Probolinggo - Di Museum Probolinggo, Selasa (7/1), Haji Iksan Mahmudi, wartawan kawakan yang memulai kariernya di Surabaya Pos sejak 1991, kini di Ngopibareng.id, memandang serius fenomena "wartawan bodrek" dan "grandong." Istilah ini kerap dipakai untuk menyebut segelintir orang yang mengaku wartawan, tetapi berperilaku di luar kaidah jurnalistik. Dalam sesi bincang santai namun sarat makna, Haji Iksan mengurai asal-usul fenomena itu, dampaknya bagi masyarakat, hingga solusi yang bisa ditawarkan.
"Fenomena ini sebenarnya bukan barang baru. Sejak saya awal jadi wartawan di era Orde Baru, sudah ada yang seperti ini. Tapi saat itu tidak separah sekarang," ujarnya membuka percakapan.
Menurut Haji Iksan, perubahan besar terjadi setelah Reformasi 1998. Kebebasan pers yang digaungkan sejak era Presiden BJ Habibie membawa dampak positif, tapi juga menyisakan ekses negatif. "Dulu, mendirikan media itu susah. Harus punya SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) yang diterbitkan pemerintah. Tapi sekarang, cukup dengan badan hukum seperti koperasi atau PT, seseorang sudah bisa mendirikan media," jelasnya.
Kemudahan itu, lanjutnya, memicu lahirnya media abal-abal yang dikelola tanpa standar jurnalistik yang jelas. Banyak yang mendirikan media hanya untuk kepentingan ekonomi semata. "Mereka bukan mencari berita, tapi mencari peluang. Datang ke pejabat atau kepala desa, lalu mengancam akan mempublikasikan skandal jika tidak diberi 'amplop.' Itu bukan wartawan. Itu pemeras."
Menyusup di Tengah Demokrasi
Seiring dengan pesatnya perkembangan media online, fenomena wartawan bodrek justru makin merajalela. Haji Iksan mengutip data Dewan Pers yang menyebut ada sekitar 43 ribu media online di Indonesia, tapi yang terverifikasi hanya ratusan. "Jadi banyak yang asal buat media. Bahkan sekarang ada istilah WTS, Wartawan Tanpa Surat Kabar. Mereka datang dengan kartu pers, tapi medianya tidak jelas."
Ia menegaskan, ciri wartawan bodrek atau grandong bisa dilihat dari kinerjanya. "Wartawan sejati itu bekerja sesuai UU Pers. Mereka mencari, mengolah, dan menyajikan berita berdasarkan fakta. Sementara wartawan bodrek datang hanya untuk mengintimidasi. Kalau tidak ada amplop, ya beritanya akan digoreng."
Dampak Buruk bagi Reputasi Jurnalistik
Praktik ini, menurut Haji Iksan, merusak citra jurnalis yang sesungguhnya. "Ada wartawan yang benar-benar menjalankan tugas jurnalistik, tapi ikut terkena stigma negatif. Masyarakat jadi sulit membedakan mana wartawan asli dan mana yang palsu."
Ia juga mengkritik peran media sosial yang kerap menjadi sumber berita hoaks. "Di media sosial, siapa saja bisa jadi 'wartawan.' Cukup dengan ponsel, mereka memotret kejadian dan langsung mempostingnya. Padahal, informasi yang disebar belum tentu benar."