Aku memberikan handphoneku agar Rara bisa membaca chat dari Bimo. “Udah Han? Nangisnya udah puas?” tanyanya lembut. Rara lebih tua dari aku, jadi aku sangat suka bercerita apapun ke dia, karena aku selalu lebih tenang dalam menghadapi masalah. “Udah. Kenapa mbak?” tanyaku balik. “Kalau dilihat dari sisi positif ya, aku salut loh sama kamu.” Ucapnya. “Kok bisa gitu?” aku masih penasaran kenapa dia bisa bilang hal itu. “Salut karena ucapanmu yang sering cerita kalau dia salatnya rajin, kalau dia sayang banget sama ibunya, agamanya bagus dan dia nggak ngerokok, sepertinya keliatan di chat itu dan salut karena kamu bisa nemu cowok kayak Bimo.
Dia ngejaga kamu banget, Han. Dia nggak mau ngerusak kamu dengan hal yang namanya pacaran. Dia pemikirannya udah jauh banget, dia mikirin tentang pernikahan, bukan lagi pacaran. Salahnya dia, kenapa dia menghilang tiba-tiba tanpa beritahu kamu. Itu sih.” Ujarnya berusaha menenangkanku. “Salut apanya, dia lho kayak gitu.” Kataku sambil cemberut. “Kan aku bilang, kalau dilihat dari sisi positif dia itu termasuk cowok baik, Han. Tapi kan kita ga boleh suudzon, ya kalau dia cuman nulis gini buat nolak kamu tapi di luar dia pacaran sama cewek lain ya biar dosanya dia tanggung sendiri.”
Entahlah, perkataannya biasa aja sebenernya. Tapi hal itu membuatku lebih tenang dan legowo dengan jawaban milik Bimo. Setelah bertemu dengan Rara, aku bisa sedikit demi sedikit melupakan kejadian atau peristiwa yang kualami bersama Bimo. Aku mulai bisa move on dari Bimo. Bahkan beberapa waktu lalu, aku bertemu dengannya dan aku benar-benar bisa mengendalikan diriku. Sama seperti aku dulunya sebelum bertemu dengan Bimo.
Kali ini aku sadar, perhatian yang ditunjukkan Bimo waktu itu sebenarnya sama dengan perhatian yang dia berikan ke cewek yang lain, tapi namanya orang jatuh cinta, semua perlakuan si doi bakalan menjadi hal yang spesial, dan bahkan membuat kamu lebih GR dari orang kebanyakan. Ya, ketika perhatian dan perilakumu kulihat dan kuinterpretasikan hanya dari sisiku. Inilah yang terjadi.
Terima kasih telah hadir dan pernah mengisi hidupku, walau aku tidak pernah menginjakkan kaki di hatimu dan tidak pernah menjadi bagian dari hidupmu. Setidaknya, bertemu denganmu memberiku sebuah pelajaran hidup yang baru, terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H