Filologi memiliki arti yang ilmiah, yaitu mempelajari teks-teks lama dalam bentuk salinan manuskrip dari seorang pengarang, serta memahami bentuk teks itu sendiri. Tidak sampai di situ, filologi merupakan ilmu yang berkaitan dengan sejarah, ilmu sosial, dan budaya. Filologi dibagi menjadi kodikologi dan tekstologi. Sedangkan tekstologi adalah ilmu yang mempelajari secara mendalam tentang teks dalam karya sastra, termasuk sejarah kemunculan teks, proses terjadinya teks, dan bagaimana pengucapannya dapat disusun dengan teratur ke dalam naskah atau teks yang bisa dibaca.
Naskah dapat dikatakan sebagai benda budaya, yang berisi informasi tentang gagasan atau berbagai pengetahuan atau gagasan tentang kehidupan masyarakat dahulu, sehingga menghasilkan naskah tertulis. Naskah merupakan wadah untuk teks, beragam jenis bisa dijadikan sebagai media. Mulai dari buku, kertas, atau juga sejenisnya.Â
Teks utama bagian dari naskah terbagi menjadi dua, yakni isi dan bentuk. Bagian isi memuat ide atau penjelasan yang akan diberikan pengarang kepada pembaca. Bentuknya adalah cerita yang dapat dibaca dan dipelajari dalam berbagai cara seperti plot, karakter, gaya bahasa, atau lainnya di dalam teks.Â
Naskah kuno yang berada di dunia, ialah sebuah peninggalan budaya yang mencerminkan informasi, serta pemahaman yang diturunkan dari generasi ke generasi. Sebuah naskah klasik peninggalan nenek moyang yang terpencar di seluruh belahan dunia memiliki beragam jenis bahan, serta kandungan isi yang berbeda juga, walaupun sama dibuat dengan tulisan tangan seseorang.Â
Sebuah naskah dapat dilihat sebagai orisinalitas dengan cara mengidentifikasi beberapa aspek, seperti: bahan naskah, asal naskah, huruf atau aksara yang digunakan, dan juga umur naskah. Identifikasi naskah dapat dikenali dengan melakukan observasi langsung di mana tempat naskah itu berada, serta menggunakan alat berupa alat ukur untuk mencari ketebalan serta panjang.
Alat tulis serta bahan naskah menjadi sangat penting, sebab dalam ilmu pernaskahan hal tersebut menandakan sebuah era tertentu, dan karakteristik tulisan dapat terlihat, terlepas dari hanya digunakannya sebagai media tulis. Bahan naskah yang ditulis oleh nenek moyang Indonesia ini berada di sekitaran lingkungan sekitar dan tumbuh-tumbuhan yang mudah didapatkan, terdiri dari lontar, rotan, bambu, kulit kayu, dan daluang.
Keadaan fisik naskah mengacu pada keadaan bentuk naskah sebagai objek ketika dideskripsikan, biasanya digambarkan dengan baik, buruk, lengkap, atau tidak lengkap.Â
Dalam menggambarkan kondisi fisik naskah, isi yang diungkapkan umumnya berkaitan dengan bagian yang menyusun naskah, dengan mempertimbangkan faktor dan gejala kerusakan naskah. Pada Bahasa atau aksara yang digunakan, Ekadjati (1997: 2) mengajukan tujuh model aksara, yaitu Pallava, Pra-Nagari, Jawa Kuno (Kawi), Sunda Kuno, Arab (Pegon), Cacarakan (Jawa-Sunda) dan Latin.Â
Dalam khazanah kesusastraan Nusantara, termasuk sastra tertulis dalam bentuk naskah, Hermansoemantri (1986: 82) menyatakan bahwa secara umum dikenal adanya tiga bentuk karangan, yaitu puisi (poetry), prosa (prose), dan prosa berirama atau prosa lirik (rhythmic prose).Â
Bentuk karangan puisi misalnya pantun, syair, talibun, gurindam; bentuk karangan prosa misalnya hikayat, ceritera; bentuk karangan prosa lirik misalnya kakawin, macapat, dan wawacan. Baried (1994: 61) mengatakan bahwa untuk menentukan umur naskah dapat dilakukan dengan dua macam, yaitu interne evidentie dan externe evidentie. Interne evidentie atau evidensi internal berarti bahwa informasi pada saat penulisan ada dalam naskah yang sedang dipelajari.Â
Sementara menentukan umur naskah dengan evidensi eksternal menggunakan luar teks, seperti terdapat nama karya tersebut dalam sebuah karangan yang berbeda, dan pemakaian bahasa pada kurun waktu yang sama.Â
Namun, tidak semua pengarang benar-benar memberikan informasi tentang teks dalam karyanya. Dalam beberapa naskah, terdapat keterangan tentang waktu penulisan dan nama pengarangnya, terutama naskah keraton.
Pada halnya, banyak naskah kuno nusantara yang banyak diteliti oleh dunia, seperti Babad Diponegoro, Kakawin Nagarakretagama, dan Carita Parahyangan.Â
Naskah kuno Babad Diponegoro merupakan naskah kuno beraksara dan berbahasa Jawa, berisikan tentang otobiografi dari sang Pangeran Diponegoro. Ia yang ditangkap lalu diasingkan ke Manado oleh VOC pada Tahun 1831-1832 menulis kisahnya dalam naskah.Â
Karya ini secara garis besar berisikan perjuangan Pangeran Diponegoro dalam melawan Belanda. P. Swantoro (2002) memaparkan bahwa sepertiga bagian dari Babad Diponegoro menceritakan sejarah Jawa dari jatuhnya Majapahit (1527) sampai Perjanjian Giyanti (1755).Â
Duapertiga lainnya memaparkan keadaaan Kasultanan Yogyakarta dan riwayat hidup Pangeran Diponegoro sendiri dari saat kelahirannya pada 1785 sampai ia diasingkan ke Manado. Pada gaya menulis, Pangeran Diponegoro menggunakan sudut pandang orang ketiga di dalamnya. Naskah tersebut berbentuk macapat atau puisi tradisional Jawa.
Salah satu peninggalan Kerajaan Majapahit pada bidang sastra adalah Kitab Negarakertagama. Negarakertagama dibentuk oleh Mpu Prapanca, yang kemudian menjadi sumber data sejarah. Berbentuk pupuh dan berjumlah 98. Dari maknanya, Negarakertagama berarti negara dengan tradisi spiritual. Penulis menyebut kitab ini Desawarnana, yang artinya tulisan tentang kawasan Majapahit. Kitab Negarakertagama terdiri dari lima bagian. Isi Negarakertagama menggambarkan kebesaran Raja Hayam Wuruk, dan puncak kejayaan Kerajaan Majapahit. Dimulai dari asal-usul, hubungan antara keluarga kerajaan dan pejabat negara, situasi sosial, politik, agama, dan budaya kerajaan tersebut.
Tjarita Parahijangan dalam ejaan lama, merupakan naskah kuno Sunda yang ditulis pada akhir abad ke 16. Bercerita tentang perkembangan Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda, dari raja pertama hingga terakhir. Ini menggambarkan peristiwa dan masalah yang terjadi pada masa pemerintahan masing-masing raja, dan lamanya waktu memerintah. Karya ini ditulis oleh warga Kerajaan Sunda, yang perlahan akan dihancurkan oleh Kerajaan Islam (Cirebon).Â
Naskah tersebut menggunakan bahasa Sunda kuno, dan aksara Sunda. Dari tiga contoh naskah di atas yang sudah dipaparkan, terdapat banyaknya ragam teks naskah nusantara yang hadir dalam negara ini. Mengingat sejarah lampau yang begitu panjang, juga telah dialami oleh leluhur kita terdahulu. Berbagai macam bentuk naskah, bahasa, dan kisah yang dihadirkan, dapat menambah pengetahuan, dan pemahaman kita untuk menjalankan kehidupan sekarang.
REFERENSI:
Murti, Tendi Krishna. (2009). Majapahit Kingdom. Jakarta: Buana Cipta Pustaka.
P. Swantoro, Dari Buku ke Buku Sambung Menyambung Menjadi Satu, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
https://www.dictio.id/t/apa-saja-cara-dalam-menentukan-usia-naskah-kuno/128716/2
http://wahyu-styabudi.blogspot.com/2019/02/tekstologi-dan-tugas-filologi.html
http://smanplusprovinsiriau.blogspot.com/2013/12/filologi-dan-penelitian-naskah-kuno.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H