Sebelum terbentuknya dinasti Bani Umayyah, kita mengkaji bagaimana sepak terjang Muawiyah dalam membangun Dinasti ini yang sebelumnya dipimpin oleh khulafaur rasyidin, diawali dengan keberhasilannya dalam perang Shiffin yang melengserkan Ali bin Abi Thalib dari kursi ke khilafahan hingga peristiwa 'amm jama'ah.Â
Dimulai ketika pembunuhan Utsman bin Affan yang merupakan masih kerabat Muawiyyah pada tahun 656 M, yang kemudian dibaiatlah Ali bin Abi Thalib oleh kaum Muhajirin dan Anshar.Â
Namun, setelah pembaiatannya, Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam menentangnya dikarenakan pengajuan hukuman qishas atas kematian Utsman ditangguhkan oleh Ali, hal ini disebabkan banyaknya massa sehingga tidak bisa menuntut mereka sekarang. Disisi lain, Aisyah (Istri Rasulullah) juga mendukung mereka untuk membalas dendam atas kematian Utsman, begitupula dengan Muawiyyah.
Hingga pecahlah perang Jamal diantara pasukan Ali bin Abi Thalib melawan Aisyah, Thalhah bin Ubaidillah serta Zubair bin Awwam di Basrah yang dikarenakan terkena hasutan oleh golongan Saba'iyyah.Â
Perang berakhir dengan kemenangan Ali dan terbunuhnya Thalhan serta Zubair dalam peperangan. Namun, dengan berakhirnya tidak mengakhiri propaganda pada masa kekhalifahan Ali, Muawiyah tampil sebagai orang yang berhak untuk menuntut qishas atas kematian Utsman, dan ia mengira Ali bin Abi Thalib sengaja untuk tidak melakukan hal tersebut.Â
Sehingga Muawiyah menolak pembaiatan Ali sebagai khalifah. Dengan adanya kesalahpahaman ini, meletuslah perang di daerah Shiffin tepi sungai Furat.
Muawiyah yang terkenal dengan wataknya tegas dan keras, bertahan untuk mengambil jalan perang sebelum tuntutan tersebut terealisasikan. Sehingga peperangan terjadilah dalam jangka waktu yang relatif sempit dan sengit.Â
Dalam sejarah tercatat, bahwa kemungkinan besar pasukan Ali akan mendapat kemenangan dalam perang, namun ditengah peperangan Amr bin Ash mengangkat mushaf sebagai tanda kembali pada pedoman dan hukum Allah serta mengambil jalan damai dan pertempuran berakhir.
Dengan menggunakan metode arbitrase sebagai penengah antara pihak yang bertikai, maka dipilihlah dua orang untuk menjadi wakil dari masing-masing pihak yang bertikai. Dari pihak Ali bin Abi Thalib, dipilihlah Abu Musa Al-Asy'ari dan dipihak Muawiyah adalah AMr bin Ash.Â
Dalam kesepakatan yang mereka buat bahwa menetapkan untuk menurunkan Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah dari jabatannya. Sehinggaberdasarkan tradisi orang Arab, mempersilahkan orang yang lebih tua terlebih dahulu untuk berbicara dan yaitu Abu Musa yang menetapkan untuk menurunkan Ali bin Abi Thalinb dari kursi khilafah dan Muawiyah dari kursi gubernurnya di Damaskus.Â
Namun, dengan siasat politik Amr bin Ash, ketika ia berpidato setelah Abu Musa, ia hanya menurunkan Ali dari kursi khilafah. Dalam insiden ini, terpecahlah umat muslim menjadi dua golongan, yaitu Khawarij dan juga Syi'ah.Â
Ditahun 661 M, Ali bin Abi Thalib terbunuh oleh Abu Muljam, dan kemudian kekhalifahan diteruskan oleh anaknya Hasan bin Ali atas usulan Qais bin Sa'ad bin Ubadah dan ia menjadi orang yang pertama kali membaiatnya, dan ia berkata "Ulurkanlah tanganmu, maka aku akan memabiatmu atas dasar Al-QUr'an dan Hadits Rasul".
Setelah pembaiatan Hasan, rakyat Damaskus enggan membaiatnya karena posisi Muawiyyah begitu kuat karena sudah memerintah selama 20 tahun. Sehingga Hasan bin Ali berangkan bersama pasukannya ke Syam untuk menyeru agar kepemimpinan kaum muslim dalam satu orang.Â
Melihat situasi ini, Muawiyah mengutus dua orang untuk menemui Hasan, karena jika terjadi perang maka Muawiyah akan kalah jumlah dibandingkan pasukan Hasan. Sehingga, Abdurrahman bin Samurah dan Abdullah bin Amir menawarkan perdamaian kepada Hasan, dan melobby nya untuk menerima tawaran Muawiyyah, dan Hasan menerima tawaran tersebut.
Setelah menerima tawaran perdamaian tersebut pada 5 Rabi'ul Awwal tahun 41 H, Hasan menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada Muawiyah. Sebab Hasan tidak ingin adanya pertumpahan darah diantara umat muslim, sehingga tahun ini dikenal dengan tahun persatuan atau 'amm jama'ah.Â
Alasan Hasan menerima tawaran Muawiyah, karena mereka telah membuat nota kesepakatan bahwa setelah kepemimpinan Muawiyah akan dilakukan pemilihan pemimpin dengan metode seperti pada masa khulafaur rasyidin, yaitu musyawarah.Â
Selain itu Muawiyah bersedia untuk menjamin keamanan dan keselamatan jiwa dan harta keturunan Ali dan pendukungnya. Setelah persetujuan itu, rakyat menunjukkan ketaatannya dengan membaiat Muawiyah.
Keberhasilan Muawiyah tidak terlepas dari wataknya yang dikenal sebagai politikus dan administrator yang ulung. Umar bin Khattab menilai bahwa ia adalah seorang yang cakap dalam urusan politik dan pemerintahan, sehingga terbukti ia dapat menjabat sebagai gubernur di Damaskus untuk 20 tahun lamanya.Â
Selain itu, ia adalah seorang yang jujur dan cerdas dan dikenal sebagai ahli siasat dan pandai dalam merancang taktik serta strategi. Sehingga usaha yang ia cita-citakan membuahkan hasil untuk membangun dinasti Umayyah yang kokoh berdiri selama 90 tahun dengan mencakup wilayah yang sangat luas dan menyumbangkan peradaban islam yang gemilang pada duniaÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H