Mohon tunggu...
Alief El_Ichwan
Alief El_Ichwan Mohon Tunggu... Administrasi - Jurnalis

mantan wartawanI Penulis LepasI Menulis artikel-cerpen-puisi-perjalan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Hati-hati Mengangkut Sapi karena Mereka Bukan Benda Mati

9 Maret 2017   11:02 Diperbarui: 9 Maret 2017   22:01 2264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Belanja sapi ke pasar hewan, sungguh seru. Selain menempuh perjalanan Bandung ke Tuban cukup lama, juga harus berebut tawar dengan pembeli lain serta bakul atau penjaja sapi. Ini merupakan pengalaman kesekian kali, saya berburu sapi ke pasar Tuban.

Menjelang pagi, sekitar daerah Tuban, truk yang kami tumpangi melaju di jalan tak begitu lebar, dengan kiri-kanan jalan pohon asem, tegalan tebu, berganti sawah yang telah dipanen. Matahari jam setengah enam pagi, nampak merah di sela-sela jajaran pohon jati. Terlihat kabut tipis menyelimuti.

Bau air laut dan garam sudah lama lalu. Hamparan tambak-tambak garam di pesisir pantai Tuban hanya terlihat temaram. Pun kincir-kincir pengatur air ke kotak-kotak sawah nyaris tak terlihat. Saat pulang nanti, pemandangan itu selalu saya rindukan. Sementara di bagian belakang bak truk, Encep, kernet kami melanjutkan kembali tidurnya. Setelah tadi sempat istirahat minom kopi.

Tanda-tanda sudah dekat dengan tujuan sudah terasa. Beberapa truk sapi dan kendaraan mobil bak, nampak melaju ke arah yang sama. Leguhan-leguhan sapi mulai terdengar riuh. Pasar hewan Tuban terletak di Jl. HOS Cokroaminoto. Masuk ke sebuah jalan tak begitu lebar. Antara tempat parkir kendaraan truk-truk pengangkut sapi terpisah. Sejumlah truk kosong sudah terparkir di depan pasar. Sebagian lagi, ada truk-truk bermuatan sapi memasuki pelataran parkir. Luasnya pasar sekitar dua kali lapang sepak bola. Hari masih cukup pagi. Saya dan kang Sakim, kang Daman, sopir truk serta Encep berjalan ke sebuah warung. Letaknya tak jauh dari tempat parkir. Seperti biasa, kami sarapan dulu sebelum “berburu” membeli sapi.

Terlihat semakin banyak kendaraan masuk membawa sapi. Dan, tanpa diatur petugas pasar, rupanya para bakul  sudah hapal. Sapi-sapi di tempatkan berdasarkan jenisnya. Ada kelompok sapi kroya (sapi Jawa) ada juga yang menyebutkan sapi PO (peranakan ongol), sapi limusin, dan metal. Begitu pula berdasarkan besarnya atau bobot sapi, terlihat masing-masing dipisahkan. Sehingga pembeli dengan mudah memilih dan membeli sapi yang diinginkannya.

Ungkapan “politik dagang sapi”, mungkin dari pasar sapi inilah pameo itu diambil. Sebelum tawar menawar, sang pembeli menaksir-naksir dulu seekor sapi yang akan dibelinya. Diteliti dari ujung tanduk sampai ujung kaki. Sesekali di tepuk, dijembel sambil ditarik kulitnya. Disodok bagian pahanya. Atau ditarik ekornya.

Pami beli sapi, nu tipis kulit na(kalau mau beli sapi kulitnya yang tipis),” begitu saran Kang Sakim, dulu kali pertama membeli sapi. Ini pengetahuan perihal sapi darinya. Dia menyebutkan caranya: dengan menjembel kulit sapi akan diketahui, apakah sapi itu banyak lemaknya atau tidak.

Ternyata memilih sapi yang bagus, tak mudah. Ada sejumlah persayaratan lainnya. Seekor sapi bakal dipilih untuk dibeli tak cukup melihat sapi dianggap sehat, yaitu hidungnya terlihat basah, kukunya bersih, dan ekornya selalu bergerak. Tapi seekor sapi yang bagus, selain kaki sapi besar, kukunya kukuh menjejak tanah. Jangan “ceper” atau seperti orang memakai sepatu.

Syarat lainnya yang berbau mitos, yaitu jangan memilih sapi yang “ngabuta” (tak memiliki tanduk sama sekali), berbulu tiga atau loreng seperti macan, “iga burung” nampak bagian tulang iganya tak simetris, dan “sanglir” atau biji zakarnya hanya satu.

Sehabis sarapan, kami langsung memasuki pasar. Kecuali sopir, dia akan beristirahat. Suara lengguhan sapi semakin siang semakin riuh. Kebanyakan yang menawarkan sapi adalah para “bakul” (bukan pemiliknya atau pengasong) dalam bahasa Jawa. Teriakan: “Pitu seket”, “papat wolu”, “enam ewu”, atau “limo seket”. Bagi saya, meski pun telah cukup sering ke pasar sapi, segalanya tetap eksotis.

Kang Sakim yang Sunda totok, terkadang berebut tawar dengan menggunakan bahasa isyarat jari. Jika harga disepakati, maka sang bakul memberikan koin. Biasanya koin nominal 200 atau 500 rupiah. Ini sebagai tanda “deal”. Tapi terkadang sang bakul memaksa memberikan koin. Kang Sakim buru-buru mengembalikannya, karena hargannya kurang pas. Sedangkan sapi-sapi yang telah jadi kesepakatan harga, tugas Encep mengumpulkannya di suatu tempat. Selain itu, juga diberi tanda dengan cat. Biasanya di bagian paha atau kepalanya.

Membeli sebanyak yang dibutuhkan, tidaklah mudah. Kesabaran dan waktu yang tepat dibutuhkan. Sabar untuk berebut tawar. Soal waktu pun, diperhitungkan. Jika terlihat para pembeli tak begitu banyak, maka semakin siang penawaran harga akan lebih murah. Bahkan sang bakul, akan sedikit ngotot menawarkan dagangannya. Dan, semakin matahari di atas ubun-ubun, bau kotoran sapi dan tubuh bakul-bakul meruap ndi udara. Terlebih jika kemarau. Debu akan naik manakala terusik kaki-kaki sapi yang dipamerkan pada pembeli. Bak peragawati di cat walk, sapi yang ditawarkan ditepuk, dicubit bagian perutnya. Juga berjalan diputarkan. Dengan kaluh membelenggu hidung, sapi yang ditawarkan mengikuti kemauan sang bakul.

Jika telah cukup belanja untuk memuat satu truk, tinggal menggiringnya ke arah area pengangkutan. Ada tempat khusus untuk menaikkan sapi ke atas truk, yaitu berpa landasan kemiringannya pas di bagian bak truk, sehingga sapi dengan mudah masuk. Namun luas tempat ini terbatas, kami harus bergiliran. Biasanya, pembayaran dilakukan saat sebelum sapi dinaikkan ke truk.

dokumen pribadi
dokumen pribadi
Sapi yang akan diangkut tak semena-mena dimasukan. Tapi ada cara pengaturannya. Biasanya jajaran sapi pertama, dimasukan empat atau lima ekor. Kepalanya menghadap ke arah kabin sopir. Kemudian di sekat padat dengan batang bambu tepat di bagian paha atas. Melintang masing-masing diikat kuat pada celah-celah bak truk.

Oya, pada masing sisi kiri dan kanan badan truk, dilapisi terlebih dulu dengan  gebog (pelepah batang pisang). Gunanya agar tubuh sapi tak luka atau lecek saat dalam perjalanan. Sedangkan bawah lantai truk, dilapisi dengan jerami agar empuk. Keduanya, biasanya diambil di perjalanan.

 Seturut itu, jajaran kedua memuat dua ekor sapi. Namun posisinya melintang arah bak truk. Pada bagian ini pun, disekat lagi dengan batang bambu. Sedangkan yang terakhir, seperti jajaran sapi bagian depan, memuat sekitar empat atau lima ekor sapi. Namun posisinya membelakangi, sehingga kepalanya nongol di antara pintu bak truk. Bagian inilah yang paling sulit. Betapa tidak? Sapi yang masuk harus diputar posisinya. Namun jangan sampai sapi meloncat lagi ke luar lagi. Biasanya, pemuatan sapi-sapi ke dalam truk dikerjakan oleh tiga atau empat orang.

dokumen pribadi
dokumen pribadi
Eit, sebelum berangkat, jangan lupa mengurus surat jalan. Dan, perjalanan panjang Bandung di Jawa Barat ke Tuban di Jawa Timur, memakan waktu sampai 18 jam. Ini bukanlah pekerjaan ringan bagi seorang sopir pengangkut sapi seperti Kang Daman. Selain berbekal pisik yang prima, juga dia harus hapal rute yang akan dituju. “Kalau nga hapal, ya, bakalan batal belanja sapi,” katanya, dia mengetahui rute jalan-jalan di wilayah Timur ketika menjadi sopir dealer sebuah produk ban vulkanisir.

Persyaratan lainnya, mengangkut sapi bukan seperti mengangkut barang mati. Misalnya seperti mengangkut sayuran, beras atau kayu atau barang tak bergerak lainnya. “Harus bisa mengayunkan laju truk pada saat di jalan kelokan seperti di daerah Cadas Pangeran di Sumedang,” katanya, dia memang telah lama malang melintang sebagai sopir pengangkut sapi.

Dia mengakui, paling “berat” menahan kantuk saat setelah menjelang dini hari dan pagi hari. Meski telah mempersiapkan sebelum berangkat, yaitu tidur terlebih dulu, namun kantuk tetap selalu menyerang. “Biasana sambil nyanyi lagu dangdut ngikutin dari tape yang distel kenceng-kenceng, atau sambil makan kacang atau minum…” ujar kang Daman, sambil menyebutkan nama merek minuman suplemen.

Seorang sopir pengangkut sapi, tidaklah sembarangan saat mengendarai di jalan. Sewaktu mengerem atau menemui jalan berkelok-kelok, jangan sampai membuat sapi-sapi yang diangkut rubuh. Jika tidak, akibatnya akan fatal. Sapi yang rubuh akan terinjak-injak sapi lainnya. Bisa dibayangkan: berapa juta kerugiannya, jika sampai terluka bahkan mati.

“Nah, itu tugas saya kalau ada sapi ambruk,” kata Encep, dia tugasnya menjadi pengawas sapi. Sejumlah truk pengangkut sapi, di atas bak truk dilengkapi seperti gazebo kecil, mirip saung. Sedangkan perlengkapan yang selalu disiapkan: sekantung cengek (cabe rawit) atau sambal. “Biasanya saya minta kalau pas makan, tapi kalau harga cabe lagi mahal, ya, pake air saja,” katanya.

dokumen pribadi
dokumen pribadi
Biasanya, air dimasukan pada kemasan minum yang besar. Ketika ada seekor sapi yang ambruk, air dimasukan lewat hidung, sehingga sapi akan gelagapan dan bangun. Inilah “senjata” agar sapi kembali berdiri. Encep akan sigap ketika melihat sapi yang “ngedeprek” (ambruk). Dia segera “terjun” ke jajaran sapi yang berada di bak truk. Biasanya “senjata” cengek atau sambal dijejalkan pada bagian mata sapi, sehingga sapi kembali berdiri. Tapi jika upaya ini tak berhasil, maka Encek menggigit ekornya.

“Ya, gimana lagi ketimbang sapi yang rubuh terinjak sapi yang lain,” kata Said, yang saat menjalankan tugasnya dia harus punya nyali . Selain itu, harus selalu terjaga sepanjang perjalanan pulang.

Keadaan inilah yang sering menghambat perjalanan pengiriman sapi. Membangunkan sapi yang “ngedeprek” kelelahan, bukanlah perkara gampang. Agaknya sapi adalah hewan yang paling kuat berdiri. Betapa tidak? Ketika mulai sapi-sapi diperdagangkan di pasar hewan, dia tak boleh “duduk” atau “ngedeprek”. Hingga jika ada sapi yang mengambil posisi seperti itu, maka tak ayal pemiliknya akan menendang, menginjak dan menarik ekornya atau mencambuknya berkali-kali, supaya sapi tetap berdiri.

Pengalaman Encep saat memaksa berdiri sapi yang rubuh, bukan sekali dua kali terkena sepakan kaki sapi lainnya yang merasa terusik. “Bisa-bisa sampai biru bekasnya,” ujarnya.

Namun, tugas sebagai pengawal sapi ini, yang harus berada di bak truk tak dimengerti petugas polisi. Sehinga apabila ada petugas Polantas, dia harus bersembunyi. Jika tak begitu, maka terkena tilang. “Alasan polisi, kenapa ada sapi berkaki dua di bak truk?” kata Encep, sambil tersenyum.

Selama dalam perjalanan, mau tak mau, ada beberapa pengeluaran ongkos tak terduga. Selain, ada restribusi resmi seperti untuk “Surat Pengantar Pengiriman Ternak” di dua pos Pengawasan Ternak di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat. Sedangkan di jembatan-jembatan timbang di masuki, truk pengangkut sapi seperti “numpang lewat”. Saat ditimbang, truk dan muatannya sekitar 7000 kg lebih, tak perlu membayar.

Namun ada pula pungutan lain. Kisarannya seribu atau dua ribu perak, maka Kang Daman selalu menyediakan uang receh di dashboard .

Namun adakalanya jika sedang “apes”, saat perjalanan pulang pernah dihentikan petugas patroli. Hingga mau tak mau, dia harus mengeluarkan uang “mel” tanpa mengerti apa kesalahannya. “Ya, habis gimana lagi?” kata kang Daman, pasrah.

Mungkin inilah yang disebut “ekonomi biaya tinggi”. Keadaan ini, bukan lagi rahasia umum. Aliran barang dari satu daerah ke daerah lain, sering terhambat dan terganggu serta terbebani biaya “tak terduga”. Semestinya, rencana PT. KAI (Kereta Api Indonesia) yang akan membuat kereta api pengangkut sapi, harus segara diwujudkan. Bagaimanapun, arus pengiriman sapi dari daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur ke Jawa Barat atau daerah lainnya cukup deras. Sehingga memerlukan transportasi yang memadai. Jika saja ada kereta api khusus pengangkut sapi, maka pengangkutannya akan aman, cepat dan lancar, juga murah. Hingga sampai ke tujuan tanpa hambatan apapun yang berarti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun