Hukum humaniter yang berangkat dari trauma kesakitan dalam peperangan Solferino, dan kini menjadi payung untuk melindungi warga sipil dan kombatan dari kesakitan yang berkepanjangan dalam suatu peperangan ataupun konflik.Â
Namun, bagaimana jika agresi yang dilancarkan dimonitori oleh negara itu sendiri kepada kelompok minoritas? Apakah masih ada payung yang melindungi bagi para minoritas sehingga keadilan dapat ditegakkan? Sehingga warga didalamnya dapat merasaan aman dan terlindungi  serta dapat menjalankan aktivitasnya tanpa hambatan.
Jika melihat kasus Rohingya, kita dapat menemukan bahwasannya negara yang seharusnya melindungi dan mengayomi masyarakat justru berbuat sebaliknya. Di Myanmar, etnis Rohingya kesulitan memperoleh akses kesehatan, pendidikan, dan perumahan yang layak.Â
Selain itu, kekerasan militer kerap terjadi diwilayah Rakhine Utara. Hal ini disebabkan komunitas Rohingya dianggap sebagai saingan dan ancaman bagi identitas Burma di Myanman, bukan hanya ditinjau dari segi agama.
Salah satu faktor, status etnis Rohingya masih dianggap ilegal di Myanmar. Pemerintah Myanmar sendiri tidak mengakui dan tidak memberikan status kewanegaraan bagi rakyat Rohingya dan mereka dianggap imigran gelap dari Bangladesh.Â
Sebagai akibatnya, mereka tidak dapat mengakses pendidikan, kesehatan, bahkan tidak mendapatkan pekerjaan yang layak. Mereka benar-benar terabaikan dan terpinggirkan. Seperti yang dilansir Al-Jazeera (29/7/2012) Thein Sein mengatakan bahwa pemerintah Myanmar tidak mungkin memberikan status kewanegaraan kepada kelompok Rohingya yang dianggap sebagai imigran gelap dari Bangladesh.
permasalahan Rohingya menjadi perhatian internasional, pasalnya selain pelanggaran HAM berat, sudah melibatkan angkatan laut negara lain yaitu Thailand atas insiden tenggelamnya kapal pengangkut pengungsi milik Thailand. Dengan basis militer dalam pemerintahannya, maka tindakan kekerasan didalamnya mendapat dukungan seperti penculikan, penahanan bahkan pemerkosaan menjadi suatu pemandangan yang lumrah bagi sistem pemerintahan yang otoriter.
Genosida dan Tindakan Internasional
Pada kasus geonisda di Rohingya, pemerintah Myanmar terkesan tidak ingin menyelesaikan masalah ini, karena pada dasarnya pemerintah tidak mengakui eksistensi etnis Rohingya di Myanmar. Sehingga tidak menjadi agenda untuk pemecahan masalah ini. Selain itu, Myanmar juga bukan negara yang meratifikasi Statuta Roma, sehingga untuk pengajuan ke ICC hanya dapat dilakukan melalui mekanisme keputusan dari DK PBB.
Selain itu, dapat ditempuh melalui humanitarian action concept. Yaitu suatu konsep yang dibangun atas prinsip-prinsip dasar yang tercantum dalam Konvensi Jenewa IV, yaitu prinsip kemanusiaan netralitas dan imparsialitas. Sehingga mengajak organisasi internasional dan INGO untuk mengatur krisis kemanuasiaan yang terjadi di Rohingya. Dengan adanya konsep kemanusiaan yang menekankan usaha untuk menghilangkan penderitaan manusia secara netral tanpa adanya pertimbangan agama, ras, etnis, kewarganegaraan, kesukuan dan jenis kelamin.
Namun dengan melihat pelanggaran yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar, maka tanggung jawab dialihkan menjadi tanggung jawab internasional dengan adanya bantuan dari pihak luar negara, seperti yang tertera dalam konsep PBB, yaitu responsibility to protect (R2P). Dengan melihat kompleksitas permasalahan Rohingya, sehingga ASEAN dapat berkonstribusi untuk menerima pengungsi Rohingya dan memberikan bantuan serta mengingatkan kembali kepada pemerintah Myanmar untuk menghormati HAM dan memberikan status kewarganegaraan bagi mereka.
Apakah Myanmar Melanggar Hukum Humaniter?
Jika ditarik berdasarkan Declaration of Human Right dan Atlantic Charter, bahwasanya konflik yang terjadi atas etnis Rohingya di mana pemerintah Myanmar dianggap melanggar HAM, seperti pembiaran terhadap aksi kekerasan, pembunuhan, upaya deportasi dan pemindahan secara paksa, larangan untuk beribadah dan lainnya dimana termasuk pelanggaran HAM berat, dengan titik terparah pembersihan etnis secara structural dan formal.Â
Selain itu, sebagian alat-alat negara polisi dan tentara terlibat dalam pembantaian suku Rohingnya sebagai bentuk pelanggaran terhadap kewajiban negara untuk tidak membiarkan penggunaan kekerasan (Deklarasi Pertanggungjawaban Negara).
Selain itu, laporan Internasional Human Rights Watch, menegaskan bahwa tentara Myanmar yang seharusnya melindungi dan menjaga konflik sektarian, justru menembaki etnis muslim Rohingya dan personil tentara melakukan pemerkosaan atas warga. Hal ini melanggar konvensi tentang kewarganegaraan juga (Vienna Convention on Consular Relations and Optional Protocol to the Vienna Convention on Consular Relation Concerning Acquisition of Nationality 1963).Â
Selain itu, dalam pasal 5 Internasional Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination 1969, bahwa negara-negara berkewajiban untuk menghapus segala bentuk tindakan diskriminasi dan wajib memberikan perlindungan kepada setiap orang tanpa membedakan ras, warna kulit, agama, kebangsaan dan asal-usul. Dan dapat disimpulkan bahwa pemerintahan Myanmar telah melanggar hukum humaniter secara sengaja dan tidak berusaha untuk menyelesaikannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H