Ada teman guru yang curhat dengan saya soal aktifitasnya. Terutama Soal kenakalan siswa yang diajarnya. “Pusing menghadapi anak-anak sekarang, susah diatur” kata kawan saya tadi.
“Memangnya pusing kenapa” Tanya saja.
“Bandelnya luar biasa. Dimarah salah gak dimarah malah ngelunjak” katanya.
Meskipun tidak mempunyai pengalaman mengajar, saya berusaha memberikan solusi kepadanya. Apalagi dia juga sudah curhat dengan saya, siapa tahu bisa diterima. “Coba ajak belajar dengan gaya santai, jangan terlalu serius” kata saya.
“Sudah, tapi anak-anak tetap saja kayak gitu, kalau gak dimarah nanti malah ngelunjak”
“Sekali-kali ajak bermain di luar, jangan belajar di ruangan terus”
“Sudah tapi bukannya belajar malah mereka sibuk main sendiri” katanya.
Saya kemudian mencoba memberikan cara lain kepada kawan saya tadi. “Kalau ribut di kelas, biarkan sejenak, sampai mereka benar-benar puas, setelah itu coba tanyakan kepada mereka sudah puas belum, kalau belum puas silahkan dilanjutkan”
“Mereka tidak akan pernah puas, bisa jadi makin meraja lela” katanya.
Dialog pun mentok, apalagi saya belum pernah mempunyai pengalaman mengajar seperti dia, bisa saja saya ngomong seperti itu, namun belum tentu bisa menerapkannya kalau saya berhadapan langsung dengan siswa bandel seperti yang dikatakan kawan saya tadi.
Bahkan ada juga kisah yang tak kalah menyedihkan yang dialami oleh kawan saya. Ada guru yang dikerjai oleh siswanya. Para siswa kompak memutar jam lebih cepat sehingga bisa istirahat lebih awal. Akibatnya guru yang baru magang itupun dimarah oleh kepala sekolah.
Memang diakui atau tidak, tingkat kenakalan anak-anak sekarang sepertinya lebih dahsyat jika dibandingkan dengan anak-anak zaman dulu. Pendapat ustaz Mochtar Husni meskipun anak-anak dulu nakal, namun mereka masih mempunyai rasa hormat terhadap gurunya. Dan inilah yang membuat ilmu bisa sampai kepada siswa. Berbeda dengan anak zaman sekarang, sudahlah nakal mereka tidak punya rasa hormat dengan gurunya. Demikian pendapat ustaz Mochtar Husni satu diantara teman diskusi saya.
Jika melihat kondisi siswa yang demikian kompleksnya, seorang guru memang harus dituntut untuk peka, guru harus berusaha mencari cara agar ilmu yang hendak disampaikannya bisa turun ke anak didiknya. Guru harus rajin membaca, guru harus memahami karakteristik masing-masing siswanya. Jika tidak, maka mustahil niat pemerintah untuk memperbaiki pendidikan di Indonesia bisa berhasil.
Mungkin kita masih ingat dengan berbagai persoalan yang dihadapi dunia pendidikan selama ini. Terutama dengan adanya standar kelulusan yang cukup tinggi yang ditetapkan pemerintah di zaman pemerintahan SBY. Pada tahun pertama banyak sekali siswa berprestasi yang tak lulus ujian. Hingga akhirnya bukan hanya siswa yang stress namun juga gurunya.
Karena para guru tidak siap, akhirnya mereka mencari jalan pintas dengan cara melakukan kecurangan. Terlebih jika sekolah tersebut dianggap sebagai sekolah favorit di kalangan masyarakat. Guru akan mati-matian mencari cara agar anak didiknya bisa lulus seratus persen, meskipun harus dengan cara yang curang.
Sampai akhirnya ada kasus contek masal yang diungkap oleh orang tua kepada public. Bahkan ada cerita menyedihkan yang pernah saya dengar sendiri dari seorang guru. “Saat ujian telah selesai, jawaban siswa diperbaiki oleh guru pada malam hari, mereka yang mengerjakan ini hanya beberapa orang saja, dan mereka mendapatkan honor di luar tugas mengawas”
“Kenapa bisa begitu” Tanya saya.
“Sebab kalau tidak dibenarkan jawaban mereka, tidak ada satu siswapun yang lulus ujian”
Jujur saya kaget mendengarnya, separah itukah pendidikan kita.
Ternyata apa yang dikatakan guru tersebut juga diamini oleh guru lainnya. Dia mengakui terjadi kecurangan yang sangat massif saat kelulusan ditentukan oleh standar nilai yang tinggi, sampai-sampai ada kasus kepala sekolah yang menjual kunci jawaban kepada siswanya.
Untungnya mentri pendidikan yang baru Anies Baswedan peka dengan persoalan ini, sehingga syarat kelulusan tidak ditentukan dari tinggi dan rendahnya nilai semata, dan pihak sekolah pun mempunyai kewenangan meskipun tidak sampai seratus persen. Menurut Anies mengedepankan kejujuran lebih baik daripada mengejar nilai tinggi namun ditempuh dengan cara yang curang.
Maka dari itu, selain perbaikan insfrastruktur pendidikan, SDM pendidik juga perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah, supaya ilmu yang hendak disampaikan kepada siswa benar-benar sampai. Bukan saja dibidang akademiknya, namun juga perbaikan akhlak para siswanya.
Lantas apa yang perlu dilakukan dalam hal ini. Pepatah lama mengatakan, “jika guru kencing berdiri murid kencing berlari” sepertinya masih rasional hingga saat ini. Maka dari itu sebelum berusaha memperbaiki akhlak siswa guru dulu yang harus melakukannya.
Mudah-mudahan dengan Bulan Pendidikan dan Kebudayaan yang dicanangkan oleh mentri pendidikan saat ini bisa membuat pendidikan Indonesia lebih baik lagi. Bukan hanya dibidang akademik namun juga moral generasi penerus bangsanya. Karena kejujuran dalam pendidikan itu lebih tinggi nilainya dari pada sekedar angka-angka yang didapat dari kecurangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H