Mohon tunggu...
ali achmadi
ali achmadi Mohon Tunggu... Guru - praktisi pendidikan, humas yayasan Ar Raudlaoh Pakis - Pati

hobi membaca dan traveling

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Apapun Kurikulumnya, Ceramah Metodenya

18 November 2024   11:56 Diperbarui: 18 November 2024   16:57 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi itu, bel sekolah dari potongan besi yang dipukul berdentang nyaring, menandai dimulainya jam pertama. Madrasah di ujung utara kota kecil di Jawa Tengah ini nampak memiliki bangunan yang terlihat kokoh namun kaku, seolah terjebak dalam waktu yang telah lama berlalu. Begitu memasuki area madrasah, kesan pertama yang muncul adalah suasana yang gersang dan terbatas. Lahan yang tidak dihiasi dengan tanaman hijau atau ruang terbuka yang bisa menjadi tempat bagi siswa untuk bermain, atau sekedar bersantai. Tanah yang tertutup paving blok tampak kering dan membiaskan fatamorgana.

Tak ada taman atau kebun kecil yang menghadirkan kesejukan. Siswa-siswa yang berkumpul di halaman hanya bisa saling berbicara atau duduk-duduk di bangku-bangku tua dan sederhana, tanpa ada tempat bagi mereka untuk mengekspresikan kegembiraan mereka dalam bermain atau beraktivitas fisik.

Selain itu, fasilitas untuk olahraga dan seni juga tidak nampak terlihat. Tidak ada sarana olahraga yang layak, hanya ada beberapa ruangan yang sempit dan terbatas untuk kegiatan indoor. Siswa yang ingin bermain bola, berlari, atau berolahraga lainnya hanya bisa melakukannya dengan cara yang terbatas dan hanya bisa memanfaatkan lapangan olah raga milik desa. Begitu juga sarana untuk kegiatan seni sepertinya tidak memiliki ruang khusus untuk menyalurkan kreativitas mereka. Tidak ada ruang seni yang dilengkapi dengan alat atau bahan-bahan seni untuk mendukung ekspresi artistik mereka. Meski madrasah ini, memiliki jumlah siswa yang lumayan banyak, namun terkesan abai dalam hal pengembangan karakter siswa melalui aktivitas fisik dan seni.

Jam pelajaran pertama baru aja mulai, tapi vibes-nya udah berasa lemes banget. Ada rasa enggan yang tak terucap di wajah sebagian besar dari murid-murid, sebab mereka tahu apa yang akan terjadi: hari ini, seperti hari-hari lainnya, akan diisi dengan ceramah demi ceramah dari para guru mereka.

Dari ruang kelas ke ruang kelas, baik di tingkat MTs maupun MA, suasananya hampir seragam. Kelas VIII, seperti biasa, penuh sama anak-anak yang ngantuk, ngegambar nggak jelas di buku, atau sekadar pura-pura dengerin. Di depan kelas, Pak Darman, guru biologi udah siap Tempur, spidol di tangan, berdiri kayak komandan.

"Anak-anak, hari ini kita belajar tentang struktur dan fungsi sitem saraf. Perhatikan ya, ini penting karena berkaitan dengan organ tubuh kita," katanya sambil nulis sesuatu di papan.

Murid-murid mulai membuka buku catatan mereka, meski beberapa hanya melakukannya untuk formalitas. Pak Darman melanjutkan, menjelaskan detail demi detail tanpa jeda. Sesekali ia menulis di papan tulis, tetapi hanya untuk menuliskan istilah ilmiah yang panjang. Tidak ada gambar, tidak ada diskusi. Hanya suara Pak Darman yang menggema di ruangan.

Di kelas sebrang, Pak Sugeng, guru kimia kelas XII IPA, sedang menjelaskan reaksi redoks. Dengan spidol di tangan, ia mengisi papan tulis dengan rumus panjang. Murid-murid mencoba mengikuti, tapi sebagian besar hanya berpura-pura sibuk mencatat. Salah satu murid berbisik, "Kenapa sih, nggak pernah praktik? Padahal kalau fisika atau kimia praktek pakai alat percobaan kan seru." Temannya hanya mengangguk, seolah sepakat, tapi tak berani mengutarakan hal itu kepada gurunya karena pada dasarnya mereka tahu bahwa madrasah mereka belum memiliki laboratorium yang representatif.

Hal serupa terjadi di ruang lain. Bu Indri, guru sejarah, membacakan catatan panjang tentang peristiwa Proklamasi. Tak ada peta, tak ada video dokumenter, hanya suara monoton yang memenuhi ruangan. "Perhatikan, ya, ini penting untuk ujian nanti," katanya berulang kali, seolah mencoba meyakinkan murid-muridnya bahwa apa yang ia sampaikan memang penting.

Sementara itu, Pak Rahmat, guru matematika MA, tengah mengajar integral. Sama seperti guru lainnya, ia berbicara terus menerus tanpa memberikan kesempatan murid untuk bertanya. "Kalau kalian sudah memahami ini, pasti ujian nanti akan mudah," ujarnya dengan nada yakin. Namun, wajah-wajah muridnya menunjukkan kebalikannya---kebingungan dan kelelahan.

Murid-murid di madrasah tersebut sudah terbiasa dengan pola ini. Setiap guru seolah memiliki metode yang sama: berbicara panjang lebar, sementara murid-murid hanya menjadi pendengar pasif. Tak peduli apa mata pelajarannya, tak peduli siapa gurunya, hasil akhirnya selalu sama---ceramah tanpa henti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun