Mohon tunggu...
Ali Eskaem
Ali Eskaem Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Membaca, melihat, merasakan, menulis dan menganalisa lalu menulis lagi

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Di Balik Gelar Ahli Epidemiology

4 Desember 2024   13:24 Diperbarui: 4 Desember 2024   13:39 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Koleksi Pribadi dibuat dengan Aplikasi

Langit abu-abu di atas kota itu menggantung rendah, seperti menyimpan ribuan rahasia yang siap mencengkeram hati siapa saja yang datang membawa harapan. Di bawahnya, Dede Hayum berdiri di depan gedung besar yang dikelilingi hiruk-pikuk jalanan. Ia memandang bangunan itu lama, mencoba menyerap kenyataan bahwa tempat ini adalah babak baru dalam hidupnya. Dengan langkah pelan, ia memasuki gedung, membawa segenggam impian yang sudah ia kumpulkan selama bertahun-tahun.

Ia percaya, kota besar ini adalah barometer keadilan. Di sini, tidak ada ruang untuk diskriminasi. Kemampuanlah yang akan bicara. Begitu ia mendengar kabar bahwa ia dipindahkan ke tempat ini, Hayum merasa hidupnya akan berubah. Ia meyakinkan dirinya bahwa inilah tempat di mana ilmu dan dedikasinya akan diakui.

Namun, saat ia menerima surat penempatannya, kenyataan pertama yang menusuknya datang tanpa ampun.

"Pegawai baru atau pindahan harus melalui masa adaptasi di wilayah seberang lautan. Itu sudah menjadi aturan," ujar seorang staf dengan nada datar, menyerahkan surat tugas yang telah distempel resmi.

Hayum membaca surat itu perlahan. Hatinya tenggelam. Wilayah seberang itu jauh dari pusat kota, sebuah tempat yang seringkali dipandang sebelah mata. Semua tahu aturan ini hanya berlaku bagi mereka yang tak memiliki koneksi atau pengaruh. Ada mereka yang langsung ditempatkan di pusat gedung megah ini, tanpa harus menyeberang, karena nama belakang mereka yang berat atau hubungan mereka dengan penguasa. Tapi Hayum hanya tersenyum kecil, menyembunyikan gejolak di dadanya.

"Baik, Pak," jawabnya singkat, meskipun tangan yang memegang surat itu sedikit gemetar.

Wilayah seberang adalah dunia lain. Laut yang mengelilinginya memisahkan tempat itu dari hiruk-pikuk kota. Di sana, penduduknya hidup dengan ritme yang berbeda, lebih pelan, lebih sederhana. Hayum bekerja keras setiap hari. Ia mendata, mendidik, dan memberikan laporan epidemiologi kepada pimpinan. Pandemi yang sedang melanda negeri membuat pekerjaannya semakin berat. Ia harus mengeluarkan segala kemampuan akademis dan pengalaman kerja tak kurang sepuluh tahun.

Malam-malamnya dihabiskan di bawah cahaya lampu kamar, menulis laporan yang tak pernah selesai. Suara ombak menjadi latar belakang kesunyian yang melingkupinya. Di sela pekerjaannya, ia sering membayangkan bagaimana ia seharusnya berada di pusat kota, bergabung dengan tim yang menyusun strategi besar untuk memutus rantai penularan. Tapi realitas menahannya di sini, di sudut yang hampir terlupakan.

Hayum tidak pernah mengeluh. Tapi ada saat-saat ketika ia duduk sendirian di kamarnya yang sempit, memeluk lututnya, bertanya dalam hati, "Mengapa hanya aku yang harus melalui ini?"

Setelah melewati setahun, dua tahun, kabar yang ia tunggu akhirnya datang. Ia dipindahkan ke kantor pusat di kota besar itu. Hayum merasa lega, meskipun kelelahan telah lama menorehkan bekas di wajahnya. "Mungkin ini waktunya," pikirnya. Ia percaya bahwa akhirnya ia bisa memberikan kontribusi nyata di tempat yang lebih besar, lebih strategis.

Namun, kota itu menyambutnya dengan tembok yang lebih tinggi dan lebih dingin daripada sebelumnya.

Di kantor pusat, Hayum kembali bekerja dengan dedikasi penuh. Ia menyusun peta penyebaran penyakit dengan akurasi yang luar biasa, data yang menjadi dasar keputusan penting untuk menurunkan angka penularan. Tapi ketika laporan itu dipresentasikan, namanya bahkan tidak disebutkan. Yang berdiri di podium adalah seseorang yang hanya menandatangani laporannya.

Hayum tidak bereaksi. Ia duduk diam di kursinya, tangannya memegang pena yang tak bergerak, hanya mencatat sesuatu di sudut buku yang mungkin tak berarti apa-apa. Matanya tetap tertuju ke depan, tetapi jika diperhatikan lebih dekat, ada genangan kecil yang menggantung di pelupuknya.

Puncak ujian datang saat ia diminta menjadi bagian dari tim besar untuk menyusun program penanganan penyakit tidak menular. Hayum bekerja lebih keras bahkan lebih dari sebelumnya. Ia mengumpulkan data lapangan, menyusun strategi berbasis bukti, dan merancang langkah-langkah yang bisa diterapkan dengan cepat. Ia hampir tidak tidur, berusaha memastikan semuanya sempurna.

Ketika program itu akhirnya diluncurkan, ia hanya diundang sebagai peserta rapat biasa. Presentasi disampaikan oleh seseorang yang bahkan tidak memahami rincian program itu. Dari sudut ruangan, Hayum duduk dengan punggung lurus, wajahnya datar. Di bawah meja, tangannya mencengkeram ujung roknya erat-erat, sampai lipatannya terlihat kusut.

Setelah rapat selesai, Hayum keluar lebih awal. Langkahnya cepat, hampir seperti melarikan diri. Ketika sampai di ruangannya, ia berhenti, berdiri di depan mejanya yang penuh dengan dokumen. Tangannya mengepal kuat, tetapi ia tidak menangis. Ia hanya menundukkan kepala, seolah mengakui kepada dirinya sendiri bahwa perjuangannya di tempat ini mungkin sudah selesai.

Hari berhganti hari, Tak lama kemudian, Hayum membuat keputusan besar. Ia menerima tawaran dari sebuah organisasi internasional yang memintanya memimpin program kesehatan besar. Di sana, ia menemukan ruang untuk berkarya tanpa batasan, tanpa tembok yang menjatuhkan.

Tahun-tahun berlalu, dan nama Hayum menjadi dikenal luas di negeri ini. Ia kembali ke kota besar itu sebagai pembicara dalam sebuah seminar. Ruang aula penuh sesak, orang-orang yang pernah mengabaikannya duduk di antara hadirin.

Di atas podium, Hayum berdiri dengan kepala tegak. Suaranya menggema, penuh keyakinan.

"Keberhasilan sebuah sistem tidak hanya bergantung pada kebijakan yang baik, tetapi juga pada keadilan. Keadilan untuk memberi kesempatan kepada mereka yang bekerja keras, tanpa memandang gelar, status, atau koneksi. Jika kita terus membatasi potensi seseorang hanya karena prasangka, kita akan kehilangan orang-orang yang sebenarnya mampu membawa perubahan."

Ruangan itu hening. Kata-kata Hayum seperti pisau tajam yang mengiris hati mereka yang mendengarnya. Di sudut ruangan, beberapa orang menunduk, menghindari tatapannya.

Hayum tersenyum kecil, bukan dengan kebanggaan, melainkan dengan rasa lega. Akhirnya, ia membuktikan bahwa keadilan yang ia cari tidak harus ditemukan di tempat yang pernah menolaknya---keadilan itu lahir dari keberanian untuk tetap berdiri tegak, meskipun dunia terus mencoba meruntuhkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun