Contohnya dari kasus saya diatas, sahabat saya ini mungkin khawatir jika obrolan dilanjutkan maka diskusi tentang sosok penulis tadi akan memasuki ranah -- ranah yang lebih sensitif, dan dia tidak nyaman dengan hal tersebut.Â
Mungkin dia juga khawatir diskusi itu akan mempengaruhi persahabatan kami. Ya bisa terjadi seperti itu jika berdiskusi dengan orang yang apapun topiknya akan dibawa ke hati, dan orang semacam itu banyak beredar.Â
Di grup WA pun, kadang, jika terjadi diskusi yang lumayan panjang dan sudah menjurus ke hal-hal yang sensitf, akan muncul beberapa orang yang secara sukarela menjadi "pahlawan" untuk membelokkan topik secara halus dengan melemparkan topik baru dan jika pahlawan semacam itu banyak berada dalam grup tersebut, topik pun akan berhasil dibelokkan. Mungkin orang-orang seperti itu tidak bisa juga dinilai buruk, karena bagaimanpun niat mereka baik, agar grup tetap harmonis.Â
Namun kembali lagi, apakah grup WA ini dibentuk hanya untuk haha hihi (yang kadang jika ada yang mengirim haha hihi pu jarang ditanggapi), atau hanya untuk memberikan ucapan saja sehingga grup hanya ramai saat ada yang berulang tahun atau berbela sungkawa? Atau grup mau juga dijadikan ajang bertukar pikiran?.
 Sayang sekali jika di satu grup terdapat orang- orang yang memiliki keahlian tertentu, namun tidak sedikitpun pikiran atau pandangannya bisa kita lihat, Dan untuk mendapatkan itu diskusi harus dimulai, hal -- hal yang agak sensitif harus dilewati (tentu ada batasnya, namun batasnya bukan di pintu gerbang diskusi). Pikiran atau pandangan yang tajam tidak akan didapat dari sekedar haha hihi atau ucapan selamat belaka.
Alasan selanjutnya mungkin adalah malu. Malu ini biasanya berawal dari emosi yang tidak terkendali. Entah karena tidak suka dengan kawan diskusi yang memiliki pendapat yang berseberangan, entah karena tidak suka dengan topik yang diangkat atau hal lain. Kalau cuma emosi saja, mungkin diskusi tidak akan menjadi tanggung, karena pasti masih bernafsu untuk menanggapi lawan bicaranya.Â
Namun jika sudah tersadar salah langkah dan emosi itu berubah menjadi malu, biasanya bungkam adalah hal yang dipilih -- mungkin sambil berharap akan ada pahlawan yang muncul untuk mengubah topik -- Â Sudah sifat dasarnya emosi untuk menekan logika.Â
Itulah mengapa orang yang sedang dikuasai emosi -- patut diingat emosi itu bukan hanya marah, sedih dan gembira juga emosi -- tidak patut untuk mengambil keputusan penting.Â
Karena keputusan yang berdasarkan emosi belaka, biasanya mengabaikan pertimbangan logika (Emosi yang dimaksud disini adalah yang kadarnya berlebihan, karena seperti kita sadari emosi itu adalah yang membuat seorang manusia menjadi manusia. Kalau tidak ada emosi, apa bedanya manusia dengan robot?). Nah saat emosi menguasai dalam diskusi, seringkali keputusan dalam bentuk respon yang diambil menjadi tidak logis, dan hal yang tidak logis sangat mudah disanggah, saat lawan diskusi menyanggahnya dengan hal yang sudah susah untuk dibalas, maka emosi yang awalnya berbentuk kemarahan pun dalam sekejap langsung berubah rupa menjadi rasa malu.
Sampai disini saya berhenti sejenak dan bertanya kepada diri saya sendiri, apakah tulisan ini berdasarkan pada emosi juga? Saya memang agak kecewa dengan orang-orang yang sering lari dari diskusi namun itu tidak terjadi saat ini.Â
Diskusi dengan sahabat saya juga sudah terjadi jauh hari sebelum tulisan ini dibuat -- itupun tidak membuat emosi saya meletup dan persahabatan saya masih berlanjut sampai sekarang karena sahabat saya adalah seorang yang setia dan halus budinya -- lalu grup WA yang saya amati sering menghasilkan diskusi nanggung itu pun sudah antara ada dan tiada.Â