Namun setidaknya beberapa hal yang dapat membantu meredakan serta mengamankan benda wakaf tersebut. Merespon hal itu Iskandar dalam Filantropi Kebencanaan menulis pertama adalah dukungan masyarakat manakala benda tersebut masih belum memiliki bukti otentik wakaf tercatat maka dipersilahkan untuk datang ke KUA mengucapkan ikrar wakaf tentu mengikuti prosedur yang sudah ditentukan.
Kedua, akan halnya akta ikrar wakaf yang sudah dimiliki maka bukti otentik itu dapat dijadikan sebagai alat bukti kepada masyarakat dan juga para warga untuk lebih khusuk dan juga semangat dalam mengembangkan benda wakaf yang sudah dah megah berdiri dan melayani kebutuhan ibadah warga sekitar.
Ketiga adalah memasang papan nama yang bertanda "Tanah Wakaf" disertai dengan nomor AIW serta nomor sertifikat wakaf yang dikeluarkan oleh BPN. Papan wakaf itu dipasang pada tempat yang mudah terbaca oleh warga. Dengan adanya papan nama tanda waqaf ini, masyarakat menjadi faham dan mengerti bahwa bangunan mushola atau Masjid itu adalah benda wakaf. Sehingga siapapun baik itu ahli waris wakif maupun terlebih orang lain tidak berhak untuk menguasai merebut menjual belikan memanfaatkan secara pribadi atas tanah wakaf tersebut.
Pertanyaannya adalah Apakah ini sudah dilakukan ?. Itulah yang menjadi masalah. Bila warga masih menyukai konflik maka sasaran ketiga ini diabaikan dan konflik akan menggelinding laksana bola liar yang menghantam siapa saja yang dilewatinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H