Di toilet Pengadilan Negeri Bandung, saya menangis. Ada sesak dan mendesak dada. Betapa tidak: vonis Majelis Hakim memvonis Arnold Purba Nainggolan alias Ucok, seorang terdakwa kasus makar mahasiswa ITB, dengan hukuman dua tahun lebih berat dari tuntutan Jaksa. Begitu pula yang lainnya divonis lebih berat dari tuntutan.
Perasaan saya memang “halus”, selalu tersentuh pada hal-hal yang mengusik nurani. Sastra dan seni rupa, dua kegiatan paling saya sukai sejak kecil. ketimbang meliput di lingkungan pengadilan. Sebenarnya, saya lebih pas meliput peristiwa seni.
Rumor vonis “tuntas” ini, sudah tersebar di kalangan wartawan yang meliput sidang. Semua ini, pastinya atas desakan sang rezim penguasa Soeharto. Mereka, para mahasiswa ITB antara lain: Jumhur Hidayat, Enin Supriyanto, Amarsya, Fadjroer Rachman, mereka adalah pentolan aksi demo menghadang Rudi, Mendagri waktu itu, masuk ke ITB.
Sidang ini, selalu dipenuhi massa mahasiswa, namun bukan demo. Tidak ada pengerahan masa. Mereka datang secara sukarela. Tidak ada orasi dengan menggunakan pengeras suara. Namun penjagaan begitu ketat, pengunjung yang masuk dibatasi. Tidak terkecuali, saya sebagai wartawan harus datang sejak pagi.
Peristiwa sidang ini, saya tak pernah saya lupakan. Dari sidang ini, banyak mengenal pengacara kahot, khos atau berkelas, seperti Luhut Pangaribuan, Ibu Amartiwi Saleh, Dindin S. Maolani, Ronggur Hutagalung, Abdu Hakim Garuda Nusantara. Bahkan tadinya, pengacara Adnan Buyung Nasution akan ikut membela. Namun beliau tak dapat beracara, karena dicabut kepengacaraan akibat dituduh contempt of court ketika membela Jend. Purn. HR Darsono.
Selain itu, lewat sidang ini, saya nyaris diciduk Bakorstranasda. Sebuah lembaga yang ditakuti waktu itu. Soalnya, saya mengirimkan berita pemukulan mahasiswa oleh ormas underbow Golkar. Sedangkan media lain, tak ada yang memberitakannya. Untung saja ada “keajaiban”, bahwa kantor perwakilan media yang kami tempati, ternyata milik anggota BAKIN sekarang BIN.
Mata saya sebak ketika melihat: Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) divonis 2 tahun. Sama seperti dulu meski air mata tak deras mengalir seperti dulu, karena saya sedang menggendong cucu. Namun ada yang merembes menyesakkan dada.
Inilah keadilan? Ternyata keadilan belum terwujud. Mengutip Mumammad AS Hikam mantan menteri di era presiden Gus Dur: a sad day for justice & civility in my beloved. Meski tak melebihi jemari tangan saya menjadi wartawan, namun selama meliput di Pengadilan, banyak menyaksikan tindak ketidakadilan dari aparat penegak hukum. Saya menyaksikan: bagaimana hukum berpihak pada si kaya. Sekarang terdakwa kasus kepemilikan senjata. Bahkan ditengarai kepimilikan ganja, tapi kasus ini di “dept” (dihilangkan). Dia seorang anak mantan Gubernur Sumatra Utara. Dia pelesiran ke Bandung bersama kawannya. Menginap di hotel berbintang dan menyiwa PSK. Entah apa yang dilakukan, sang PSK menjerit-jerit karena ditodong senjata. Inilah yang menyebabkan terbongkar.
Sidangnya vonisnya sungguh misterius. Dilakukan sebelum jam kerja PNS. Terdakwa datang dengan mobil mewah berwarna putih, karena tak ditahan. Sang Hakim tunggal, AM adalah wakil PN. Bandung waktu itu. Dan, dia terkejut ketika melihat kehadiran saya di dalam ruang sidang. Sedangkan putusannya: terdakwa divonis 1 tahun dalam masa percobaan 2 tahun. Persis dari tuntutan Jaksa pada Ahok dalam sidang dugaan penistaaan agama.
Tidak adil, karena dalam kasus yang nyaris sama. Seorang memiliki senjata api hasil temuan di sumur. Digunakan untuk gagah-gagahan. Akhirnya ada yang melaporkan, sehingga divonis satu tahun 6 bulan dengan dipotong masa tahanan.
Sampai saat ini, hukum di Indonesia. Dereretan panjang kasus-kasus lain, yang dipandang tak adil masih terus berlangsung. Terutama pada kasus korupsi; yang sejatinya pelakunya adalah penista agama, karena tak memegang amanah. Mengabaikan perintah untuk saling menasehati dan memberi peringatan dalam kebaikan.
Tututan Jaksa Ali Mukartono, yang mengenakan dawakwaan pasal 156 huruf a KUHP tentang penodaan agama, jo. Atau alternatif pasal 156 KUHP tentang penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan tertentu. Namun, dari saksi-saksi yang dihadapkan tak ada yang meyakinkan pada tuntutan pertamanya, maka dia mengenakan tuntutan pasal 156 KUHP.
Dengan menuntut hukuman pada Ahok, selama 1 tahun dalam masa percobaan 2 tahun. Hal ini, merupakan sebuah “kekalahan”, namun melihat kenyataan ini, sejumlah elemen masyarakat yang tak puas mendatangi MA pada tanggal 5 Mei 2017.
Sebuah kenyataan ironis, kelompok ini menginginkan tidak adanya intervensi dari Presiden Joko Widodo terhadap kasus persidangan Ahok, namun dengan kamulfase menamakan Aksi Simapatik mendatangi MA. Sejak awal kasus ini, sudah terlihat lebih berat muatan politiknya.
Selain itu, perintah penahanan pada Ahok sangat berlebihan. Sebab meski teah diputuskan bersalah, namun belum inkrach atau berkekuatan hukum, karena terdakwa masih dapat mengajukan upaya banding. Sejatinya, tugas Hakim setelah mengetukan palu setelah menjatuhkan vonis sudah selesai.
Bagaimana pun syarat penahanan diatur diatur dalam Pasal 21 ayat 1 KUHAP :
“Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana”.
Selain itu, penahanan biasanya dilakukan pada awal sidang atau ditengah sidang denmgan alasan seperti dizebutkan dalam pasal tersebut. Namun, inilah hukum di Indonesia masih caryt-marut. Padahal hakim dalam amar putusannya menyebutkan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” seperti yang tersirat pada pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004.
Artinya hakim merupakan perwakilan dari Allah (Tuhan). Namun keadilan memang mahal. Allah menyitir bahwa manusia harus berbuat adil (bagi dan terhadap siapapun), karena adil mendekati taqwa (Almaidah ayat 8).
H.R. Bukhori Muslim menyitir: “Ada tiga golongan hakim dua dari padanya akan masuk neraka dan yang satu akan masuk surga, ialah (1) Hakim yang mengetahui mana yang benar dan lalu ia memutuskan hukuman dengannya, maka ia akan masuk surga, (2) Hakim yang mengetahui mana yang bernar, tetapi ia tidak menjatuhkan hukuman itu atas dasar kebenaran itu, maka ia akan masuk neraka, dan (3) Hakim yang tidak mengetahui mana yang benar, lalu ia menjatuhkan hukuman atas dasar tidaktahunya itu, maka ia akan masuk neraka pula.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H