Kemarin, kita dihebohkan dengan pengumuman bahwa capres (calon presiden) dari koalisi perubahan, Anies Baswedan akan berpasangan dengan Muhaimin Iskandar-- atau akrab disapa Cak Imin, ketua umum Partai Kebangkitan Nasional (PKB), dalam pemilu 2024.
Manuver ini memang mengejutkan semua orang, terutama untuk partai Demokrat, yang sedari awal sudah optimis kalau ketua umumnya, yaitu Agus Harimurti Yudhoyono -- dikenal dengan AHY, akan maju mendampingi Anies di Pemilu 2024.
Sontak, manuver ini membuat Partai Demokrat sakit hati. Demokrat merasa, manuver ini adalah sebuah pengkhianatan kepada mereka. Pernyataan ini juga sudah dikonfirmasi oleh Sekjen dan para petinggi Partai.Â
Demokrat berkeyakinan, ketua umum Partai Nasdem, yakni Surya Paloh, ada dibelakang semua manuver ini. Pada hari Jumat malam tanggal 1 September 2024, Demokrat pun memutuskan untuk keluar dari koalisi perubahan yang hampir satu tahun terakhir ini mereka perjuangkan bersama dengan Nasdem dan PKS dalam mengusung Anies sebagai presiden.
Sebetulnya dalam cerita manuver ini ada dua pihak yang sakit hati. Selain Demokrat, Cak Imin dan PKB nya juga sakit hati karena merasa dikhianati oleh Prabowo. Sejak awal Cak Imin sudah tidak malu-malu menunjukkan ke publik bahwa dirinya memiliki cita-cita untuk menjadi cawapres. Itulah yang sejak semula ia perjuangkan bersama Gerindra dalam Koalisi Kebangsaan Indonesia Raya (KKIR).Â
Namun, masuknya teman-teman baru dalam wujud PAN dan Golkar ke dalam koalisi membuat Cak Imin merasa disingkirkan. Puncaknya, ia merasa tidak dilibatkan dalam proses penggantian nama koalisi yang sebelumnya bernama 8KKIR, menjadi koalisi Indonesia maju. Sepertinya, itu cukup bagi Cak Imin untuk melakukan manuver berpindah koalisi.
Dua orang sakit hati, namun sepertinya yang dilakukan Cak Imin dan PKB nya lebih strategis secara politik dibandingkan dengan yang dilakukan oleh AHY dan Demokratnya.Â
Cak Imin dan PKB tidak menyerang Prabowo dan teman-teman koalisinya sebelum keluar, hal ini berbeda dengan yang dilakukan oleh Demokrat yang seakan-akan "burn the bridges" dengan mengatakan Anies dan Surya Paloh sebagai penghianat. Serangan ini bahkan dilakukan oleh ketua majelis tingginya langsung, setelah dimulai oleh Sekjen. Artinya, sikap partai sudah tidak mungkin bisa ditawar lagi.Â
Satu-satunya yang belum bersuara dari petinggi Demokrat saat ini hanya tinggal AHY sebagai ketua umum. Namun, rasanya sulit membayangkan AHY akan menganulir sikap yang telah disampaikan oleh Sekjen dan ketua majelis tinggi, yang juga merupakan ayahandanya sendiri.Â
Dalam politik yang sangat dinamis, strategi "burn the bridges" sepertinya terlalu awal kalau dikeluarkan untuk sekedar posisi cawapres. Partai-partai yang ideologinya berbeda saj masih bisa beriringan. Mungkin mereka bertempur di satu pemilihan, namun di pemilihan lain, mereka akan bergandeng tangan.