Di kantor pusat, Hayum kembali bekerja dengan dedikasi penuh. Ia menyusun peta penyebaran penyakit dengan akurasi yang luar biasa, data yang menjadi dasar keputusan penting untuk menurunkan angka penularan. Tapi ketika laporan itu dipresentasikan, namanya bahkan tidak disebutkan. Yang berdiri di podium adalah seseorang yang hanya menandatangani laporannya.
Hayum tidak bereaksi. Ia duduk diam di kursinya, tangannya memegang pena yang tak bergerak, hanya mencatat sesuatu di sudut buku yang mungkin tak berarti apa-apa. Matanya tetap tertuju ke depan, tetapi jika diperhatikan lebih dekat, ada genangan kecil yang menggantung di pelupuknya.
Puncak ujian datang saat ia diminta menjadi bagian dari tim besar untuk menyusun program penanganan penyakit tidak menular. Hayum bekerja lebih keras bahkan lebih dari sebelumnya. Ia mengumpulkan data lapangan, menyusun strategi berbasis bukti, dan merancang langkah-langkah yang bisa diterapkan dengan cepat. Ia hampir tidak tidur, berusaha memastikan semuanya sempurna.
Ketika program itu akhirnya diluncurkan, ia hanya diundang sebagai peserta rapat biasa. Presentasi disampaikan oleh seseorang yang bahkan tidak memahami rincian program itu. Dari sudut ruangan, Hayum duduk dengan punggung lurus, wajahnya datar. Di bawah meja, tangannya mencengkeram ujung roknya erat-erat, sampai lipatannya terlihat kusut.
Setelah rapat selesai, Hayum keluar lebih awal. Langkahnya cepat, hampir seperti melarikan diri. Ketika sampai di ruangannya, ia berhenti, berdiri di depan mejanya yang penuh dengan dokumen. Tangannya mengepal kuat, tetapi ia tidak menangis. Ia hanya menundukkan kepala, seolah mengakui kepada dirinya sendiri bahwa perjuangannya di tempat ini mungkin sudah selesai.
Hari berhganti hari, Tak lama kemudian, Hayum membuat keputusan besar. Ia menerima tawaran dari sebuah organisasi internasional yang memintanya memimpin program kesehatan besar. Di sana, ia menemukan ruang untuk berkarya tanpa batasan, tanpa tembok yang menjatuhkan.
Tahun-tahun berlalu, dan nama Hayum menjadi dikenal luas di negeri ini. Ia kembali ke kota besar itu sebagai pembicara dalam sebuah seminar. Ruang aula penuh sesak, orang-orang yang pernah mengabaikannya duduk di antara hadirin.
Di atas podium, Hayum berdiri dengan kepala tegak. Suaranya menggema, penuh keyakinan.
"Keberhasilan sebuah sistem tidak hanya bergantung pada kebijakan yang baik, tetapi juga pada keadilan. Keadilan untuk memberi kesempatan kepada mereka yang bekerja keras, tanpa memandang gelar, status, atau koneksi. Jika kita terus membatasi potensi seseorang hanya karena prasangka, kita akan kehilangan orang-orang yang sebenarnya mampu membawa perubahan."
Ruangan itu hening. Kata-kata Hayum seperti pisau tajam yang mengiris hati mereka yang mendengarnya. Di sudut ruangan, beberapa orang menunduk, menghindari tatapannya.
Hayum tersenyum kecil, bukan dengan kebanggaan, melainkan dengan rasa lega. Akhirnya, ia membuktikan bahwa keadilan yang ia cari tidak harus ditemukan di tempat yang pernah menolaknya---keadilan itu lahir dari keberanian untuk tetap berdiri tegak, meskipun dunia terus mencoba meruntuhkan.