Mohon tunggu...
Aliefia Diwandana
Aliefia Diwandana Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa jurusan Psikologi UIN Maliki Malang angkatan 2013

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dari Sisi Ku

23 Mei 2016   20:14 Diperbarui: 23 Mei 2016   20:22 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Persiapan Kloter 2, Hani, Jono, Kayla, Meysha, dan Nanung.” Aku bersiap di depan kelas dan 5 menit kemudian Bimo keluar. Ketika dia keluar dan aku masuk, dia menahan lenganku. “Eh, liatin nilaiku ya.” Ucapnya sambil berbisik ke telingaku. Aku yang tahu ini waktu ujian, malah sempat tersipu malu dengan perilakunya yang barusan itu. “Hani! Kamu mau ujian apa nggak sih?” Teriak Pak Seno. “Eh iya pak.” Aku segera berlari menuju meja bapaknya.

Banyak hal yang terjadi antara aku dan Bimo, bagiku hal-hal itu sangatlah manis. Dari sisiku semua hal yang kulakukan bersamanya adalah bukti perhatiannya dia padaku, sampai hari itu datang. 2 minggu menjelang UAS, Bimo tiba-tiba saja berhenti mengirim pesan padaku. Aku tidak berusaha mencari karena sebagai cewek aku merasa gengsi, itu saja. Bahkan di kelas pun dia juga tidak lagi berbicara padaku seperti dulunya. Aku galau dibuat olehnya, setiap hari aku bertanya-tanya pada Laila dan sampai dia pun tidak hentinya menggelengkan kepalanya, sedih melihat aku yang tiba-tiba hancur ini. “Udah, Han. Mungkin dia lebih suka sama cewek lain. Toh cowok bukan dia aja sih.” Ujar Laila menenangkanku. “Gampang emang ngomong gitu, La. Yang lagi ngejalanin itu yang ngerasain susahnya gimana.” 

Aku berusaha tegar, berusaha tidak terlihat lemah di depan Bimo. Sampai hari H UAS pun dia sama sekali tidak menggubrisku. Aku mencoba bertanya jawaban salah satu pertanyaan yang menurutku susah padanya, tapi dia tidak mendengarku atau entahlah mungkin dia tidak ingin mendengarku.

Setelah itu, ada ujian lisan yang membutuhkan kamus Bahasa Inggris karena bapaknya bilang akan memberikan pertanyaan berupa bahasa inggris kepada kami. Aku sudah selesai membaca kamus dan menutup kamus milikku. Sedangakan Yahya masih menggunakan kamusnya dan sedang bergumam berusaha menghafalkan kata-kata yang sekiranya akan dia butuhkan. Tiba-tiba, “Yah, pinjem kamusmu dong.” “Lah masih kupake, Bim. Itu lho si Hani udah kelar kayaknya, pinjem aja dia sana.” Yahya menolak permintaan Bimo tetapi Bimo masih bersikeras dan mengambil paksa kamus milik Yahya. “Udah kamu aja yang pinjem Hani.” Katanya santai. 

Aku hanya bisa berusaha meredam rasa penasaranku dan rasa marahku padanya.  “Han, pinjem ya.” Aku menyodorkan kamusku setelah Yahya meminta ijin. Begitu seterusnya perilaku Bimo padaku sampai kami di semester berikutnya benar-benar berpisah. Tidak ada satu pun mata kuliah yang sama di semester ini. Sepertinya dia membenciku, pikirku.

Hampir 1 semester aku masih dibuat galau oleh hilangnya Bimo tiba-tiba ini. Aku sering marah-marah sendiri ke Laila, sampai-sampai aku kasihan sendiri melihat Laila jadi bahan pelampiasanku. Ting..ting.. Aku membuka chat yang masuk ke handphoneku, terlihat ada tulisan nama grup geng SMA-ku. Disana aku membaca ada salah satu temanku yang bercerita bahwa dia baru aja mencoba mengungkapkan perasaannya pada cowok yang sedang disukainya. 

Katanya daripada galau berkepanjangan, dia memberanikan diri untuk bertanya langsung ke cowoknya dan endingnya pun ditolak tapi dari sana dia menjadi lebih lega setelah mengungkapkan hal yang dia sembunyikan selama ini. Resikonya pun hubungan mereka menjadi semakin renggang, tapi temanku bilang dia sudah sadar dengan konsekuensinya. Ketika temanku bercerita begitu, aku langsung kepikiran untuk mengirim surat ke Bimo melalui temannya yang sering sekelas di semester ini.

Aku menulis surat diam-diam tanpa sepengetahuan Laila, aku tahu kalau aku cerita ke dia yang ada dia pasti menolak ide itu. Dia bakal bilang gengsi-lah jadi cewek kok yang ngaku duluan. Jangan mau lah dan lain sebagainya. Aku janji akan cerita kalau suratnya udah sampe di tangan Bimo. Besoknya aku bertemu dengan temannya dan memberikan surat itu ke temannya, “Titip ya, My. Bilang dari Hani, urgent. Gitu ya.” Kataku sambil menyerahkan surat itu ke Jimmy. “Siap bos. Kenapa ga kasih sendiri?” “Ga ada waktu Jim. Titip ajalah ya. Thank you.” Aku pamit dan segera masuk ke kelas.

Sampai 1 minggu berikutnya, aku nggak dapet kabar apapun dari Jimmy. Tiba-tiba sorenya, Ting..ting.. “Han, ini Bimo. Kamu yang kirim surat yang dititipin ke Jimmy kan ya?” Aku hanya terbengong membaca nama yang terpampang di layar, ini beneran Bimo! Astaga.“Iya, Bim. Aku yang kirim surat itu.” Jawabku. “Oh oke, aku mau jawab pertanyaan-pertanyaan di suratmu. Jadi gini, aku emang gini orangnya. Aku anggep kamu temenku, tapi beberapa waktu kemarin itu emang lagi sibuk di luar jadi ga ada waktu buat chat kamu kayak biasanya. Jadi ya kita cuman saling tukar sapa aja gapapa kan? Oh iya, kamu juga inget umur dong Han. Kamu bakal umur 20 tahun, tahun ini. Aku bakal tambah jadi 21 tahun. Udah bukan waktunya pacaran kan ya? Udah waktunya mikirin tentang pernikahan. Umur kita udah bukan jamannya yang pacaran kayak anak SMA, Han. Ini bukannya aku nolak kamu, aku cuman ngejaga kamu. Lain kali, kalau kamu lagi suka sama cowok, disimpen aja dalem hati. Cinta yang tersimpan di hati itu lebih aman dari apapun loh. Nggak baik juga kalo orang tahu cewek duluan yang ngakuin sukanya gini.” Butuh waktu 15 menit sampai aku menyadari kalau itu tolakan secara halus dari Bimo. Aku membanting handphoneku ke kasur. Kesal dengan jawaban dari Bimo.

Laila baru saja datang dari kampus, bertanya-tanya kenapa mukaku cemberut. “Liat aja itu di handphone.” Laila meraih handphoneku dan membaca chat dari Bimo. “Kamu ngirim surat cinta ke BIMO????!!! Dan ditolak?” Aku mengangguk dan merebut handphoneku dari Laila. “Oh iya hehe, kemarin-kemarin aku galau terus mau ngungkapin apa nggak, daripada galau mulu akhirnya aku ngirim surat itu lewat Jimmy.” Aku mengirim pesan itu ke Bimo. Beberapa saat kemudian dia membalas, “Oalah. Yaudah aku doain semoga kuliahmu lancar dan cepetan lulus ya, Han. Sukses buat kamu terus ya.” dan aku memberikan ucapan yang sama, “Iya, kamu juga ya. Amin.” Kata-kata itu menjadi penutup chatku yang terakhir kalinya dengan Bimo. Laila masih memperhatikanku dengan raut khawatir, “Kamu gapapa beneran?” Aku hanya menjawabnya dengan tersenyum simpel.

Aku yang jarang pulang ke rumah, memutuskan untuk pulang melepas penat di kampus. Sahabat baikku dari kecil pun tahu kepulanganku, mengirim pesan supaya aku datang ke rumahnya. Sesampainya di rumah, ketika tahu tidak ada siapapun disana. Aku langsung menangis di pelukannya. Dia sudah kuberitahu masalahku dengan Bimo, karena selain Laila, yang tahu perihal aku suka Bimo adalah sahabatku ini, Rara namanya. Aku menangis hampir 30 menit lamanya dan dia bilang, “Nangis aja terus. Luapin semuanya. Aku tahu kamu nahan tangisan itu udah beberapa hari ini kan?” Aku mengangguk sambil menangis tersedu-sedu. Masih terasa nyesek ketika aku mengingat kata-kata dari Bimo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun