Kejadian ini berulang setiap hari. Para guru tetap teguh dengan metode ceramah mereka, meski kurikulum baru terus diperkenalkan dengan janji-janji perubahan.
Lisa, salah satu murid yang tergolong kritis di madrasah tersebut udah mulai frustrasi, akhirnya curhat ke Andi pas jam istirahat.
"Di, menurut lo kenapa sih semua guru suka banget ceramah?"
"Ya, karena gampang kali. Nggak ribet, tinggal ngomong aja," jawab Andi sambil ngemil gorengan.
"Tapi katanya Kurikulum Merdeka itu ngajarin buat lebih interaktif, bikin murid aktif belajar?" Lisa masih penasaran.
Andi cuma ketawa. "Merdeka sih kurikulumnya, gurunya mah tetep ceramah. Mau ganti nama jadi Kurikulum Lintas Galaxy sekalipun kayaknya nggak ngaruh."
Dan kenyataannya, itu bener banget. Metode ceramah kayaknya udah jadi budaya turun-temurun di dunia pendidikan kita. Mau kurikulum zaman dulu kayak CBSA, yang katanya nge-push murid buat aktif belajar, tetap aja ujung-ujungnya ceramah. Mau KURTILAS yang katanya berbasis kompetensi, sama aja, bahkan murid yang ngga pernah pegang buku sekalipun nilainya harus dibikin memenuhi standar kompetensi. Bahkan Kurikulum Merdeka, yang katanya ngasih kebebasan buat murid, tetep aja ceramah jadi default setting.
Muridnya? Ya cuma ngikut aja. Ada yang paham, ada yang nggak, tapi yang pasti, semua pernah ngalamin momen "ceramah mode autopilot."
Jadi, apapun kurikulumnya, entah nanti ada Kurikulum Deep Learning atau Kurikulum AI Super Canggih 2045, metode mengajar di sekolah-sekolah Indonesia kayaknya tetep: CERAMAH FOREVER. Kaya iklan minuman : apapun kurikulumnya, ceramah metodenya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H