Mohon tunggu...
Ali Anshori
Ali Anshori Mohon Tunggu... Freelancer - Ali anshori

Bekerja apa saja yang penting halal. Hobi olahraga dan menulis tentunya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Benci Menulis Malah Jadi Wartawan

29 Oktober 2013   18:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:52 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ngomong-ngomong soal menulis, sebenarnya dulu saya tidak tahu apa-apa tentang dunia ini, bahkan sama sekali tidak suka. Tapi sekarang kerjaannya malah menulis setiap hari. Karena pekerjaan saya adalah wartawan di Harian Tribun Pontianak, media lokal milik Kompas Group terbesar di Kalimantan Barat.Sedikit berbagi cerita saat masih kuliah dulu. Kebetulan saya adalah alumni Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pontianak angkatan 2002, jurusan Dakwah Prodi KPI. Singkat cerita, waktu itu nilai satu mata kuliah saya tidak keluar karena ada tugas yang dianggap dosen belum saya kerjakan. Daripada mengulang mata kuliah saya akhirnya menemui dosen pengampu mata kuliah tersebut. Namanya Ibu Fatmawati.

Setelah berbincang sesaat, ibu Fatmawati memberikan saya tugas baru. Yakni menulis artikel di media. Artikel tersebut sebagai syarat agar nilai saya keluar. Sebenarnya cukup berat, apalagi saya belum pernah menulis artikel apalagi harus terbit di media. Namun karena ingin mendapatkan nilai sayapun menyanggupi tugas tersebut.

“Tugasnya apa bu” tanya saya. “Kamu buat Surat Pembaca di koran, nanti kalau sudah terbit kasikan kepada saya” jawab dosen tersebut. Kendatipun berat, saya harus berusaha, demi mendapat nilai.

Besoknya saya langsung membuat surat pembaca dan dikirimkan ke redaksi media terbesar di Kalimantan Barat kala itu. (Sebelum kehadiran Tribun Pontianak). Untuk mengirim tulisan itupun saya harus berjalan kaki kurang lebih 2 Km dari kampus ke kantor media tersebut.

Untuk memantau tulisan saya terbit atau tidak. Keesokan harinya saya mencoba numpang baca koran di rental depan kampus saya. Karena memang tidak mungkin saya beli koran, sebab uang untuk kuliahpun pas-pasan. Alhamdulillah setelah dibolak-balik ternyata tulisan saya tidak terbit.

Keesokan harinya saya melakukan hal yang sama, numpang baca lagi di rental tersebut, barangkali masih bisa terbit. Dibolak-balik, dan alhamdulillah tulisan saya tidak terbit lagi. Hmmmm mungkin tidak menarik tulisan saya. Padahal sudah susah buatnya. Tak ingin menyerah saya putuskan untuk membuat tulisan baru, setelah itu saya kirimkan lagi ke redaksi media yang sama. Ternyata tidak terbit juga.

Tidak ada usaha yang gagal, itulah prinsip saya. Dengan langkah sedikit lemas sayapun menemui ibu Fatmawati untuk meminta keringanan tugas. Dan alhamdulillah bu Fatmawati memberi kelonggaran. “Ya sudah kamu nulis di media kampus saja, tidak apa-apa, nanti kalau terbit berikan ke saya” katanya.

Namun dalam hati saya berbisik, rasanya tidak puas kalau hanya menulis artikel di media kampus. Sebab yang baca hanya kalangan anak kampus saja. Namun terpaksa apa boleh buat, yang penting nilai keluar.

Dalam perjalanan pulang saya kemudian bertemu dengan pak Yusriadi, beliau juga dosen di kampus tersebut. Selain dosen beliau juga menjadi redaktur terbesar kedua di Kalbar. Pada saat itu beliau bertanya kabar saya sekaligus perkembangan kuliah dalam beberapa semester terakhir. Wajar saja beliau bertanya demikian karena beliau dosen pembimbing saya. Beliau orangnya baik namun tegas, dari pertemuan itulah membuka jalan bagi saya untuk menulis dan menjadi wartawan sampai sekarang.

“Apa kabarmu Li,” tanya pak Yus kepada saya. “Alhamdulillah baik pak” hanya ada satu mata kuliah saya yang nilainya belum keluar” jawab saya sedikit lemes. “Mata kuliah apa” “Komunikasi dakwah pak. Saya disuruh membuat SP, kalau sudah terbit nilainya akan segera keluar” jawabku. “Ya sudah buat tulisan kamu, nanti kirimkan kepada saya” Jawabnya.

Dengan semangat juang 45 sayapun langsung membuat tulisan tersebut dengan segera. Ini kesempatan saya untuk nulis di media dan dibaca banyak orang. Pada waktu itu saya membuat surat pembaca yang judulnya, “Corat-coret Seragam Budaya Siapa” kebetulan lagi musim pengumuman kelulusan anak SMA.

Saya kirimkan tulisan tersebut ke kantor Tempat pak Yusriadi bekerja. Karena jaraknya jauh sayapun harus minta antar kawan menggunakan sepeda motor. Kebetulan saya tidak punya sepeda motor, sebab seperti yang saya katakan tadi untuk kebutuhan hidup sehari-hari saja sangat pas-pasan apalagi memiliki sepeda motor itu hanya mimpi.

Pernah suatu ketika saya dan kawan-kawan kos terpaksa hanya memasak nasi dicampur gula, karena memang semua bumbu dapur habis, yang tersisa hanya beras dan gula. Sementara untuk belanja kami semua sudah tidak punya uang walau sepeserpun. Untuk kuliah sayapun harus berjalan kaki kurang lebih 7 km dari tempat kost ke kampus, masuk dari gang satu ke gang yang lain. Hal itu saya lakukan setiap hari kurang lebih satu tahun.

Sebenarnya bisa saja saya naik opelet ke kampus. Namun pertimbangan saya saat itu ingin ngirit. Karena kalaunaik opelet ongkosnya 1000, jika pergi pulang sudah 2000, jika dikalikan satu bulan bisa Rp 60.000, cukup besar.

Setahun kemudian putuskan pindah ke sekretariat Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di Kampus. Tepatnya di UKM olahraga. Kebetulan saya juga pengurus di UKM tersebut. Jadi saya tidak harus kelelahan berjalan kaki.

Di kampus sayapun harus kuliah sambil cari kerja sampingan, sebab tidak mungkin saya selalu mengandalkan kiriman dari orang tua di kampung. Adik saya masih ada yang sekolah dan jadi masih butuh biaya. Sementara pekerjaan orang tua hanya pensiunan PNS dan Petani. Jadi untuk nambah-nambah uang saya kerjakan pekerjaan apapun. Saya pernah bekerja menggali sumur milik warga di sekitar kampus dengan upah 60 ribu untuk dua hari kerja. Alhamdulillah bisa sedikit makan enak hari itu. Ucapku sukur.

Oh ya kembali soal kirim tulisan ke Pak Yusriadi tadi, setelah saya kirim ternyata tulisan saya terbit. Wah saya senangnya bukan main. Gak pernah-pernahnya saya beli koran, hari itu saya langsung beli koran, meskipun saya harus mengeluarkan Rp 3000, tentu saja tulisan itu langsung saya kliping.

Semangat menulispun mulai tumbuh. Pada hari itu juga saya membuat tulisan lagi di media yang sebelumnya selalu menolak tulisan saya. Kalau tidak salah “Judulnya Wakil Rakyat Seperti Anak TK” dan alhamdulillah terbit juga.

Tulisan keduapun langsung saya kliping, dan foto copiannya saya serahkan kepada Bu Fatmawati. Dan alhamdulillah nilainya keluar B+, karena pada saat itu masih ada nilai B+ dan B-. Kalau sekarang mungkin nilainya dapat A. Hehehe. Senang sekali.

Mulai dari situlah saya akhirnya terus belajar menulis, sampai akhirnya memberanikan diri untuk membuat opini di koran yang sama. Ya seperti biasa awalnya tidak terbit, karena saya masih penulis pemula, sedangkan kita harus bersaing dengan ratusan orang setiap hari yang mungkin sudah mahir menulis.

Saya tidak menyerah, saya kemudian mengirim tulisan lagi untuk kedua kalinya. Hmmm nasibnya sama, hasilnya tidak terbit juga. Ya sudah deh,, berhari-hari saya tidak membuat tulisan lagi. Yang penting nilai saya sudah keluar.

Tapi tidak disangka, ternyata tulisan yang pernah saya kirim satu bulan lalu terbit. “Judulnya Pemkot Harus Bijak Pada PKL”. Bahkan saya tidak tahu kalau tulisan itu terbit sebabnya sudah lama sekali sih. Ada kawan yang mengatakan kepada saya. “Tulisan kamu ada terbit di koran ya hari ini, selamat” katanya. “Masak sih” jawab saya.

Sayapun penasaran, pada saat itu juga saya berangkat ke pasar Flamboyan dengan sepeda pinjaman milik kawan. Saya beli koran tersebut. Ternyata benar ada tulisan saya di situ. Wahhh senengnya minta ampun… Langsung saya kliping. Dan besoknya saya bawa klipingan Opini tersebut ke redaksi koran itu. Sayapun mendapatkan honor Rp 30 ribu. Hehehe lumayan. Kebetulan tidak ada uang.

Sejak saat itulah saya menjadi hobi menulis sampai sekarang ini. Setelah lulus kuliah saya kemudian bekerja di koran yang selalu menolak tulisan saya itu, wah tidak pernah menyangka ya saya bisa bekerja di sini. Namun sekitar enam bulan bekerja di koran tersebut saya mengambil keputusan berat. Saya mengundurkan diri dari kantor itu, meskipun disaat yang sama kantor menawari saya untuk diklat ke Jakarta.

Itu saya lakukan setelah saya diterima bekerja di Harian Tribun Pontianak yang sampai saat ini menjadi tempat saya bekerja. Saya memilih pindah karena menurut saya, saya harus lebih maju dan berkembang dari sebelumnya.

Jadi pesan saya bagi semua, yang mempunyai hobi menulis maupun tidak, tetap semangat ya untuk terus berkarya. Silahkan menulis apa saja yang ingin kita tulis. Jangan ragu-ragu, karena menulis itu enak banget. Benar, saya gak bohong.

Oh ya, saya juga mau kasi tahu kalau pekerjaan menulis memang tidak akan membuat kita kaya. Namun dengan menjadi penulis kita bisa menguasai dunia. Dan alhamdulillah dari menulis itu saya bisa sedikit berbagi kepada keluarga saya. Saya bisa menafkahi istri dan anak saya. Saya bisa beli sepeda motor sendiri dan sedikit berbagi kepada yang membutuhkan. Padahal sebelumnya hanya untuk beli bumbupun saya tidak bisa. Berkat menulis saya juga sudah berkeliling Kalbar, saya menjadi dekat dengan orang-orang penting pemangku kebijakan.

Optimislah dengan yang kita lakukan, bersungguh-sungguh dan berdoa, setelah itu serahkan semua pada Allah sang pencipta. Tidak ada usaha yang sia-sia, kecuali bagi para pecundang. Salam Sukses.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun