“Di sana ada beberapa jalan pendakian yang cukup tinggi, juga jalannya rusak sebagian sedang diperbaiki tapi dari sana bisa melihat seluruh danau Poso sampai kota Tentena,” kata seorang warga memberi informasi.
Tak ada pilihan lain, saya harus terus melanjutkan menyusuri Danau Poso. Benar saja! Ada tanjakan yang tak bisa saya lalui dengan sepeda digowes. Terpaksa saya mendorongnya. Awalnya jalan menanjak itu, rimbun dengan pepohonan seperti memasuki gua, tapi semakin naik ada pada lahan terbuka.
Di kiri kanan jalan hanya tumbuh ilalang yang tinggi. Meranggas berwarna coklat muda karena digarang cahaya matahari. Tak ada bagian jalan teduh untuk sejenak mengaso. Jalan terus menanjak hingga saya harus tetap mendorong sepeda dengan jeda setelah dua puluh langkah. Nafas memburu. Panas matahari mengharu biru. Motor hanya sesekali melintas. Selebihnya lebih sering menemukan kesenyapan.
Pada akhirnya, air minum dalam bidon habis tandas. Mulut mulai terasa kesat dan kerongkongan kering. Sepeda masih terus saya dorong, karena jalan masih terus menanjak. Ada keinginan untuk mencegat pengendara motor dan meminta air. Tapi mereka tentunya tak akan membawa air minum.
Saat memusatkan tenaga dalam langkah mendorong sepeda, terasa semilir angin begitu sejuk. Ilalang seperti membuat tarian. Sesaat saya tertegun manakala bunga rumput liar yang berada di kiri dan kanan jalan merunduk dan mengangguk-angguk pada arah yang berlawanan.
Ah, jika angin dari arah kiri maka semua condong ke kiri. Saya hanya bisa menunduk menerima keberkahan alam yang memberi kesejukan ini. Saya teringat: apabila hujan tak setiap pagi dan sore sering menyirami pepohonan di taman yang tak begitu luas depan rumah. Barangkali kabar apa yang saya perbuat ini, telah sampai ke sini.
Situasi ini, membuat saya bisa sampai bagian jalan menurun. Namun saya tetap tak bisa menaiki sepeda. Jalan sedang diperbaiki dengan cara dibeton. Ban sepeda yang saya rem sesekali menggelosor.
Namun perjalanan ini, seperti impas ketika menemukan sebuah perkampungan Desa Boncea. Saya tak begitu menghiraukan anak-anak yang mengira saya turis asing. Minuman dingin segera saya reguk. Dan, di depan warung ada mata air yang jernih dan sejuk. Saya berendam setelah anak-anak puas berenang dan bercanda. Rasanya ada tenaga tambahan untuk melanjutkan perjalanan.
Esoknya, meski harus menunggu hujan yang turun sejak subuh, saya melanjutkan ke Palopo. Jalan ke arah kota yang mendekati Tana Toraja hampir tak ada tanjakan. Namun saya harus merendam kaki di kali kecil di Kota Bone-Bone dan mengguyur tubuh di toilet SPBU di Kota Masamba. Sinar matahari terus membayangi sepanjang jalan.