Mohon tunggu...
Alief El_Ichwan
Alief El_Ichwan Mohon Tunggu... Administrasi - Jurnalis

mantan wartawanI Penulis LepasI Menulis artikel-cerpen-puisi-perjalan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ahok: A Sad Day for Justice

10 Mei 2017   08:22 Diperbarui: 10 Mei 2017   09:50 918
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tututan Jaksa Ali Mukartono, yang mengenakan dawakwaan pasal 156 huruf a KUHP tentang penodaan agama, jo. Atau alternatif pasal 156 KUHP tentang penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan tertentu. Namun, dari saksi-saksi yang dihadapkan tak ada yang meyakinkan pada tuntutan pertamanya, maka dia mengenakan tuntutan pasal 156 KUHP.

Dengan menuntut hukuman pada Ahok, selama 1 tahun dalam masa percobaan 2 tahun. Hal ini, merupakan sebuah “kekalahan”, namun melihat kenyataan ini, sejumlah elemen masyarakat yang tak puas mendatangi MA pada tanggal 5 Mei 2017.

Sebuah kenyataan ironis, kelompok ini menginginkan tidak adanya intervensi dari Presiden Joko Widodo terhadap kasus persidangan Ahok, namun dengan kamulfase menamakan Aksi Simapatik mendatangi MA. Sejak awal kasus ini, sudah terlihat lebih berat muatan politiknya.

Selain itu, perintah penahanan pada Ahok sangat berlebihan. Sebab meski teah diputuskan bersalah, namun belum inkrach atau berkekuatan hukum, karena terdakwa masih dapat mengajukan upaya banding. Sejatinya, tugas Hakim setelah mengetukan palu setelah menjatuhkan vonis sudah selesai.

Bagaimana pun syarat penahanan diatur diatur dalam Pasal 21 ayat 1 KUHAP :
 “Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana”.

Selain itu, penahanan biasanya dilakukan pada awal sidang atau ditengah sidang denmgan alasan seperti dizebutkan dalam pasal tersebut. Namun, inilah hukum di Indonesia masih caryt-marut. Padahal hakim dalam amar putusannya menyebutkan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” seperti yang tersirat pada pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004.

Artinya hakim merupakan perwakilan dari Allah (Tuhan). Namun keadilan memang mahal. Allah menyitir bahwa manusia harus berbuat adil (bagi dan terhadap siapapun), karena adil mendekati taqwa (Almaidah ayat 8).

H.R. Bukhori Muslim menyitir:  “Ada tiga golongan hakim dua dari padanya akan masuk neraka dan yang satu akan masuk surga, ialah (1) Hakim yang mengetahui mana yang benar dan lalu ia memutuskan hukuman dengannya, maka ia akan masuk surga, (2) Hakim yang mengetahui mana yang bernar, tetapi ia tidak menjatuhkan hukuman itu atas dasar kebenaran itu, maka ia akan masuk neraka, dan (3) Hakim yang tidak mengetahui mana yang benar, lalu ia menjatuhkan hukuman atas dasar tidaktahunya itu, maka ia akan masuk neraka pula.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun