Mohon tunggu...
Alia Machmudia
Alia Machmudia Mohon Tunggu... Wiraswasta - Owner Lovalia Art Blora

Happy Mother and Entrepreneur

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Sekolah, Institusi Pendidikan atau Tempat Produksi Ijazah?

30 April 2016   00:07 Diperbarui: 30 April 2016   00:21 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ipmawati Alia Machmudia

Tanggal 2 Mei 2009 mempunyai arti penting dalam kancah pendidikan nasional Indonesia. Tanggal itu menjadi tanggal yang sangat bermakna bagi kalangan siswa, guru, dan mereka yang merasakan manfaat dari pendidikan. Pendidikan bagi sebagian kalangan menjadi hal yang biasa, dan sebagian lainnya menganggap sebagai hal yang sangat luar biasa. Kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh mutu pendidikan di suatu bangsa tersebut, ungkapan itulah yang mungkin harus kita resapi lebih jauh. Memasuki abad 21 ini, pendidikan mempunyai arah tujuan yang jelas, yaitu memartabatkan manusia Indonesia di kancah internasional. Namun begitu, dalam benak kita pendidikan di negeri ini belum beranjak melaju pesat menuju mutu yang memuaskan.

Sebagai remaja yang pernah atau sedang duduk dibangku akhir SLTA, kita kerap meng-anggap sekolah hanya sebagai produsen ijazah. Mengapa? Bila mau menengok ke belakang, beberapa tahun yang lalu usai melaksanakan Ujian Nasional (UN) bagi siswa SMA/MA/SMK, raut wajah mereka banyak mengalami kekhawatiran akan hasil yang di capai dalam ujian tersebut. Pada saat itu banyak pihak bersuara jika UN tidak layak menjadi satu-satunya penentu kelulusan. Karena banyak kecurangan yang terjadi di sana-sini hanya untuk mendapatkan predikat LULUS.

Kemudian system pun berubah, atau lebih tepatnya dirubah. Kini UN tak lagi menjadi satu-satunya penentu kelulusan siswa. Kelulusan siswa ditentukan oleh pihak sekolah, yang katanya lebih mengetahui kemampuan dan hasil belajar siswa sehari-hari. Namun, kenyataannya sampai di sini kecurangan tidak berhenti. Berapa banyak nilai raport, ujian sekolah atau ujian praktek yang akhirnya “dimodifikasi”? Anda bisa mencari jawabannya sendiri.

Tujuan pemerintah yang sempat menjadikan Ujian Nasional sebagai syarat ketuntasan belajar bisa sangat difahami untuk menaikkan rating mutu pendidikan nasional. Namun banyak fihak yang menganggap bahwa hal tersebut sangat memberatkan siswa. Kembali lagi, sebuah proses belajar yang salah, gagal memotivasi siswa atau kemauan siswa yang tidak semangat dalam belajar ?

Melihat kenyataan yang seperti ini tentu membuat kita berfikir, harus seperti apakah yang bisa dilaksanakan oleh instuisi pendidikan kita? Apakah ini merupakan proses belajar yang salah ataukah kurang bergairahnya para siswa dalam mengikuti proses pendidikan setiap hari sehingga dikatakan gagal dalam pendidikan ?

Bila dikaji lebih jauh, kondisi tahun 70-80 an merupakan masa-masa pergerakan menuju perbaikan kondisi Indonesia. Semangat mereka sangat tinggi untuk mencapai rasa sukses dalam pendidikan. Lebih jauh jagi kalau menegok tahun sebelum tahun 70-an. Mereka sangat luar biasa dalam belajar.Padahal secara umum sarana prasarana masih sangat kekurangan. Kemudian di banding sekarang ini antara tahun 90 - 2000-an, rata-rata siswa mengeluh terhadap sulitnya pendidikan kita. Apa yang menjadi masalah dalam masalah ini ?

Mungkin beberapa dari kita akan mengkambing hitamkan perkembangan teknlogi yang akhirnya membuat para pelajar lalai akan tugasnya. Tapi perlu kita ingat sekedar untuk menambah semangat, bahwa yang mengembangkan teknologi sekarang ini juga merupakan produk pendidikan tahun 60-80an. Berarti, bisa dikatakan bahwa siswa masa itu lebih brilian semangatnya dibanding masa sekarang ini.

Kembali lagi tentang hari Pendidikan Nasional, bahwa permasalahan lemahnya semangat para siswa harus disikapi secara serius oleh semua fihak baik para orang tua siswa, para teknisi pendidikan dan pemerintah. Ada baiknya duduk dalam satu meja untuk mencari formula yang tepat dalam memajukan pendidikan nasional. Apabila di ajak secara langsung membahas tentang hal itu, lebih baik dan masing-masing mempunyai rasa tanggung jawab untuk menjawab tantangan bangsa ini ke depan dalam membangun pendidikan Indonesia yang lebih maju, bermartabat dan setara dengan bangsa lain dalam ilmu pengetahuan.

Generasi Indonesia saat ini layak diberi label “mengenaskan”. Meskipun Indonesia sudah memasuki hari Pendidikan Nasional untuk yang ke-104 kalinya, ternyata kualitas generasi bangsa ini justru semakin terpuruk. Fakta maraknya tawuran antar pelajar dan demonstrasi mahasiswa mahasiswa yang didominasi oleh tindak kekerasan, kecurangan saat ujian, dan rendahnya akhlak generasi yang ditunjukkan dengan maraknya seks bebas tidak bisa kita pungkiri.

Pendidikan Indonesia selama ini terkesan tidak terfokus, ganti menteri pendidikan maka ganti juga kurikulum dan sistem pendidikannya. Pendidikan di Indonesia kurang membentuk kepribadian akademis (academic personality) yang utuh. Padahal kepribadian akademis sangat penting dimiliki oleh pelaku pendidikan (anak didik dan pendidik) yang akan maupun yang sudah menguasai ilmu pengetahuan. Kepribadian akademislah yang dapat membedakan pelaku pendidikan dengan masyarakat umum lainnya..


 Bertahun-tahun sekolah kita terpasung dalam ruang hafalan-hafalan teori dan rumus, tidak membumi, tidak ada upaya serius untuk membawa para siswa mampu menerjemahkan berbagai ranah keilmuan yang diperoleh ke dalam realitas sosial. Ilmu yang dituntut siswa setiap hari di sekolah tak mampu menjadi pemecah masalah (problem solver) dalam kehidupan nyata sehari-hari.Dalam kondisi demikian, bagaimana mungkin sekolah mampu melahirkan manusia-manusia yang cerdas, kritis, kreatif dan responsif? Tujuan akhir pendidikan di sekolah kita secara kasat mata sepertinya tidak lebih dari sekadar perolehan angka-angka kelulusan yang tertulis di atas selembar ijazah.

Tidak salah jika pendapat tersebut muncul. Akan tetapi kita harus mengetahui, suatu sistem pendidikan sangat dipengaruhi oleh warna kebijakan dan perangkat sistem sebuah negara. Sistem pendidikan tidak akan pernah lepas dari aturan perundang-undangan yang lahir dari sistem politik, serta kualitasnya tidak akan pernah terlepas dari kemampuan pembiayaan pendidikan yang ditentukan oleh negara tersebut. Dengan kata lain sistem pendidikan tidak akan pernah bisa lepas dari sistem politik dan ekonomi dari sebuah negara.

Segenap komponen bangsa harus turut melakukan pembenahan sistem pendidikan di Indonesia sehingga penciptaan kesadaran individu dalam rangka kebebasan berpikir dan bertindak dengan mengedepankan etika dan norma di masyarakat dapat diwujudkan, hal ini dapat dilakukan melalui pendidikan formal di bangku sekolah dan juga pendidikan non formal sebagai metode pendampingan masyarakat luas dalam proses pendidikan bangsa yang harus terus dilakukan secara kontinyu, karena di masa sekarang maupun di masa mendatang, seorang intelektual tidak hanya cukup bergutat dengan ilmunya belaka namun realita sosial di masyarakat juga harus menjadi objek pemikiran dalam dirinya. 

Dengan ketatnya persaingan dewasa ini, arah pendidikan di Indonesia harus mampu berperan menyiapkan peserta didik dalam konstelasi masyarakat global dan pada waktu yang sama, pendidikan juga memiliki kewajiban untuk melestarikan national character dari bangsa Indonesia.


 *)Penulis adalah anggota bidang Advokasi Pimpinan Wilayah IPM Jawa Tengah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun