Mohon tunggu...
Ali Iskandar
Ali Iskandar Mohon Tunggu... Lainnya - Pelayan Maszawaibsos

Peminat Sosial Humaniora, tinggal di Lumajang.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Problematika Wakaf Pedesaan: Suara Sumir dan Konflik Kepengelolaan

14 Juli 2024   12:15 Diperbarui: 14 Juli 2024   12:16 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Ragam konflik ini cukup mengganggu dalam perjalanan pemanfaatan benda wakaf oleh nadzir. Suara sumbang nan sumir, tidak sedikit yang terlontar oleh ahli waris wakif kepada jamaah sekitar mushola masjid. Sehingga hal itu adakalanya mengganggu kekhusyukan para jamaah pada saat memanfaatkan mushola itu. 

Seakan bahwa apa yang dilakukan oleh ahli waris itu menunjukkan ketidakrelaan dari keturunan wakif atas ke pengelolaan nadzir dalam memanfaatkan aset wakaf itu ?. Ataukah ada hal lain yang membuat ahli waris wakif menunjukkan ketidakpuasan atas pola pengelolaan nazir pada aset wakaf tersebut.

Dalam buku Filantropi Guyub, Ali Iskandar menulis bahwa hal ini bisa saja terjadi karena ahli waris wakif juga memiliki hak kritis pada pengelolaan nazir (2023 : 59). Sepanjang apa yang dilakukan oleh ahli waris wakif tersebut masih pada kategori memacu kinerja atas dasar pemahaman bahwa dan nazir hanyalah sebagai pengelola, pemelaksana amanah wakif saja, bukan sebagai pemilik benda wakaf, maka hal itu dapat dibenarkan. 

Kajian fiqih wakaf menyebut, ada pendapat bahwa ahli waris wakif masih memiliki hak mengkritik untuk memberikan batasan tentang yang amanah yang ditetapkan oleh wakif terhadap benda wakaf itu. Kritikan iru bukan difahami untuk merebut, apalagi memiliki benda wakaf itu kembali. 

Sisi lain dari kalangan Syafi'iyah ada juga yang mengatakan bahwa ketika wakif itu memberikan bendanya sebagai wakaf, maka ia beserta anak cucunya tidak memiliki hak sama sekali untuk melakukan kritik dan juga memperingatkan kepada nazir. Hal ini menunjukkan kerelaan sepenuhnya bahwa benda wakaf itu lepas dari kepemilikan serta hal-hal lain yang mengganggu kinerja nazir dalam mengelola keperuntukan benda wakaf itu.

Akan halnya pada konflik wakaf pedesaan memiliki kekhasan tersendiri. Saat konflik yang terkait dengan benda wakaf menyeruak, maka keseluruhan hasil kinerja nazir bisa saja tak berbekas sama sekali. Bahkan selama menjalankan amanah keperuntukan itu "tidak diakui" sebagai hasil kinerja nya.

Demikian pula dengan nazir, tidak sedikit dari mereka yang yang patah semangat ketika mendapati kritikan anak cucu wakif itu. Terlebih anak cucu nazir yang memiliki motif-motif tertentu di luar keperuntukan benda wakaf milik kakek moyangnya. Bahkan anak cucu wakif kepada mengatakan kepada para jamaah bahwa aset wakaf itu adalah milik kakek moyangnya berikut juga dana yang yang dibangun pada ada di atas tanah wakaf tersebut.

Yang menjadi keprihatinan dari para jamaah adalah pengakuan anak cucu wakif tersebut tidak dapat dibuktikan secara administratif. Pengakuan tersebut hanya berlangsung secara lisan. Artinya bahwa pengumuman kepemilikan  juga pembiayaan pembangunan diatas tanah wakaf itu bersumber sepenuhnya dari kakek moyangnya.

Namun tidak sedikit warga dan juga para jamaah yang swadaya untuk membangun bangunan ibadah tersebut berasal dari donasi yang dihimpun dari warga dan juga jamaah sekitar.

Kekuatan wakaf pedesaan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa wakaf pedesaan memiliki kekuatan yang yang tidak dimiliki oleh waqaf-waqaf di perkotaan yang telah terlatih secara administratif.

Ketika seseorang melakukan transaksi wakaf tanah dengan peruntukan musholla masjid, maka serta-merta warga desa merespon dengan melakukan "wakaf dukungan". Bagi jamaah atau warga yang punya harta, tenaga, makanan, alat bangunan, bahan bangunan, keahlian, fikiran, dan lain sebagainya. 

Dan hal itu dilakukan dalam waktu-waktu tentu melalui proses musyawarah kapan "waqaf dukungan" berupa "non kebendaan kekal" itu dilakukan dan pada pembangunan mushola atau masjid misalnya.  Dalam  buku Wakaf Undercover disebutkan, pola wakaf non kebendaan itu biasa dilakukan oleh panitia pembangunan masjid musholla dan direspon secara sporadis dan insidentil bagi warga yang memiliki waktu luang atau punya keahlian yang dibutuhkan.

Sebagai contoh seorang tukang bangunan dan warga lain yang terlibat dalam proses pembangunan. Mereka siap meluangkan waktu tenaga fikiran sebagai "benda waqaf". Mereka  berhimpun bersama untuk bergotong-royong dalam membangun mushola atau masjid itu. Hal itu dilakukan secara sukarela tanpa dipungut biaya kecuali para tukang selaku orang yang memiliki keahlian dalam bangunan itu yang menjadi profesinya. Itupun adakalanya mereka siap dibayar miring daripada membangun rumah warga biasa.

Ada pula warga yang menyediakan kemampuan suaranya, kemampuan argumentasinya untuk mendirikan pos amal jariyah menjaring uang receh dari pengguna jalan guna melempar kan koin 1000 lembar Rp2.000 dan seterusnya. Uang receh itu berguna untuk mendukung pembiayaan bangunan masjid musholla. Mereka biasanya secara bergantian berceramah di jalanan untuk memotivasi si para "wakif jalanan" untuk berwakaf melalui recehan sisa belanja dlsb,  untuk mendukung pembiayaan pembangunan masjid mushola itu.

Pada wakaf pedesaan, hal ini menjadi kekuatan, untuk mempercepat apa yang yang menjadi cita-cita bersama. Yakni terwujudnya bangunan mushola atau masjid yang memberikan kekhusyukan bagi warga harga untuk beribadah. Kekuatan ini telah berlangsung lama serta diakui oleh siapapun, meski dalam proses ikrar wakaf, proses pembangunan dan penjaringan dananya berlangsung secara [wakaf] undercover. Bahkan negara juga "mendukung" atas manfaat yang diperoleh dari wakaf undercover ini. Apa manfaatnya ?, masyarakat terpenuhi kesejahteraan rohaninya.

Bahkan negara melalui pemerintahan desa, memiliki struktur khusus untuk melayani kebutuhan rohani warga masyarakatnya, yaitu staf kesejahteraan rakyat.   

Dalam kinerjanya, staf ini menangani persoalan masyarakat pada layanan pernikahan, kematian, wakaf dan semacamnya. Sebab itu dalam tradisi yang berlaku di pedesaan, jabatan kesra dalam struktur organisasi desa tersebut di dipegang oleh tokoh agama setempat atau mereka yang memiliki keahlian di bidang keagamaan serta lulusan pesantren salaf.

Yang menjadi kelemahan dan adalah kesemua  proses wakaf itu, tidak dilangsungkan secara administratif. Bolehlah pada waqaf non kebendaan semacam "wakaf" tenaga, uang receh, jasa keahlian, dan semacamnya yang tidak dapat dilangsungkan dalam catatan administrasi wakaf secara resmi dan tercatat di lembaga berwenang KUA. Tetapi pada aset atau benda wakaf berupa tanah yang dilakukan oleh nenek moyang, jika tidak tercatat secara resmi, inilah yang menjadi sumber konflik berikutnya, jika terjadi di hal-hal yang yang kurang berkenan di puluhan tahun kemudian. Akan muncul aneka pengakuan suara-suara sumbang, sumir yang mengganggu kenyamanan warga dalam beribadah. Bahkan suara suara tersebut "menghapus wakaf" warga dalam bentuk non kebendaan itu.

"Alat" pengaman.

Sebab itu konflik wakaf boleh jadi berlangsung secara panjang, namun dapat secara singkat terselesaikan. Tergantung kasus per kasus yang terkait dengan kebendaan wakaf, motivasi anak cucu serta keinginan warga sekitar dan juga para jamaah. Utamanya adalah nazir, tokoh agama, tokoh masyarakat setempat. 

Jika mereka sama-sama peduli terhadap kekhusyukan warga dalam menjalankan ibadah, maka tentu saja mereka dapat duduk bersama membahas hal ini. Namun demikian jika salah satu unsur-unsur diantara mereka yang masih mengedepankan egoitas serta kepentingan-kepentingan tertentu maka jangan harap untuk selesai.

Namun setidaknya beberapa hal yang dapat membantu meredakan serta mengamankan benda wakaf tersebut. Merespon hal itu Iskandar dalam Filantropi Kebencanaan menulis pertama adalah dukungan masyarakat manakala benda tersebut masih belum memiliki bukti otentik wakaf tercatat maka dipersilahkan untuk datang ke KUA mengucapkan ikrar wakaf tentu mengikuti prosedur yang sudah ditentukan.

Kedua, akan halnya akta ikrar wakaf yang sudah dimiliki maka bukti otentik itu dapat dijadikan sebagai alat bukti kepada masyarakat dan juga para warga untuk lebih khusuk dan juga semangat dalam mengembangkan benda wakaf yang sudah dah megah berdiri dan melayani kebutuhan ibadah warga sekitar.

Ketiga adalah memasang papan nama yang bertanda "Tanah Wakaf" disertai dengan nomor AIW serta nomor sertifikat wakaf yang dikeluarkan oleh BPN. Papan wakaf itu dipasang pada tempat yang mudah terbaca oleh warga. Dengan adanya papan nama tanda waqaf ini, masyarakat menjadi faham dan mengerti bahwa bangunan mushola atau Masjid itu adalah benda wakaf. Sehingga siapapun baik itu ahli waris wakif maupun terlebih orang lain tidak berhak untuk menguasai merebut menjual belikan memanfaatkan secara pribadi atas tanah wakaf tersebut.

Pertanyaannya adalah Apakah ini sudah dilakukan ?. Itulah yang menjadi masalah. Bila warga masih menyukai konflik maka sasaran ketiga ini diabaikan dan konflik akan menggelinding laksana bola liar yang menghantam siapa saja yang dilewatinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun