Berdasarkan KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang sudah disepakati, diakui dan digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk berinteraksi, bekerja sama, dan mengidentifikasikan diri. Selain itu, bahasa menurut Pateda (2011:7) merupakan formasi bunyi yang bersistem menjadi alat yang menggantikan individual dalam menyatakan sesuatu kepada lawan bicara dan akhirnya mewujudkan respon di antara lawan bicara (Noermanzah, 2019:307). Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan bahasa sangatlah penting dalam kehidupan manusia.
Manusia adalah mahluk komunikasi, artinya manusia tidak bisa jika tidak berkomunikasi. Sebagai manusia tampaknya kita tidak dapat mengelakkan suatu hakikat kemanusiaan, antara lain berkomunikasi dengan sesama atau dengan komunikasi antarpribadi. Setiap pembicaraan, percakapan antarpribadi adalah betuk komunikasi antar pribadi yang tidak bermedia, atau selalu memakai pesan. Dalam pikiran seseorang terdapat suatu bentuk gagasan. Gagasan itu dapat diterjemahkan ke dalam suatu lambang, misalnya bahasa, dan di kirim melalui ucapan kata-kata, sehingga diterima oleh orang lain.
Bahasa juga merupakan alat komunikasi verbal yang berupa simbol-simbol yang sudah disepakati oleh masyarakat dimana bahasa tersebut digunakan, karena bahasa bersifat eksplisit, maka sarana ini membuat bahasa menjadi alat untuk menyalurkan persepsi seperti nilai, norma, dan sebagainya, dari satu individu ke individu lain, bahasa juga merupakan jati diri suatu bangsa. Setiap kelompok masyarakat memiliki budayanya masing-masing, sehingga terdapat banyak Bahasa Daerah yang ada di Indonesia. Bahasa Daerah maupun Bahasa Indonesia kian hari kian memprihatikan, karena terjadi pergeseran penggunaan bahasa, yaitu dengan munculnya bahasa-bahasa "Indonesia" yang campur oleh bahasa asing. Bahasa-bahasa tersebut lebih sering disebut sebagai bahasa gaul yang secara tidak langsung menjadi suatu budaya. Bahasa gaul adalah bahasa yang sering dipakai dan timbul sebagai upaya remaja untuk menunjukkan eksistensinya, serta sebagai upaya untuk tampil berbeda.
Penting tidaknya suatu bahasa dapat juga didasari patokan sebagai berikut: (1) jumlah penuturnya (2) luas penyebarannya (3) peranannya sebagai sarana ilmu,susastra dan ungkapan budaya lain yang dianggap bernilai (Anton Moeliono, 1992:1). Berdasarkan jumlah penuturnya, jumlah penutur bahasa Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat. Pertambahan tersebut di antaranya disebabkan oleh adanya arus perpindahan penduduk dari desa ke kota, terutama Jakarta yang sangat memungkinkan penggunaan bahasa Indonesia, adanya perkawinan dari antarsuku atau antardaerah yang memungkinkan penggunaan bahasa Indonesia sebagai pemersatu bahasa daerah mereka. Ada anggapan bahwa tidak perlu lagi menggunakan bahasa daerahnya, mereka cenderung lebih suka bertutur kata menggunakan bahasa Indonesia dari pada bahasa daerahnya.
Bahasa daerah merupakan bagian dari kebudayaan yang hidup dan berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Namun, pada era golabalisasi ini, muncul kekhawatiran dari para pemerhati bahasa bahwa banyak bahasa daerah yang terancam punah. Kekhawatiran tersebut patut mendapat perhatian karena hilangnya satu bahasa daerah merupakan salah satu tolak ukur dalam hilangnya satu kebudayaan dan peradaban dunia. Dalam Ethnologue: Language of The World (2005) dikemukakan bahwa di Indonesia terdapat 742 bahasa, 737 bahasa merupakan bahasa yang masih hidup atau digunakan oleh penuturnya. Sementara itu, tiga bahasa lainnya telah punah dan dua bahasa yang berperan sebagai bahasa kedua tanpa penutur bahasa ibu (mother-tongue). Beberapa diantara bahasa-bahasa yang masih hidup diperkirakan berada diambang kepunahan disebabkan oleh berkurangnya jumlah penuturnya karena penutur aslinya tinggal beberapa orang saja, tetapi ada pula bahasa-bahasa yang terdesak oleh pengaruh bahasa-bahasa daerah lain yang lebih dominan. Tak bisa dilupakan pula akan halnya pengaruh Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional terutama dalam berbagai ranah resmi (formal) seperti pemerintahan dan pendidikan, menjadi salah satu penyebab pemakaian bahasa daerah semakin berkurang. Selain itu, kondisi masyarakat Indonesia yang multietnik dengan bahasa dan kebudayaannya masing-masing sudah tentu membuka peluang terjadinya kontak melalui komunikasi dan interaksi antaretnik yang berbeda bahasa dan kebudayaan tersebut yang menyebabkan terjadinya berbagai fenomena kebahasaan seperti bilingualisme (atau bahkan multilingualisme) yang sering terjadi pada kelompok-kelompok bahasa minoritas. Adanya kontak bahasa dapat pula mengakibatkan terjadinya pergeseran bahasa (language shift), yakni perubahan secara tetap dalam pilihan bahasa seseorang untuk keperluan sehari-hari terutama sebagai akibat migrasi, atau terjadinya perubahan bahasa (language change) (Kridalaksana 1993: 169, 172).
Perubahan bahasa itu tidak dapat diamati, sebab perubahan itu sudah menjadi sifat hakiki bahasa, berlangsung dalam waktu yang relatif lama, sehingga tidak mungkin diobservasi oleh seseorang dalam waktu yang terbatas (Wardhaught 1990: 187). Namun yang dapat diketahui adalah bukti adanya perubahan bahasa itu. Inipun terbatas pada bahasa-bahasa yang mempunyai tradisi tulis, dan mempunyai dokumen tertulis dari masa-masa yang sudah lama berlalu. Perubahan bahasa yang terjadi di dalam internal bahasa sendiri, yang menyebabkan perbedaan struktur bahasa akibatnya dalam jangka waktu tertentu sebuah kata diucapkan berbeda.
Menurut Ferdinand de Saussure, seorang tokoh linguistic structural yang dikutif Sarwono, menyimpulkan bahwa kelanggengan sebuah system bahasa justru terjadi karena setiap orang bebas dihadapan bahasa, sebagai sebuah sistem, bahasa memang cenderung langgeng karena kebebasan masyarakat dihadapan bahasal (Sarwono,2001). Perubahan tersebut terus berkembang, sampai lahirlah bahasa gaul/bahasa prokem yang biasanya digunakan oleh remaja. Bahasa gaul/bahasa prokem jelas merupakan "penyelewengan" dari bahasa Indonesia yang diresmikan dalam peristiwa "Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928". Bahasa gaul/Bahasa prokem sendiri didefinisikan dalam kamus besar bahasa Indonesia sebagai ragam dengan leksikon tertentu digunakan oleh kaum remaja.
Pada dasarnya, bahasa gaul bukanlah bahasa. Bahasa gaul (slang) hanyalah kosakata khusus yang sudah ada sebelumnya. Bentuk kata yang ada diubah dan terkadang diberikan arti baru yang sama sekali berbeda dari arti sebenarnya dari kata tersebut. Slang sebenarnya adalah bahasa untuk tujuan tertentu, yaitu untuk mengidentifikasi suatu kelompok, dalam hal ini untuk membedakan kelompok siswa, yaitu. siswa, dari kelompok lain dalam masyarakat. Tentu saja, sebagai hasil kultivasi manusia, bahasa tidak dapat dipisahkan dari manusia itu sendiri. Jadi nampaknya ada unsur-unsur di luar bahasa yang mempengaruhi penggunaan bahasa. Yang dimaksud dengan unsur ekstralinguistik atau variabel ekstralinguistik lain dalam hal ini adalah variabel sosial, karena bahasa pada hakekatnya merupakan gambaran hubungan antara variabel linguistik itu sendiri dengan variabel sosial. Hal itu ditegaskan juga oleh Sudaryanto (1985) yang mengutarakan bahwa dimana ada masyarakat, disitu pasti ada pemakaian bahasa. Dengan perkataan lain di mana aktivitas masyarakat itu terjadi, di situ terjadi pula aktivitas berbahasa.
Maraknya bahasa gaul sangat didukung oleh media seperti jejaring sosial dan media televisi. Penyebarluasan dengan bantuan teknologi media tidak hanya membuat gaul bagi kaum muda kota besar, namun meluas ke segala bidang dan tidak mengenal batas usia. Di era globalisasi ini, berbagai pengaruh dan budaya asing masuk tanpa hambatan melalui berbagai metode komunikasi yang semakin canggih. Nilai-nilai solidaritas sosial, kekeluargaan, dan keramahtamahan sosial yang dulu dipandang sebagai kekuatan pemersatu dalam masyarakat, semakin memudar seiring menguatnya nilai-nilai materialistis dan kecenderungan individualistis. Intensitas silaturahmi antar anggota atau kelompok masyarakat semakin berkurang. Jika tidak ada filter dan pencegah yang kuat, tidak menutup kemungkinan budaya dan identitas kita sebagai bangsa Indonesia akan semakin hilang. Di sini bahasa daerah dapat berperan strategis dalam upaya membentuk dan mengembangkan budaya dan karakter bangsa, khususnya di daerah. Bahasa daerah juga dapat menjadi sumber penemuan kembali nilai-nilai moral yang semakin tergerus oleh gaya hidup hedonistik era globalisasi. Kita dapat menemukan dua keunggulan dalam bahasa daerah, yaitu keunggulan internal dan keunggulan eksternal. Keunggulan internal mengacu pada kekayaan linguistik, misalnya kosakata yang luas untuk mengungkapkan ide yang benar atau abstrak. Manfaat ekstrinsik, misalnya, keunggulan yang berkaitan dengan hal-hal di luar bahasa, seperti kekayaan daerah dan kekuatan internal, yang meliputi bahasa daerah.
Kepunahan bahasa memiliki konsekuensi yang serius. Secara linguistik dapat dikatakan bahwa hilangnya suatu bahasa berarti berakhirnya penggunaan bahasa karena tidak ada lagi penutur. Sebenarnya kepunahan ini tidak dapat dilihat hanya dari satu sisi saja, yaitu lenyapnya bahasa penuturnya, tetapi harus juga diperhatikan apa yang ada di balik bahasa itu, yang secara intrinsik menjadi ciri khasnya, yaitu budaya penuturnya. Dalam hal ini, Kramsch (1998:3) menyatakan bahwa bahasa merupakan alat utama yang karenanya kita melaksanakan kehidupan sosial kita. Dalam konteks komunikasi, bahasa terkait dengan kebudayaan dalam berbagai cara. Bagi Kramsch, bahasa mengekspresikan realitas budaya dimana melalui bahasa facts, ideas, dan events atau pengalaman manusia diekspresikan, dan sikap serta kepercayaan direfleksikan. Menurut Kramsch, bahasa juga mengandung realitas budaya baik melalui aspek verbal maupun aspek non-verbal. Selain itu, bahasa dikatakan sebagai sistem simbol yang mengandung nilai budaya.
Berkurangnya jumlah penutur bahasa daerah juga menjadi faktor penting penyebab punahnya bahasa daerah tersebut. Banyak bahasa daerah yang kehilangan penuturnya dari generasi ke generasi. Pada saat yang sama, pemuda generasi penerus tidak lagi memiliki kepedulian atau kesetiaan terhadap bahasa nenek moyang mereka. Misalnya di Jawa. Saat ini sulit menemukan ahli atau penutur bahasa Jawa Kuno (Kawi). Mungkin hanya segelintir kalangan keraton atau dalang wayang yang bisa menceritakan dan mengungkapkannya. Aksara Jawa (carakan) juga nyaris terkubur gelombang modernisasi. Faktor lainnya adalah praktek crossover atau yang biasa disebut dengan perkawinan silang. Praktik mengawinkan pasangan dari suku atau daerah lain dengan bahasa daerah yang berbeda mendorong mereka untuk berkompromi dengan menggunakan bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia, dalam percakapan dan komunikasi sehari-hari.Â