kekerasan seksual tidak berani melawan?" dilotarkan oleh seseorang yang masih awam mengenai dampak yang timbul bagi penyintas kekerasan/pelecehan seksual. Terlebih, terkadang seseorang bisa melontarkan kalimat seperti di atas kepada penyintas secara terang-terangan tanpa berpikir berulang kali terlebih dahulu apakah penyintas akan merasa trauma dan ketakutan atau tidak.
Tidak jarang pertanyaan "Mengapa korbanPada tahun 2021 sendiri terdapat banyak sekali kasus fenomenal mengenai kekerasan seksual di Indonesia. Beberapa diantaranya adalah kasus 'Seorang Guru Ngaji Salah Satu Pesantren di Bandung Memperkosa Beberapa Santrinya.'. Kemudian kasus 'Satu Keluarga di Padang Perkosa 2 Anak Perempuan Secara Bergilir.'. Dan juga kasus Kekerasan seksual yang terjadi pada salah satu mahasiswi Universitas Brawijaya oleh kekasihnya yang ternyata adalah anggota polisi.
"Sepanjang 2021 terdapat 10.247 kasus kekerasan terhadap perempuan di mana 15,2 persennya adalah kekerasan seksual," kata Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Bintang Puspayoga dalam jumpa pers virtual pada Rabu (19/1/2022).
Dari banyaknya kasus kekerasan, tidak sedikit korban yang tidak dapat melakukan perlawanan kepada pelaku. Mengapa demikian? Ini dikarenakan kebanyakan korban yang mengalami kekerasan/pelecehan seksual mengalami kesulitan berpikir rasional untuk sekedar memikirkan harus berbuat apa dalam keadaan terdesak seperti kondisi tersebut. Maka dari itu kebanyakan korban hanya berdiam diri (freeze) karena syok.
Kasus kekerasan, khususnya kekerasan seksual bisa terjadi kepada siapa saja. Selain sering terjadi kepada perempuan dan anak, korban lainnya adalah laki-laki. Budaya patriarki yang telah berkembang di Indonesia melahirkan stigma bahwa laki-laki tidak mungkin menjadi korban kekerasan/pelecehan seksual.
Maskulinitas yang dimiliki seorang pria dianggap cukup mampu melawan pelaku tindak kekerasan seksual yang dihadapinya. Masyarakat mudah berasumsi bahwa laki-laki adalah makhluk yang agresif sehingga tidak akan mungkin melakukan penolakan terhadap perempuan yang memaksanya untuk melakukan hubungan seksual. Sehingga muncul-lah stigma bahwa 'laki-laki tidak mungkin mengalami kekerasan seksual bahkan pemerkosaan.'
Dari stigma masyarakat tersebut, kasus kekerasan seksual yang dialami oleh laki-laki cenderung lebih sulit terungkap karena penyintas pun merasa malu dan juga merasa harga dirinya akan hilang jika mengungkapkan bahwa ia mengalami kekerasan seksual dikarenakan tidak bisa melakukan perlawanan kepada pelaku. Sehingga para laki-laki penyintas kekerasan seksual lebih banyak diam dan menganggap tidak pernah terjadi apa-apa.
"Kebanyakan orang tentu berpikir bahwa kita akan melawan ketika kita diserang. Begitu pun pada korban pelecehan seksual dan perkosaan, kita mungkin akan berpikir, 'mengapa dia tidak melawan? Jika saya ada di posisi itu, saya akan lari atau melawannya'. Memang sulit bagi kita untuk memahaminya, apalagi jika Anda telah meyakini sesuatu," kata Profesor Paul Dolan, psikolog perilaku di London School of Economics.
Â
"Lalu apa saja dampak yang dialami oleh korban?"
Tentu saja dampak psikis menjadi dampak yang dialami oleh korban kekerasan/pelecehan seksual. Korban akan mengalami cemas, ketakutan bahkan depresi. Korban juga akan merasa malu dan minder terhadap orang-orang di sekitarnya.
Namun yang menjadi angin segar sekarang ini yaitu sudah banyaknya orang, khususnya perempuan (sebagai kebanyakan kaum penyintas kekerasan seksual) sudah mulai aware tentang bagaimana caranya menyikapi kekerasan/pelecehan seksual yang marak terjadi.
Sudah tidak sedikit dari para korban kekerasan/pelecehan berani untuk menyuarakan apa yang telah terjadi kepada mereka. Mereka lebih mudah menyuarakan hal itu di media sosial untuk mencari dukungan dan perlindungan untuk dirinya sendiri. Dan syukurnya netizen juga punya rasa kesadaran tinggi untuk merangkul dan memberikan respon dukungan terhadap penyintas kekerasan seksual, walaupun masih banyak juga orang yang malah melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang terdengar konyol untuk diajukan kepada korban.
Seperti contoh yang sering ditemui yaitu kalimat "Kenapa diam aja? Keenakan ya makanya diam aja?"Â atau "Kenapa cewek keluar malam-malam sendirian? Lebih baik di rumah ajalah!"Â atau "Ya enak-lah bro, kalau gue sih gak bakal nolak!"Â Sungguh, ucapan-ucapan atau ketikan semacam itu bisa tambah memperburuk kondisi psikis korban kekerasan/pelecehan seksual. Perkataan semacam di atas dapat membuat korban merasa terpengaruh bahwa mereka tidak mendapat rangkulan dari orang-orang, namun malah seperti tersudutkan dan disalahkan.
Kekerasan/pelecehan seksual dapat terjadi di mana saja dan menimpa siapa saja. Kekerasan/pelecehan seksual lebih sering terjadi di ruang publik, seperti contoh yang sering kita jumpai yaitu pelecehan di stasiun atau bahkan di dalam KRL. Namun tidak memungkiri bahwa kekerasan/pelecehan seksual dapat terjadi di ruang tertutup atau bahkan terjadi di dalam rumah, seperti kasus 'Satu Keluarga di Padang Perkosa 2 Anak Perempuan Secara Bergilir.' tersebut. Â Â
Mereka itu tetaplah korban, karena yang perlu diingat adalah Kekerasan/Pelecehan seksual terjadi karena adanya keinginan dari pelaku yang tidak dapat dia kendalikan sehingga terdoronglah melakukan suatu tindak kekerasan/pelecehan seksual terhadap korban.
Selalu waspada terhadap lingkungan sekitar adalah bentuk usaha yang dapat kita lakukan untuk menghindari terjadinya tindakan yang tidak kita inginkan. Mengingat Kekerasan/Pelecehan Seksual dapat terjadi di mana saja, entah itu berada di ruang tertutup ataupun di ruang publik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H