Mohon tunggu...
Jhon Qudsi
Jhon Qudsi Mohon Tunggu... Penulis - Pegiat Media Sosial

Eksistensi suatu peradaban di bentuk oleh tulisan yang melahirkan berbagai karya i buku

Selanjutnya

Tutup

Surabaya

Kritik Haji Iksan Mahmudi: Media Abal-Abal Merusak Citra Pers

7 Januari 2025   13:59 Diperbarui: 7 Januari 2025   13:59 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri (Haji Iksan Mahmudi saat)

Probolinggo - Di Museum Probolinggo, Selasa (7/1), Haji Iksan Mahmudi, wartawan kawakan yang memulai kariernya di Surabaya Pos sejak 1991, kini di Ngopibareng.id, memandang serius fenomena "wartawan bodrek" dan "grandong." Istilah ini kerap dipakai untuk menyebut segelintir orang yang mengaku wartawan, tetapi berperilaku di luar kaidah jurnalistik. Dalam sesi bincang santai namun sarat makna, Haji Iksan mengurai asal-usul fenomena itu, dampaknya bagi masyarakat, hingga solusi yang bisa ditawarkan.

"Fenomena ini sebenarnya bukan barang baru. Sejak saya awal jadi wartawan di era Orde Baru, sudah ada yang seperti ini. Tapi saat itu tidak separah sekarang," ujarnya membuka percakapan.

Menurut Haji Iksan, perubahan besar terjadi setelah Reformasi 1998. Kebebasan pers yang digaungkan sejak era Presiden BJ Habibie membawa dampak positif, tapi juga menyisakan ekses negatif. "Dulu, mendirikan media itu susah. Harus punya SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) yang diterbitkan pemerintah. Tapi sekarang, cukup dengan badan hukum seperti koperasi atau PT, seseorang sudah bisa mendirikan media," jelasnya.

Kemudahan itu, lanjutnya, memicu lahirnya media abal-abal yang dikelola tanpa standar jurnalistik yang jelas. Banyak yang mendirikan media hanya untuk kepentingan ekonomi semata. "Mereka bukan mencari berita, tapi mencari peluang. Datang ke pejabat atau kepala desa, lalu mengancam akan mempublikasikan skandal jika tidak diberi 'amplop.' Itu bukan wartawan. Itu pemeras."

Menyusup di Tengah Demokrasi

Seiring dengan pesatnya perkembangan media online, fenomena wartawan bodrek justru makin merajalela. Haji Iksan mengutip data Dewan Pers yang menyebut ada sekitar 43 ribu media online di Indonesia, tapi yang terverifikasi hanya ratusan. "Jadi banyak yang asal buat media. Bahkan sekarang ada istilah WTS, Wartawan Tanpa Surat Kabar. Mereka datang dengan kartu pers, tapi medianya tidak jelas."

Ia menegaskan, ciri wartawan bodrek atau grandong bisa dilihat dari kinerjanya. "Wartawan sejati itu bekerja sesuai UU Pers. Mereka mencari, mengolah, dan menyajikan berita berdasarkan fakta. Sementara wartawan bodrek datang hanya untuk mengintimidasi. Kalau tidak ada amplop, ya beritanya akan digoreng."

Dampak Buruk bagi Reputasi Jurnalistik

Praktik ini, menurut Haji Iksan, merusak citra jurnalis yang sesungguhnya. "Ada wartawan yang benar-benar menjalankan tugas jurnalistik, tapi ikut terkena stigma negatif. Masyarakat jadi sulit membedakan mana wartawan asli dan mana yang palsu."

Ia juga mengkritik peran media sosial yang kerap menjadi sumber berita hoaks. "Di media sosial, siapa saja bisa jadi 'wartawan.' Cukup dengan ponsel, mereka memotret kejadian dan langsung mempostingnya. Padahal, informasi yang disebar belum tentu benar."

Peran Dewan Pers

Haji Iksan menilai Dewan Pers punya peran penting sebagai pengawas dan pembina media. Namun, ia juga mengakui tugas itu tidak mudah. "Dewan Pers ibarat wasit dalam pertandingan. Mereka mengatur jalannya permainan agar fair. Tapi jumlah media yang sangat banyak membuat pengawasan menjadi tantangan tersendiri."

Ia berharap Dewan Pers lebih aktif melakukan edukasi kepada masyarakat dan pemerintah daerah agar tidak mudah tertipu oleh wartawan abal-abal. "Pejabat harus tahu, kalau ada yang datang mengaku wartawan, cek dulu medianya."

Masa Depan Media di Tengah Tantangan

Menghadapi tantangan ini, Haji Iksan optimis media berkualitas akan bertahan. "Seleksi alam akan terjadi. Media yang kredibel akan tetap dibaca orang. Yang abal-abal akan ditinggalkan."

Ia juga menekankan pentingnya fungsi ekonomi dalam dunia pers. "Media memang harus punya sisi bisnis. Tapi, bisnisnya harus halal. Kalau ada advertorial atau berita berbayar, itu sah-sah saja. Yang penting isinya tidak bohong dan ada nilai informatif bagi pembaca."

Di akhir wawancara, Haji Iksan berpesan kepada para jurnalis muda agar menjaga integritas. "Jurnalisme itu pilar keempat demokrasi. Jangan sampai kita menggadaikan kepercayaan masyarakat demi keuntungan pribadi."

Profesi jurnalis masih memikul tugas berat di tengah derasnya arus informasi. Bagi Haji Eksan, menjaga kemurnian pers bukan sekadar tugas, tapi juga panggilan moral.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Surabaya Selengkapnya
Lihat Surabaya Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun