Mohon tunggu...
Aliefia Diwandana
Aliefia Diwandana Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa jurusan Psikologi UIN Maliki Malang angkatan 2013

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dari Sisi Ku

23 Mei 2016   20:14 Diperbarui: 23 Mei 2016   20:22 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hujan tak kunjung berhenti, aku melihat dari ketinggian, sekelebatan warna-warni berjalan kesana kemari, semua orang sibuk. Tapi tidak denganku, aku disini sendirian. Terjebak hujan dan sedang menunggu seseorang. Aku duduk meringkuk di balkon yang tidak terkena tetesan air hujan, kenapa tidak terlihat batang hidungnya sih?, batinku kesal. Tuk..tuk..tuk aku yang masih meringkuk dengan kesendirianku, mendengar ada suara langkah yang mendekat dan begitulah kamu muncul layaknya ksatria kesiangan. “Hani!” Panggilmu pelan. Yang awalnya aku cemberut, melihat senyum yang terkembang di wajahmu tak ayalnya membuatku terpaku sebentar dan senyum pun terkembang pula di wajahku. “Padahal aku mau marah lho sama kamu. Bim.” Bimo membantuku berdiri. “Halah kamu kan nggak bisa marah sama aku. Aku aja kebasahan gini, lari tau tadi kesininya. By the way, anak-anak emang udah pada dateng? Kuliah hari ini kan bukan mata kuliah wajib sih.” “Belom lah, mana ujan gini apa ya mereka udah dateng. Tapi itu bapaknya udah jalan ke arah sini. Udah ayo masuk aja ke kelas.” Ucapku sambil mendorong Bimo dari belakang.

Namaku Hani, aku seorang mahasiswi di suatu universitas di Indonesia, orang yang kalian kenal dengan sebutan Bimo adalah teman baruku di kampus, kami berteman semenjak awal masuk kuliah. Entahlah apa yang membuat kami akrab tapi aku menyukai hal ini. Ini pertama kalinya aku punya teman cowok karena jaman SMA dulu aku tidak pernah mempunyai teman cowok yang sedekat ini.

Hujan semakin lebat, bahkan sampai perkuliahan berakhir, hujan pun tak kunjung berhenti. Aku mengambil payung dari tasku. “Wah ada yang bawa payung. Kamu tak anterin ke kos ta? Nanti payungnya aku pinjem dulu buat ke warung makan.”, celetuk Bimo. “Satu payung berdua?” aku terkejut, entah celetuknya dia yang aneh atau perasaanku ini yang jadi aneh. Beberapa hari terakhir ini, aku lebih mengharapkan Bimo untuk hanya memandangku dan bukan anak yang lain. Aku bercerita ke teman satu kosku, Laila dan dia bilang aku sedang jatuh cinta pada Bimo tapi aku selalu menyangkal hal tersebut. “Iyalah, Han. Kamu ini ya gitu masih ditanyain, astaga.” , katanya sambil tersenyum. “Ya tapi ini payungnya kecil, Bim. Deket banget dong ntar kita.” Ucapku sambil terbata-bata. “Astaga Bimo, mentang-mentang suasananya mellow gini kok ya bisa kamu godain Hani. Udah ayo ke warung makan, cowok kok takut air.” Yahya merangkul Bimo dan menariknya pergi. Aku tidak sempat mengucapkan selamat tinggal pada Bimo tapi pasti besok ketemu jadi aku tidak perlu khawatir.

Besoknya, aku mendapat kabar buruk dari Bimo. “Han, ijinin ga masuk hari ini sampe 3 hari ke depan ya.” Tulisnya di chat. “Eh kenapa? Ibumu sakit lagi?” balasku. “Haha, nggak kok ini aku yang lagi sakit.” Secara spontan, handphone yang awalnya kupegang, tiba-tiba sudah tergeletak di lantai. “Kenapa, Han? Handphone kamu masih bagus gini, kasihin ke aku aja sini.” Ejek Laila. “Bimo lagi sakit, La.” Jawabku pelan. “Bercanda kan?” Laila mengambil handphoneku dan melihat history chat dari Bimo dan cuman bisa melongo, “Sakit apaan sampe minta diijinin 4 hari gini?” tanyanya. “Aku belum tanya sih, cuman kaget aja kok dia sakit. Wong kemarin gapapa, sehat aja pas terakhir lihat sama si Yahya.” “Yaudah cepet sms sana gih, siapa tau cuman demam sama flu aja. Timbang kamu khawatir gini. 

Eh iya, katanya ga suka tapi kok kamu jadi panik gini sih hahahaha.” Aku hanya melirik tajam ke arah Laila dan membalas chat Bimo, “Sakit apa kamu, Bim?” dan hanya mendapat balasan, “Doain aja cepet sembuh. Cuman masalah lambung aja kok, Han. Santai aja hehehe.” Ini anak ditanyain serius malah jawabannya guyon gini dasar cowok duh, batinku.

Hampir 1 minggu Bimo absen dari kelas, aku makin khawatir dia sakit yang aneh-aneh tapi karena yang lagi sakit bilang doain aja ya aku nggak ada tanya kabarnya dia kayak gimana. Aku cuman berdoa aja dia cepet masuk kuliah, udah kangen. Ya mulai saat ini aku bakal ngaku kalau aku emang lagi suka sama Bimo, tapi untuk beberapa orang saja pengakuanku ini didengar. Aku nggak mau Bimo jadi nggak nyaman sama aku kalau sampai dia tahu. Aku melihat ke arah jendela, matahari sudah mulai bergerak ke arah barat tapi perkuliahan ini nggak cepet dimulai, aku bosan menunggu. “Han, pinjem handphone lo dong.” Farah, salah satu anak dari Jakarta di kampusku. “Buat apaan?” tanyaku. “Udah siniin aja, mau liat-liat gallery handphone lo.” 

Aku memberikan handphoneku pada Farah dan kembali melihat ke arah pintu, berharap dosennya segera datang. Aku melongok ke luar dan aku mendapati Bimo sedang berjalan ke arah pintu kelas. Wah, doaku didengar oleh Tuhan! jeritku dalam hati. “Wah lo lagi deket sama Bimo, Han? Lo pacaran sama Bimo?” Farah setengah berteriak. “Ih, anak ini sumpah deh. Katanya liat gallery, malah buka chat gue sih.” Aku merebut handphoneku dan mematikannya. “Udah berapa lama kalian pacaran? Ceileh, keren banget sampe ga ada siapapun yang tahu. Gue suka banget chat kalian yang si Bimo bilang kode-kode minta bersandar di pundak seseorang itu loh. Ya ampun, kuno banget kalian ini. Masih kode-kodean.” Ucapnya senang. “Far, lo bisa diem kagak sih. Gue ga lagi deket sama Bimo kok. Temenan aja kitanya. Jangan salah paham lah, baru baca gitu doang udah bikin asumsi aneh-aneh lo. Bimo kalo denger kan ya bikin salah paham.” Farah hanya mengangguk tapi masih dengan senyuman yang menempel di bibirnya.

“Bim, kamu udah baikan? Bener-bener sembuh? Yakin?” tanyaku beruntun. “Iya udah, ampun deh tanyanya sampe segitunya bangets sih, Han? Kangen ta?” Wajahku memerah dan segera aku memalingkan wajahku, “Males banget kangen sama kamu, Bim.” “Hahaha, bercanda, Han.” Aku masih terus memandang wajahnya dari sampingnya. Seakan nggak puas dengan hanya bertemu beberapa jam ini.

2 minggu berikutnya, kami ada UTS (Ujian Tengah Semester). “Eh hari ini ujian lisan ya kamu?” tanya Laila. “Iya nih, aduh stres aku. Paling nggak suka sama ujian lisan.” Jawabku sambil berbaring di kasur. “Ujian jam berapa?” “Jam 2 ntar masih.” Laila mengambil bukuku yang berserakan di bawah dipan kasur dan meletakkannya di sebelahku. “Ya tapi tetep belajar lah. Mau lulus apa nggak kamu ini?” Aku dengan malas-malasan membuka buku yang harus kupelajari. Pada akhirnya pun aku tertidur dan belajar terlupakan. “Han, jam 1 Han. Bangun oi.” Laila membangunkanku perlahan. “Hah? Serius? Yang ada aku nggak belajar jadinya tadi astaga.” Aku langsung berlari ke kamar mandi dan mencuci wajahku dan sikat gigi. “Nggak mandi dulu?” tanya Laila. “Ntar aja deh. Kelamaan.” Ucapku sambil ganti baju dan segera berangkat.

Sesampainya di kampus, teman-temanku terlihat sedang belajar dengan satu sama lain. “Wah tumben Hani telat.” Ucap mereka. “Hahaha ketiduran.” Jawabku langsung duduk di samping mereka. “Hani! Hani!” Aku mencari asal suara dan yang punya suara langsung duduk di depanku. “Ayo belajar bareng yuk.” Ajak Bimo. “Duh Bimo, Hani. Kalian itu udah pinter, ngapain sih belajar. Bareng lagi.” Protes Nisa. “Nis, aku ngomongnya sama Hani. Bukan sama kamu. Kenapa kamu yang ngerespon jadinya.” Bimo lalu tidak memperhatikan lagi raut wajah Nisa yang kesal dengan perkataannya. “Ayo minggir aja deh, biarin anak dua ini belajar disini.” Semuanya langsung beralih dari balkon dekat kelas, jadi duduk di depan kelas langsung. Aku yang dijadiin bahan pembicaraan disini hanya bisa senyam-senyum, padahal belum belajar, bodoh banget ga sih.

Bimo memberiku pertanyaan-pertanyaan yang sekiranya bakal muncul dari dosen. Aku untungnya bisa menjawabnya dengan lancar. “Persiapan Kloter 1, Agus, Bimo, Ezra, Farah, dan Gun.” Teriak ketua kelas. “Eh habis ini aku dipanggil.” Kata Bimo yang mau berdiri untuk pindah berdiri di depan ruang kelas. “Tunggu Bim, kamu lho belum tak kasih pertanyaan.” Sergahku. “Oh iya, kasih 3 pertanyaan kayaknya cukup kok masih waktunya. Ayo Han.” Setelah 3 pertanyaan kuberikan, Bimo dipanggil untuk masuk ujian lisan.

“Persiapan Kloter 2, Hani, Jono, Kayla, Meysha, dan Nanung.” Aku bersiap di depan kelas dan 5 menit kemudian Bimo keluar. Ketika dia keluar dan aku masuk, dia menahan lenganku. “Eh, liatin nilaiku ya.” Ucapnya sambil berbisik ke telingaku. Aku yang tahu ini waktu ujian, malah sempat tersipu malu dengan perilakunya yang barusan itu. “Hani! Kamu mau ujian apa nggak sih?” Teriak Pak Seno. “Eh iya pak.” Aku segera berlari menuju meja bapaknya.

Banyak hal yang terjadi antara aku dan Bimo, bagiku hal-hal itu sangatlah manis. Dari sisiku semua hal yang kulakukan bersamanya adalah bukti perhatiannya dia padaku, sampai hari itu datang. 2 minggu menjelang UAS, Bimo tiba-tiba saja berhenti mengirim pesan padaku. Aku tidak berusaha mencari karena sebagai cewek aku merasa gengsi, itu saja. Bahkan di kelas pun dia juga tidak lagi berbicara padaku seperti dulunya. Aku galau dibuat olehnya, setiap hari aku bertanya-tanya pada Laila dan sampai dia pun tidak hentinya menggelengkan kepalanya, sedih melihat aku yang tiba-tiba hancur ini. “Udah, Han. Mungkin dia lebih suka sama cewek lain. Toh cowok bukan dia aja sih.” Ujar Laila menenangkanku. “Gampang emang ngomong gitu, La. Yang lagi ngejalanin itu yang ngerasain susahnya gimana.” 

Aku berusaha tegar, berusaha tidak terlihat lemah di depan Bimo. Sampai hari H UAS pun dia sama sekali tidak menggubrisku. Aku mencoba bertanya jawaban salah satu pertanyaan yang menurutku susah padanya, tapi dia tidak mendengarku atau entahlah mungkin dia tidak ingin mendengarku.

Setelah itu, ada ujian lisan yang membutuhkan kamus Bahasa Inggris karena bapaknya bilang akan memberikan pertanyaan berupa bahasa inggris kepada kami. Aku sudah selesai membaca kamus dan menutup kamus milikku. Sedangakan Yahya masih menggunakan kamusnya dan sedang bergumam berusaha menghafalkan kata-kata yang sekiranya akan dia butuhkan. Tiba-tiba, “Yah, pinjem kamusmu dong.” “Lah masih kupake, Bim. Itu lho si Hani udah kelar kayaknya, pinjem aja dia sana.” Yahya menolak permintaan Bimo tetapi Bimo masih bersikeras dan mengambil paksa kamus milik Yahya. “Udah kamu aja yang pinjem Hani.” Katanya santai. 

Aku hanya bisa berusaha meredam rasa penasaranku dan rasa marahku padanya.  “Han, pinjem ya.” Aku menyodorkan kamusku setelah Yahya meminta ijin. Begitu seterusnya perilaku Bimo padaku sampai kami di semester berikutnya benar-benar berpisah. Tidak ada satu pun mata kuliah yang sama di semester ini. Sepertinya dia membenciku, pikirku.

Hampir 1 semester aku masih dibuat galau oleh hilangnya Bimo tiba-tiba ini. Aku sering marah-marah sendiri ke Laila, sampai-sampai aku kasihan sendiri melihat Laila jadi bahan pelampiasanku. Ting..ting.. Aku membuka chat yang masuk ke handphoneku, terlihat ada tulisan nama grup geng SMA-ku. Disana aku membaca ada salah satu temanku yang bercerita bahwa dia baru aja mencoba mengungkapkan perasaannya pada cowok yang sedang disukainya. 

Katanya daripada galau berkepanjangan, dia memberanikan diri untuk bertanya langsung ke cowoknya dan endingnya pun ditolak tapi dari sana dia menjadi lebih lega setelah mengungkapkan hal yang dia sembunyikan selama ini. Resikonya pun hubungan mereka menjadi semakin renggang, tapi temanku bilang dia sudah sadar dengan konsekuensinya. Ketika temanku bercerita begitu, aku langsung kepikiran untuk mengirim surat ke Bimo melalui temannya yang sering sekelas di semester ini.

Aku menulis surat diam-diam tanpa sepengetahuan Laila, aku tahu kalau aku cerita ke dia yang ada dia pasti menolak ide itu. Dia bakal bilang gengsi-lah jadi cewek kok yang ngaku duluan. Jangan mau lah dan lain sebagainya. Aku janji akan cerita kalau suratnya udah sampe di tangan Bimo. Besoknya aku bertemu dengan temannya dan memberikan surat itu ke temannya, “Titip ya, My. Bilang dari Hani, urgent. Gitu ya.” Kataku sambil menyerahkan surat itu ke Jimmy. “Siap bos. Kenapa ga kasih sendiri?” “Ga ada waktu Jim. Titip ajalah ya. Thank you.” Aku pamit dan segera masuk ke kelas.

Sampai 1 minggu berikutnya, aku nggak dapet kabar apapun dari Jimmy. Tiba-tiba sorenya, Ting..ting.. “Han, ini Bimo. Kamu yang kirim surat yang dititipin ke Jimmy kan ya?” Aku hanya terbengong membaca nama yang terpampang di layar, ini beneran Bimo! Astaga.“Iya, Bim. Aku yang kirim surat itu.” Jawabku. “Oh oke, aku mau jawab pertanyaan-pertanyaan di suratmu. Jadi gini, aku emang gini orangnya. Aku anggep kamu temenku, tapi beberapa waktu kemarin itu emang lagi sibuk di luar jadi ga ada waktu buat chat kamu kayak biasanya. Jadi ya kita cuman saling tukar sapa aja gapapa kan? Oh iya, kamu juga inget umur dong Han. Kamu bakal umur 20 tahun, tahun ini. Aku bakal tambah jadi 21 tahun. Udah bukan waktunya pacaran kan ya? Udah waktunya mikirin tentang pernikahan. Umur kita udah bukan jamannya yang pacaran kayak anak SMA, Han. Ini bukannya aku nolak kamu, aku cuman ngejaga kamu. Lain kali, kalau kamu lagi suka sama cowok, disimpen aja dalem hati. Cinta yang tersimpan di hati itu lebih aman dari apapun loh. Nggak baik juga kalo orang tahu cewek duluan yang ngakuin sukanya gini.” Butuh waktu 15 menit sampai aku menyadari kalau itu tolakan secara halus dari Bimo. Aku membanting handphoneku ke kasur. Kesal dengan jawaban dari Bimo.

Laila baru saja datang dari kampus, bertanya-tanya kenapa mukaku cemberut. “Liat aja itu di handphone.” Laila meraih handphoneku dan membaca chat dari Bimo. “Kamu ngirim surat cinta ke BIMO????!!! Dan ditolak?” Aku mengangguk dan merebut handphoneku dari Laila. “Oh iya hehe, kemarin-kemarin aku galau terus mau ngungkapin apa nggak, daripada galau mulu akhirnya aku ngirim surat itu lewat Jimmy.” Aku mengirim pesan itu ke Bimo. Beberapa saat kemudian dia membalas, “Oalah. Yaudah aku doain semoga kuliahmu lancar dan cepetan lulus ya, Han. Sukses buat kamu terus ya.” dan aku memberikan ucapan yang sama, “Iya, kamu juga ya. Amin.” Kata-kata itu menjadi penutup chatku yang terakhir kalinya dengan Bimo. Laila masih memperhatikanku dengan raut khawatir, “Kamu gapapa beneran?” Aku hanya menjawabnya dengan tersenyum simpel.

Aku yang jarang pulang ke rumah, memutuskan untuk pulang melepas penat di kampus. Sahabat baikku dari kecil pun tahu kepulanganku, mengirim pesan supaya aku datang ke rumahnya. Sesampainya di rumah, ketika tahu tidak ada siapapun disana. Aku langsung menangis di pelukannya. Dia sudah kuberitahu masalahku dengan Bimo, karena selain Laila, yang tahu perihal aku suka Bimo adalah sahabatku ini, Rara namanya. Aku menangis hampir 30 menit lamanya dan dia bilang, “Nangis aja terus. Luapin semuanya. Aku tahu kamu nahan tangisan itu udah beberapa hari ini kan?” Aku mengangguk sambil menangis tersedu-sedu. Masih terasa nyesek ketika aku mengingat kata-kata dari Bimo.

Aku memberikan handphoneku agar Rara bisa membaca chat dari Bimo. “Udah Han? Nangisnya udah puas?” tanyanya lembut. Rara lebih tua dari aku, jadi aku sangat suka bercerita apapun ke dia, karena aku selalu lebih tenang dalam menghadapi masalah. “Udah. Kenapa mbak?” tanyaku balik. “Kalau dilihat dari sisi positif ya, aku salut loh sama kamu.” Ucapnya. “Kok bisa gitu?” aku masih penasaran kenapa dia bisa bilang hal itu. “Salut karena ucapanmu yang sering cerita kalau dia salatnya rajin, kalau dia sayang banget sama ibunya, agamanya bagus dan dia nggak ngerokok, sepertinya keliatan di chat itu dan salut karena kamu bisa nemu cowok kayak Bimo. 

Dia ngejaga kamu banget, Han. Dia nggak mau ngerusak kamu dengan hal yang namanya pacaran. Dia pemikirannya udah jauh banget, dia mikirin tentang pernikahan, bukan lagi pacaran. Salahnya dia, kenapa dia menghilang tiba-tiba tanpa beritahu kamu. Itu sih.” Ujarnya berusaha menenangkanku. “Salut apanya, dia lho kayak gitu.” Kataku sambil cemberut. “Kan aku bilang, kalau dilihat dari sisi positif dia itu termasuk cowok baik, Han. Tapi kan kita ga boleh suudzon, ya kalau dia cuman nulis gini buat nolak kamu tapi di luar dia pacaran sama cewek lain ya biar dosanya dia tanggung sendiri.”

Entahlah, perkataannya biasa aja sebenernya. Tapi hal itu membuatku lebih tenang dan legowo dengan jawaban milik Bimo. Setelah bertemu dengan Rara, aku bisa sedikit demi sedikit melupakan kejadian atau peristiwa yang kualami bersama Bimo. Aku mulai bisa move on dari Bimo. Bahkan beberapa waktu lalu, aku bertemu dengannya dan aku benar-benar bisa mengendalikan diriku. Sama seperti aku dulunya sebelum bertemu dengan Bimo. 

Kali ini aku sadar, perhatian yang ditunjukkan Bimo waktu itu sebenarnya sama dengan perhatian yang dia berikan ke cewek yang lain, tapi namanya orang jatuh cinta, semua perlakuan si doi bakalan menjadi hal yang spesial, dan bahkan membuat kamu lebih GR dari orang kebanyakan. Ya, ketika perhatian dan perilakumu kulihat dan kuinterpretasikan hanya dari sisiku. Inilah yang terjadi.

Terima kasih telah hadir dan pernah mengisi hidupku, walau aku tidak pernah menginjakkan kaki di hatimu dan tidak pernah menjadi bagian dari hidupmu. Setidaknya, bertemu denganmu memberiku sebuah pelajaran hidup yang baru, terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun