Masjid Annur. Ini yang menjadi pijak perjuangan warga Dusun Rowobaung Desa Pronojiwo Lumajang. "Masjid ini telah ada sekitar tahun 1989", tutur Pak Masduki. Beliau salah satu tokoh agama yang membauri masjid itu. Â Sebagai pelaku sejarah beliau mengisahkan tentang pendirian masjid dan sekolah TK yang ada di dusunnya.
Memang tidak lepas dari keberadaan masjid. Meski keberadaan lembaga tersebut berbeda manajerial dan pengelolaan dengan masjid, spirit keberadaan masjid sebagai soko guru penjaga rohani umat Islam dusun setempat yang dihuni oleh beragam agama, menjadi catatan.
Apakah ada penceramah, motivator dari pihak luar dusun yang melecut semangat rohani warga dusun ?. Juga tidak. Warga dusun memiliki kesadaran rohani alami dari pendidikan internal keluarga, pendidikan alam dan kearifan lokal orangtuanya dulu sewaktu kecil. Plus .. sembari merajut hikmah kehidupan yang dijalaninya dalam mengarungi kehidupan selama ini.
Rowobaung adalah dusun terpencil di lereng gunung tertinggi Pulau Jawa, Semeru. Posisi dusun diapit oleh dua sungai yang menjadi aliran lahar Semeru ; Besuk Bang dan sungai Rowobaung. Terletak pada ketinggian 2.000 mdpl. Kontur tanah yang terus menanjak, diselingi turunan tajam berliku. Dengan sisi kiri kanan jalan perkebunan salak, pohon sengon, kopi dan pepohonan khas pegunungan lainnya. Mata pencaharian penduduk berkebun salak. Dihuni sekitar 6 00 KK.
Masjid Annur dibangun atas swadaya masyarakat setempat yang berkultur nahdiyyin. Mereka bahu-membahu membangun bangunan masjid hingga berdiri sebuah bangunan sederhana. Ragam keterbatasan yang dimiliki khususnya keterbatasan pendidikan warga dusun tidak menghalangi untuk tetap memiliki semangat membangun tempat ibadah. Pada umumnya warga berprofesi sebagai buruh perkebunan salak dan kopi bergotong royong mewujudkan impian bersama. Ini
adalah kunci dalam menuntaskan bangunan masjid di pedalaman lereng Semeru terpencil. Bahan material seperti batu, pasir dan bahan bangunan kayu diperoleh dari alam setempat. Nilai perjuangannya adalah diusung dan peroleh dengan alat manual dan sederhana. Seperti pasir, dihimpun dari sungai dan diangkut secara manual keatas lokasi masjid. Pula dengan batu koral dipecah dengan palu manual jauh dari peralatan modern. Bagi yang "beruang", maka membelikan semen dan bahan bangunan lainnya.
Asupan gizi penunjang tenaga para tukang disuplai oleh ibu-ibu warga dusun setempat. Â Tentu dengan keterbatasan yang dimiliki pula.
Tantangan berikutnya, terletak pada memindahkan material bangunan yang dibeli dari toko-toko di pusat kecamatan. Tiadanya akses jalan layak saat itu, jalan menanjak, licin jika hujan turun, makadam [jalan berbatu], lebar jalan terbatas, naik - turun, berliku menambah khas dusun terpencil. Perjuangan warga setempat untuk memindahkan material bangunan yang dibeli dari toko bangunan yang dibeli pusat kecamatan setempat menambah cucuran keringat perjuangan warga dusun.
Status Tanah Masjid.
Sebagai warga dusun pedalaman yang berprofesi sebagai buruh perkebunan, perjuangan lain menanti. Yaitu kejelasan status tanah masjid yang sulit dimengerti bagi warga setempat. Menurut penuturan Pak Jamad  bahwa pada umumnya tanah di Rawa baung berstatus tanah P2. Yaitu tanah yang tidak tercatat di kantor desa setempat. Sehingga hak-hak tanah yang dihuni warga buruh perkebunan tersebut kurang begitu mendapatkan perhatian dari beragam pihak. Meski demikian warga dusun, melakukan aktivitas ekonomi ; berkebun dan menjual hasil kebunnya itu ke pihak luar dusun. Sebagai warga negara yang baik, mereka memberikan kontribusi kepada negara dengan membayar pajak tanah, tempat tinggal dan kebunnya dengan dibuktikan adanya SPPT [Surat Pembayaran Pajak Tanah].
Pada saat terdengar informasi dari warga dusun lain bahwa ada program Prona untuk peningkatan status tanah, warga dusun lebih lambat memperoleh informasi itu. Terlebih bergerak untuk mengikuti alur informasi tersebut. Kelambatan bukan karena mereka enggan. Akan tetapi akses atau relasi pada kekuasaan yang amat terbatas. Sebagai warga buruh perkebunan pegunungan memang setiap hari disibukkan pekerjaan perburuhan, yang mana harus tunduk dan patuh kepada Bosnya. Sehingga kesempatan untuk berinteraksi pada kekuasaan amat kurang. Faktor lain adalah medan yang sulit dijangkau. Baik oleh warga sekitar maupun pemegang kebijakan wilayah setempat. Faktor psikologis kaum akar rumput menjadi dominan dalam hal ini. Kelindan keterbatasan pendidikan relasi kuasa. Keterbatasan ekonomi menjadi batu sandungan yang paling rentan dan mudah ditemukan pada saat mereka menginginkan perubahan status tanah tersebut. Atau dalam bahasa kromo  "Ati karep Bondo Cupet". Warga setempat menghendaki kejelasan status tanah masjid agar supaya mereka beribadah lebih tenang, apa daya relasi pada kuasa yang masih tertutup. Sehingga mengubur cita-cita tersebut.
Namun aneka keterbatasan di atas tidak menyurutkan api impan tersebut. Di samping Masjid dengan desain sederhana tahun 80-an telah berdiri, lembaga pendidikan tingkat anak anak mengikuti kebutuhan warga setempat. Setidaknya PAUD dan taman kanak-kanak telah berdiri semenjak 2000-an.
Menurut Pak Mudin awal pendiriannya berlangsung amat sederhana. Proses pembelajaran dilangsungkan lebih dulu daripada perizinannya ini biasa dilakukan oleh kampung-kampung di pedesaan lainnya selanjutnya bangunan sederhana didirikan untuk menjamin ketenangan anak-anak dalam belajar demikian pula dengan guru yang tersedia juga di ajar oleh guru dengan kompetensi yang terbatas pada waktu itu. Dalam bahasa warga setempat yang penting jalan dulu perizinan diurus kemudian.