Mohon tunggu...
Ali Iskandar
Ali Iskandar Mohon Tunggu... Lainnya - Pelayan Maszawaibsos

Peminat Sosial Humaniora, tinggal di Lumajang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Membuktikan Mabrur Pak Haji

8 Juli 2024   11:21 Diperbarui: 8 Juli 2024   11:24 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bila dibanding dengan kuota negara lain, Indonesia termasuk negara yang mendapat kuota jamaah calon haji yang besar. Ini merupakan pertanda baik bila didukur dari efektifitas kontribusi mereka dalam perbaikan akhlak bangsa. 

Betapa tidak seorang haji adalah orang yang telah mendidik diri dengan kesadaran penuh dikawah candradimuka via perjalanan suci dititik lokasi yang menjadi syarat dan rukun haji. Tempat tempat itu menjadi pusat pendidikan spiritual mereka untuk mereduksi keserakahan duniawi yang melewati ambang batas kewajaran. 

Berhaji merupakan aktifitas ibadah. Keberadaannya merupakan rukun, pondasi islam yang harus dipenuhi setiap muslim tanpa kecuali dengan tiga syarat dasar yakni sehat jasmani ruhani, cukup materi dan lancar transportasi. Hanya saja waktu pelaksanaannya ditentukan pada bulan tertentu saja yaitu bulan dzulhijjah. 

Euphoria pergi haji bukan hanya bermodal lancar materi, lancar transportasi dan sehat jasmani belaka. Tetapi ada syarat spiritual lain yang mengharus para calon jamaah haji membiasakan diri dalam olah spiritual dengan menghindarkan diri dari budaya negative oral (lisan) yakni kebiasaan bicara kotor (rafats), banyak bicara minim kerja (fasiq), dan suka bertengkar (jidal). Karena ketiga kebiasaan buruk ini menjadi santapan sehari hari dalam kehidupan kita. Dari pagi hari selepas bangun tidur sampai tidur kembali. 

Bukannya mengawali hari dengan kalimah thoyyibah tetapi umpatan umpatan lisan hati kepada siapapun yang tidak sependapat dengan kehendak nafsunya. Baik itu keluarga, tetangga, teman kerja sampai berita berita yang dilihat melalui Koran maupun televisi. Rinci saja berapa kali dalam sehari hati hati ini mengumpat atau membicarakan perihal buruk tentang orang lain. 

Sungguh tidak gampang mencegah kebiasaan buruk lidah tak bertulang ini dengan menggantinya dengan perilaku baik. Bangsa kita telah mendapat suguhan menarik kelancaran bersilat lidah para pesohor negeri. Bagaimana mereka berkelit dari ragam tanggungjawab profesi dan sosialnya. 

Seolah ini menjadi budaya yang biasa dilakukan oleh siapapun baik itu pegawai, pengusaha, pekerja bahkan para penganjur kebaikan. Maka pantas bilamana negeri ini terpuruk dalam kubangan krisis multidimensi. Anehnya kita menutupi kepecundangannya dengan ragam alasan oral yang menempatkan dirinya sebagai yang superior dalam kegagalannya itu. Boleh jadi diantara mereka itu adalah mereka para jamaah haji. 

Makna haji mabrur. 

Kata "mabrur" berasal dari bahasa arab yang artinya mendapatkan kebaikan atau menjadi baik. Kata ini berasal dari kata "barra", berbuat baik atau patuh. Dari kata ini diperoleh kata "birrun, al birru" yang berarti kebaikan (Al Asfahani, 1980:34). 

Jika dikaitkan dengan haji, sering diartikan dengan ibadah haji yang diterima Allah SWT. Dengan kata lain haji mabrur adalah haji yang mendapatkan kebaikan atau haji yang pelakunya menjadi baik. Ritual haji memberikan banyak pelajaran bagi pelakunya selepas menunaikannya. Inilah yang menjadikan mereka selaras dengan makna diatas. Yakni memberikan efek baik selepas haji dan tiba ditanah air. 

Pelajaran dari perjalanan ibadah itu memberikan kesan spiritual sehingga spirit itu menyulut mereka sepanjang sisa hidupnya mengabdikan pada ranah sosial dinegeri asal. Ya, haji merupakan ibadah aksi dan lisan. Ibadah gerak dan do'a. Artinya mengajak para jamaah itu senantiasa bergerak tanpa kenal putus asa diiringi dengan doa serta disempurnakan dengan evaluasi diri. Ibadah itu ditutup dengan aktualisasi diri berdimensi sosial yang mewujud dalam ibadah kurban. 

Tentu ini memberikan kesadaran penuh bagi jamaah bahwa ia siap mendermakan yang terbaik dari materi yang dimilikinya sebagaimana Allah SWT berpesan bahwa kamu tidak akan mendapat kebaikan sebelum memberikan yang terbaik dari apa yang kamu cintai (QS. 4:39). Kapan dan dimana mereka mendermakan komitmen social itu ? tentu saja selepas kembali ke kampung halaman. 

Lepas dari jerat kemiskinan Melihat kuota jamaah pada tahun ini berjumlah 241.000 orang, harapan umat berpangku pada pundak mereka. ekspektasi umat yang demikian besar dalam kontribusi penyelesaian masalah sosial khususnya kemiskinan. Memang tidak semua jamaah haji adalah mereka yang mampu secara materi. 

Tetapi hampir pasti sebagian besar mereka adalah berasal dari kalangan kaum yang mampu secara finansial. Bila tujuh puluh persen dari jumlah total tersebut berkesadaran penuh mengalokasi 2,5 persen dari pendapatannya untuk seorang papa, tentu merupakan kenyataan bahagia bagi mereka. Setidaknya kontribusi alumnus masjidil haram mewujud pada ranah entasan kemiskinan. 

Cerita menarik dari kalangan sufi dikisahkan suami istri dari kalangan pas-pasan yang mempunyai niat yang sangat kuat untuk menunakan ibadah haji. Mereka berdua mengumpulkan bekal sedikit demi sedikit sampai akhirnya menurut prediksi mereka sampai ke tanah haram. 

Ketika perjalanan melewati sebuah kampung didapatkan penduduknya sangat miskin dan dalam kondisi kelaparan. Benak mereka diliputi keragu-raguan. Tegakah membiarkan mereka mati kelaparan sedang ditangannya ada bekal meskipun untuk bekal perjalanan haji yang sekian lama mereka impikan.

 Dalam suasana trenyuh itu mereka memberikan saja bekal yang ia bawa . Lalu mereka pulang. Sesampainya dirumah mereka berdua disambut oleh orang berpakaina putih yang belum sama sekali mereka kenal. Orang itu mengucap selamat bahwa ibadah hajinya diterima Allah sebagai haji mabrur. Tentu saja pasangan itu menolak karena belum sampai kesana. (Madjid, 2000:64). 

Tentu cerita ini tidak perlu diuji kebenarannya. Tetapi hikmah besar dibalik cerita itu yakni kontribusi karitas jamaah apapun bentuknya untuk membuktikan ke-mabrur-an haji mereka. Yang pasti Allah menyindir mereka yang dalam bersedekah tidak sebanding dengan harta yang dimilikinya (QS. 2:267). 

Kanjeng Nabi pernah berpesan: "Kamu harus memberi makan kepada mereka seperti yang kamu makan. Kamu harus memberi pakaian kepada mereka seperti yang kamu pakai. Dan kamu tidak boleh membebani mereka dengan sesuatu yang mereka tidak sanggup mengerjakan. Mengapa ? sebab mereka itu adalah daging, darah, dan makhluk seperti kamu". 

Renungan hadits ini adalah memberikan yang terbaik. Kaitan dengan kontribusi sosial ini adalah dikerjakan dengan serius, berkesinambungan dan jauh dari sekedar menggugurkan kewajiban. Bila jamaah sejumlah tujuh puluh persen serius dalam karitasnya terhadap pengentasan kaum papa untuk pendidikan putra-putri mereka misalnya, sampai berpenghasilan sendiri. Maka akan lahir generasi baru yang kelak juga akan menolong anak keturunan mereka dari seretnya roda ekonomi mereka sendiri dikemudian hari. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun