,"suara ayah rendah.
"Tapi belum cukuplah gajiku tiap bulan yang kuserahkan semua kepada Ibu? Tak terhitung juga gaji bapak sebelum pensiun."
Ayahnya diam saja. Dan oleh kediamannya itu hati Iswanti menjadi lemah.
"Seolah sudah begitu mendesaknya kebutuhannya itu sehingga harus meminta kepada orang lain."