Mohon tunggu...
Alia MyraZahira
Alia MyraZahira Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Melukis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tergerusnya Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah

25 Desember 2022   12:06 Diperbarui: 25 Desember 2022   12:08 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Berdasarkan KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang sudah disepakati, diakui dan digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk berinteraksi, bekerja sama, dan mengidentifikasikan diri. Selain itu, bahasa menurut Pateda (2011:7) merupakan formasi bunyi yang bersistem menjadi alat yang menggantikan individual dalam menyatakan sesuatu kepada lawan bicara dan akhirnya mewujudkan respon di antara lawan bicara (Noermanzah, 2019:307). Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan bahasa sangatlah penting dalam kehidupan manusia.

Manusia adalah mahluk komunikasi, artinya manusia tidak bisa jika tidak berkomunikasi. Sebagai manusia tampaknya kita tidak dapat mengelakkan suatu hakikat kemanusiaan, antara lain berkomunikasi dengan sesama atau dengan komunikasi antarpribadi. Setiap pembicaraan, percakapan antarpribadi adalah betuk komunikasi antar pribadi yang tidak bermedia, atau selalu memakai pesan. Dalam pikiran seseorang terdapat suatu bentuk gagasan. Gagasan itu dapat diterjemahkan ke dalam suatu lambang, misalnya bahasa, dan di kirim melalui ucapan kata-kata, sehingga diterima oleh orang lain.

Bahasa juga merupakan alat komunikasi verbal yang berupa simbol-simbol yang sudah disepakati oleh masyarakat dimana bahasa tersebut digunakan, karena bahasa bersifat eksplisit, maka sarana ini membuat bahasa menjadi alat untuk menyalurkan persepsi seperti nilai, norma, dan sebagainya, dari satu individu ke individu lain, bahasa juga merupakan jati diri suatu bangsa. Setiap kelompok masyarakat memiliki budayanya masing-masing, sehingga terdapat banyak Bahasa Daerah yang ada di Indonesia. Bahasa Daerah maupun Bahasa Indonesia kian hari kian memprihatikan, karena terjadi pergeseran penggunaan bahasa, yaitu dengan munculnya bahasa-bahasa "Indonesia" yang campur oleh bahasa asing. Bahasa-bahasa tersebut lebih sering disebut sebagai bahasa gaul yang secara tidak langsung menjadi suatu budaya. Bahasa gaul adalah bahasa yang sering dipakai dan timbul sebagai upaya remaja untuk menunjukkan eksistensinya, serta sebagai upaya untuk tampil berbeda.

Penting tidaknya suatu bahasa dapat juga didasari patokan sebagai berikut: (1) jumlah penuturnya (2) luas penyebarannya (3) peranannya sebagai sarana ilmu,susastra dan ungkapan budaya lain yang dianggap bernilai (Anton Moeliono, 1992:1). Berdasarkan jumlah penuturnya, jumlah penutur bahasa Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat. Pertambahan tersebut di antaranya disebabkan oleh adanya arus perpindahan penduduk dari desa ke kota, terutama Jakarta yang sangat memungkinkan penggunaan bahasa Indonesia, adanya perkawinan dari antarsuku atau antardaerah yang memungkinkan penggunaan bahasa Indonesia sebagai pemersatu bahasa daerah mereka. Ada anggapan bahwa tidak perlu lagi menggunakan bahasa daerahnya, mereka cenderung lebih suka bertutur kata menggunakan bahasa Indonesia dari pada bahasa daerahnya.

Bahasa daerah merupakan bagian dari kebudayaan yang hidup dan berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Namun, pada era golabalisasi ini, muncul kekhawatiran dari para pemerhati bahasa bahwa banyak bahasa daerah yang terancam punah. Kekhawatiran tersebut patut mendapat perhatian karena hilangnya satu bahasa daerah merupakan salah satu tolak ukur dalam hilangnya satu kebudayaan dan peradaban dunia. Dalam Ethnologue: Language of The World (2005) dikemukakan bahwa di Indonesia terdapat 742 bahasa, 737 bahasa merupakan bahasa yang masih hidup atau digunakan oleh penuturnya. Sementara itu, tiga bahasa lainnya telah punah dan dua bahasa yang berperan sebagai bahasa kedua tanpa penutur bahasa ibu (mother-tongue). Beberapa diantara bahasa-bahasa yang masih hidup diperkirakan berada diambang kepunahan disebabkan oleh berkurangnya jumlah penuturnya karena penutur aslinya tinggal beberapa orang saja, tetapi ada pula bahasa-bahasa yang terdesak oleh pengaruh bahasa-bahasa daerah lain yang lebih dominan. Tak bisa dilupakan pula akan halnya pengaruh Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional terutama dalam berbagai ranah resmi (formal) seperti pemerintahan dan pendidikan, menjadi salah satu penyebab pemakaian bahasa daerah semakin berkurang. Selain itu, kondisi masyarakat Indonesia yang multietnik dengan bahasa dan kebudayaannya masing-masing sudah tentu membuka peluang terjadinya kontak melalui komunikasi dan interaksi antaretnik yang berbeda bahasa dan kebudayaan tersebut yang menyebabkan terjadinya berbagai fenomena kebahasaan seperti bilingualisme (atau bahkan multilingualisme) yang sering terjadi pada kelompok-kelompok bahasa minoritas. Adanya kontak bahasa dapat pula mengakibatkan terjadinya pergeseran bahasa (language shift), yakni perubahan secara tetap dalam pilihan bahasa seseorang untuk keperluan sehari-hari terutama sebagai akibat migrasi, atau terjadinya perubahan bahasa (language change) (Kridalaksana 1993: 169, 172).

Perubahan bahasa itu tidak dapat diamati, sebab perubahan itu sudah menjadi sifat hakiki bahasa, berlangsung dalam waktu yang relatif lama, sehingga tidak mungkin diobservasi oleh seseorang dalam waktu yang terbatas (Wardhaught 1990: 187). Namun yang dapat diketahui adalah bukti adanya perubahan bahasa itu. Inipun terbatas pada bahasa-bahasa yang mempunyai tradisi tulis, dan mempunyai dokumen tertulis dari masa-masa yang sudah lama berlalu. Perubahan bahasa yang terjadi di dalam internal bahasa sendiri, yang menyebabkan perbedaan struktur bahasa akibatnya dalam jangka waktu tertentu sebuah kata diucapkan berbeda.

Menurut Ferdinand de Saussure, seorang tokoh linguistic structural yang dikutif Sarwono, menyimpulkan bahwa kelanggengan sebuah system bahasa justru terjadi karena setiap orang bebas dihadapan bahasa, sebagai sebuah sistem, bahasa memang cenderung langgeng karena kebebasan masyarakat dihadapan bahasal (Sarwono,2001). Perubahan tersebut terus berkembang, sampai lahirlah bahasa gaul/bahasa prokem yang biasanya digunakan oleh remaja. Bahasa gaul/bahasa prokem jelas merupakan "penyelewengan" dari bahasa Indonesia yang diresmikan dalam peristiwa "Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928". Bahasa gaul/Bahasa prokem sendiri didefinisikan dalam kamus besar bahasa Indonesia sebagai ragam dengan leksikon tertentu digunakan oleh kaum remaja.

Pada dasarnya, bahasa gaul bukanlah bahasa. Bahasa gaul (slang) hanyalah kosakata khusus yang sudah ada sebelumnya. Bentuk kata yang ada diubah dan terkadang diberikan arti baru yang sama sekali berbeda dari arti sebenarnya dari kata tersebut. Slang sebenarnya adalah bahasa untuk tujuan tertentu, yaitu untuk mengidentifikasi suatu kelompok, dalam hal ini untuk membedakan kelompok siswa, yaitu. siswa, dari kelompok lain dalam masyarakat. Tentu saja, sebagai hasil kultivasi manusia, bahasa tidak dapat dipisahkan dari manusia itu sendiri. Jadi nampaknya ada unsur-unsur di luar bahasa yang mempengaruhi penggunaan bahasa. Yang dimaksud dengan unsur ekstralinguistik atau variabel ekstralinguistik lain dalam hal ini adalah variabel sosial, karena bahasa pada hakekatnya merupakan gambaran hubungan antara variabel linguistik itu sendiri dengan variabel sosial. Hal itu ditegaskan juga oleh Sudaryanto (1985) yang mengutarakan bahwa dimana ada masyarakat, disitu pasti ada pemakaian bahasa. Dengan perkataan lain di mana aktivitas masyarakat itu terjadi, di situ terjadi pula aktivitas berbahasa.

Maraknya bahasa gaul sangat didukung oleh media seperti jejaring sosial dan media televisi. Penyebarluasan dengan bantuan teknologi media tidak hanya membuat gaul bagi kaum muda kota besar, namun meluas ke segala bidang dan tidak mengenal batas usia. Di era globalisasi ini, berbagai pengaruh dan budaya asing masuk tanpa hambatan melalui berbagai metode komunikasi yang semakin canggih. Nilai-nilai solidaritas sosial, kekeluargaan, dan keramahtamahan sosial yang dulu dipandang sebagai kekuatan pemersatu dalam masyarakat, semakin memudar seiring menguatnya nilai-nilai materialistis dan kecenderungan individualistis. Intensitas silaturahmi antar anggota atau kelompok masyarakat semakin berkurang. Jika tidak ada filter dan pencegah yang kuat, tidak menutup kemungkinan budaya dan identitas kita sebagai bangsa Indonesia akan semakin hilang. Di sini bahasa daerah dapat berperan strategis dalam upaya membentuk dan mengembangkan budaya dan karakter bangsa, khususnya di daerah. Bahasa daerah juga dapat menjadi sumber penemuan kembali nilai-nilai moral yang semakin tergerus oleh gaya hidup hedonistik era globalisasi. Kita dapat menemukan dua keunggulan dalam bahasa daerah, yaitu keunggulan internal dan keunggulan eksternal. Keunggulan internal mengacu pada kekayaan linguistik, misalnya kosakata yang luas untuk mengungkapkan ide yang benar atau abstrak. Manfaat ekstrinsik, misalnya, keunggulan yang berkaitan dengan hal-hal di luar bahasa, seperti kekayaan daerah dan kekuatan internal, yang meliputi bahasa daerah.

Kepunahan bahasa memiliki konsekuensi yang serius. Secara linguistik dapat dikatakan bahwa hilangnya suatu bahasa berarti berakhirnya penggunaan bahasa karena tidak ada lagi penutur. Sebenarnya kepunahan ini tidak dapat dilihat hanya dari satu sisi saja, yaitu lenyapnya bahasa penuturnya, tetapi harus juga diperhatikan apa yang ada di balik bahasa itu, yang secara intrinsik menjadi ciri khasnya, yaitu budaya penuturnya. Dalam hal ini, Kramsch (1998:3) menyatakan bahwa bahasa merupakan alat utama yang karenanya kita melaksanakan kehidupan sosial kita. Dalam konteks komunikasi, bahasa terkait dengan kebudayaan dalam berbagai cara. Bagi Kramsch, bahasa mengekspresikan realitas budaya dimana melalui bahasa facts, ideas, dan events atau pengalaman manusia diekspresikan, dan sikap serta kepercayaan direfleksikan. Menurut Kramsch, bahasa juga mengandung realitas budaya baik melalui aspek verbal maupun aspek non-verbal. Selain itu, bahasa dikatakan sebagai sistem simbol yang mengandung nilai budaya.

Berkurangnya jumlah penutur bahasa daerah juga menjadi faktor penting penyebab punahnya bahasa daerah tersebut. Banyak bahasa daerah yang kehilangan penuturnya dari generasi ke generasi. Pada saat yang sama, pemuda generasi penerus tidak lagi memiliki kepedulian atau kesetiaan terhadap bahasa nenek moyang mereka. Misalnya di Jawa. Saat ini sulit menemukan ahli atau penutur bahasa Jawa Kuno (Kawi). Mungkin hanya segelintir kalangan keraton atau dalang wayang yang bisa menceritakan dan mengungkapkannya. Aksara Jawa (carakan) juga nyaris terkubur gelombang modernisasi. Faktor lainnya adalah praktek crossover atau yang biasa disebut dengan perkawinan silang. Praktik mengawinkan pasangan dari suku atau daerah lain dengan bahasa daerah yang berbeda mendorong mereka untuk berkompromi dengan menggunakan bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia, dalam percakapan dan komunikasi sehari-hari. 

Kemudian masuknya bahasa asing, terutama bahasa Inggris dan bahasa Arab, juga turut menyebabkan kemunduran berbagai bahasa daerah. Masyarakat sekarang berbondong-bondong untuk mempelajari kedua bahasa untuk alasan yang berbeda. Orang belajar dan berkomunikasi dalam bahasa Inggris karena dianggap lebih "modern" dan "berpendidikan" dan sebagai saluran untuk pekerjaan, beasiswa, penerimaan internasional, dll. Sementara itu, masyarakat belajar dan berkomunikasi dalam bahasa Arab karena dianggap lebih "religius dan Islami". Melemahnya "jiwa Nusantara" pada generasi muda untuk melestarikan budaya dan bahasa nenek moyang juga menjadi faktor penting bagi para pendatang atau pendatang yang ingin memulai hidup baru di tempat yang baru. Tentu saja ketika bahasa daerah mati, harus ada yang mempertahankan bahasa tersebut.

Fenomena pemertahanan bahasa biasanya terjadi di daerah atau negara dengan para pendatang atau pendatang yang ingin memulai hidup baru di tempat yang baru. Ketika suatu kelompok etnis pindah ke daerah baru, secara alami menjadi minoritas di daerah itu. Biasanya mereka dapat menyesuaikan diri dengan adat-istiadat masyarakat setempat sehingga diterima sebagai bagian dari penduduk asli. Jika mereka mampu hidup berdampingan dengan masyarakat adat, mau tidak mau mereka secara tidak sadar akan mengadopsi bahasa penduduk setempat. Itu membuat mereka bilingual. Di satu sisi mereka masih menggunakan bahasa ibu mereka, di sisi lain mereka juga menggunakan bahasa nasional sebagai bahasa baru. Misalnya untuk anak-anak di Kuala Tanjung, karena kawasan ini merupakan kawasan industri, maka jumlah pendatang cukup tinggi. Saat berkomunikasi, anak-anak ini menggunakan dua bahasa, yaitu bahasa ibu dan bahasa daerah, saat berkomunikasi dengan teman bermainnya di masyarakat setempat. Keadaan ini tidak dapat dihindari dengan migrasi, dimana terjadi akulturasi dua bahasa. Kondisi ini membuat masyarakat di tempat yang memiliki banyak pendatang (imigrasi) seperti Jakarta menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi dengan suku yang berbeda, sehingga jarang menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar untuk berinteraksi dengan masyarakat sesama Kuala Tanjung, terutama di kalangan anak-anak dan remaja. Bahasa daerah hanya digunakan oleh orang dewasa dan orang tua, itupun penggunaannya dalam lingkungan keluarga terbatas.

Terdapat beberapa faktor dapat mempengaruhi bahasa yang dapat dilakukan oleh penerusnya. Faktor-faktor ini juga menjadi alasan mengapa suatu bahasa dapat berubah atau sebaliknya dapat dilestarikan. Faktor paling nyata yang dapat mempengaruhi perubahan bahasa adalah sikap generasi muda terhadap bahasa daerahnya sendiri. Hal ini diperkuat dengan beberapa penelitian yang menemukan bagaimana sikap dapat memberikan pengaruh yang bertahan lama terhadap penggunaan bahasa daerah dari generasi ke generasi. Pada umumnya suatu daerah dengan struktur sosial multinasional cenderung menggunakan satu bahasa (bahasa nasional) sebagai sarana interaksi antara masyarakat yang berbeda dari berbagai macam suku. Faktor lain yang mempengaruhi pemertahanan bahasa adalah mobilitas atau frekuensi kunjungan ke tempat kelahiran atau daerah lain, serta tempat tinggal mayoritas suku dan tempat tinggal minoritas di daerah tersebut. Arus imigran atau pengunjung baru yang konstan membutuhkan penggunaan bahasa yang terus berlanjut.

Holmes (1989) juga menambahkan faktor lain, yaitu dukungan institusi yang memberikan perbedaan antara sukses dan gagal dalam mempertahankan kelompok bahasa minoritas. Pendidikan, hukum, administrasi, agama, dan media adalah ranah yang penting yang berkenaan dengan masalah ini. Kelompok minoritas yang memberdayakan institusi ini untuk mendukung berhasilnya upaya untuk pemertahanan bahasa. Jika pemerintah suatu negara bertekad untuk menyelamatkan atau memelihara bahasa daerah, perlu memberikan peluang untuk melegalisasikan penggunaan bahasa daerah dalam semua ranah tersebut.

Untuk mencegah penggunaan bahasa daerah yang semakin lama akan terancam punah, pemerintah dan masyarakat harus mengambil beberapa langkah strategis. Misalnya, pemerintah daerah harus membuat kebijakan atau peraturan untuk melindungi bahasa (dan sastra) daerah. Saat ini, hanya pemerintah Sumatera Utara yang telah mengeluarkan kebijakan tersebut. Selebihnya tidak ada. Bahkan banyak pemda yang berlomba-lomba mengeluarkan "Perda Syariah". Pada saat yang sama, masalah tradisi, budaya, dan bahasa daerah diabaikan.

Pemerintah juga harus menjadikan bahasa daerah (selain bahasa Indonesia) sebagai "mata pelajaran" wajib di sekolah atau kampus yang disesuaikan dengan daerahnya agar siswa (peserta didik) terbiasa dengan bahasa nasionalnya sejak dini. Selain itu, televisi dan radio juga harus dijadikan sebagai media untuk menampilkan berbagai bahasa daerah melalui program kreatif dan menarik masyarakat luas, terutama generasi milenial. Masyarakat juga dapat berkontribusi dalam pelestarian bahasa daerah dengan meluncurkan berbagai program dukungan, misalnya pembuatan buku  bahasa daerah, penyediaan taman baca dalam bahasa daerah atau berbagai kegiatan seni dan budaya, dsb.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun