Mohon tunggu...
Ali masum
Ali masum Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Seniman Kaligrafi

Asna Art Gallery. Hub. 089609795999/www.asnaagallery.com. ASNAA ART GALLERY, merupakan salah satu lembaga yang bergerak dalam bidang pendidikan kesenian terutama di bidang seni kaligrafi dan jasa pembuatan kaligrafi. melayani; * jasa pembuatan kaligrafi dinding masjid, mushola. * jasa pembuatan kaligrafi kanvas, kuningan, dan kaligrafi tekstur. * jasa lukis wajah dll. * Bimbingan lomba kaligrafi, lukis, dan mewarnai dari tingkat PAUD, SD, SMP, SMA dan UMUM secara profesional baik secara Offline dan Online.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tangis Air Mataku

3 Juli 2024   08:30 Diperbarui: 3 Juli 2024   08:51 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika kamu bercerita tentang apa yang dilakukan lelaki tua itu terhadapmu, kita menangis bersama dalam sebuah kamar bermandikan cahaya. Hujan di luar telah mengembunkan kaca jendela sehingga membuatku ingin menggoreskan namaku dan namamu di permukaannya. 

Cahaya lampu kendaraan bergerak buram di bawah sana. Dari gerak cahaya yang lamban dan kadang berhenti, aku tahu kemacetan sedang terjadi. Hujan selalu menimbulkan kemacetan, tetapi air mata kita telah melegakan rongga dada. Dadaku dan dadamu. Pecah dalam diam yang membisukan waktu.

Masih berada ditempat yang sama, bersama lelaki tua yang kamu panggil Ayah Sapri karena perbedaan usia membuatmu lebih sesuai menjadi anaknya. Dia adalah atasanmu di sebuah perusahaan yang bergerak dibidang kesehatan. Dia memperlakukanmu seperti anak sendiri, meskipun sudah memiliki empat anak perempuan di rumahnya. 

Dia memanjakanmu dengan semua kelebihan yang dimilikinya. Menyewakan sebuah rumah buatmu dengan seorang pembantu dan seorang sopir, tapi dia selalu menjemputmu dari rumah ke kantor dan mengantarmu dari kantor ke rumah. Sopir hanya bekerja kalau Ayah Sapri sedang ada tugas keluar daerah, sehingga dengan waktu yang demikian panjang, sopir menyambi kerja sebagai tukang ojek.

Kalau ada tanggal merah terutama di akhir pekan, dia mengajakmu berlibur ke Bali, Jogya, Lombok dan beberapa daerah lainnya di dalam negeri. Terkadang pergi keluar negeri sebatas hannya untuk mengunjungi Singapura, Malaysia dan Thailand karena waktu yang sempit. Namun Ayah berjanji akan membawamu ke sebuah negara di Eropa nanti. “Aku harus menabung untuk itu. Yakinlah apa pun akan kulakukan untuk membuatmu bahagia,” kata Ayah Sapri kepadamu dan aku mendengarkannya dari bibirmu.

Kamu pun bahagia, setidaknya sampai saat itu. Ayah Sapri memberikan semua yang tidak kamu dapatkan di rumah. Sebagai balasannya kamu memberikan semua yang kamu miliki termasuk kehormatanmu. “Ayah Sapri akan menjadi suamiku. Aku tak peduli jadi istri kedua, itu hanya masalah angka. Aku ingin memiliki anak dari Ayah Sapri.”

Di luar rumah dia memperlakukan kamu seperti anaknya sendiri. Di dalam rumah ia memperlakukan kamu seperti istrinya sendiri. Akhirnya kamu hamil sebelum Ayah Sapri sempat menikahimu. Untuk menenangkanmu dia hanya berjanji segera menikahimu setelah kesibukannya di kantor selesai. 

Kamu yakin itu benar adanya sampai kemudian kamu menemukan beberapa tablet kecil obat peluruh kandungan dalam mobilnya. Ketika kamu tanyakan, Ayah Sapri berdalih mobilnya dipakai teman dan obat itu milik temannya. Kamu tidak percaya dan kalian bertengkar hebat. 

Saat itulah Ayah Sapri memukul perutmu. Pukulan untuk pertama kali tapi dilakukan beberapa kali. DIa tak berhenti menangis histeris. Semakin kencang tangisanmu, semakin keras pukulannya.

“Aku tidak tahu apakah itu pukulan seorang ayah terhadap anaknya atau pukulan suami terhadap istrinya. Tapi aku tidak percaya Ayah Sapri melakukan itu.”

Ketika memeriksakan diri ke dokter kandungan, kamu baru menyadari kandunganmu sudah hancur. Ternyata kamu sudah meminum banyak obat peluruh kandungan yang dilarutkan Ayah Sapri dalam minumanmu, jauh sebelum kamu menemukan sisa obat itu dalam mobilnya. Dokter mengatakan kamu harus dikuret dan dia bertanya apakah kamu sudah menikah.

Kamu mengangguk di tengah kegalauan yang melanda.

“Saya akan memberi rekomendasi untuk dikuret,” kata dokter itu.

Kamu pulang bukan saja dengan kandungan yang hancur, tetapi juga dengan hati yang lebur. Pupus sudah impianmu untuk memiliki anak dari Ayah Sapri. Isi rahimmu dikosongkan sekosong hatimu. Lalu Ayah Sapri pun pergi darimu tanpa pernah mengatakan apa pun. Rumah kontrakan tidak dibayar lagi, pembantu pulang kampung dan supir sepenuhnya bekerja sebagai tukang ojek karena mobil ditarik Ayah Sapri. 

Bahkan kemudian kamu pun dikeluarkan dari tempatmu berkerja dengan alasan yang tidak kamu pahami dan tanpa pesangon. Ayah Sapri tidak pernah menjawab panggilan teleponmu. Pesan-pesanmu tak pernah ditanggapinya. Semua kemanisan hidup bersama Ayah Sapri berubah menjadi pahit, lebih pahit dari obat yang diam-diam dilarutkan Ayah Sapri dalam minumanmu.

Dalam keputusasaan itu, kamu kembali ingat masih memiliki keluarga. Kamu kembali kepada keluarga hanya untuk membuat hatimu semakin hancur. Bapak dan ibu menerimamu kembali tetapi tidak mau turut campur dalam persoalanmu karena sudah mengingatkan jauh-jauh hari. Mereka bahkan tidak pernah mau mendengarkan penderitaanmu akibat perlakuan Ayah Sapri karena menganggapmu sudah cukup dewasa menanggungnya sendiri.

Itu kata-kata yang pernah kamu ucapkan ketika kamu pergi dari rumah untuk hidup bersama Ayah Sapri. “Ayah Sapri bukan saja telah membunuh bayiku, tetapi juga membunuh jiwaku.”

Kamu mengucapkan itu dengan air mata yang mengalir di pipi sambil menatap air hujan mengalir di permukaan kaca. Aku memelukmu dari belakang dan mencium pipimu penuh perasaan. Air mata kita menyatu seperti tubuh kita. Ketika pernyatuan itu terjadi, bahkan diriku dan dirimu tak bisa membedakan mana air mataku dan mana air matamu. Keduanya mengalir di pipiku dan di pipimu menjadi air mata kita.

***

Ketika kamu bercerita tentang apa yang kamu lakukan terhadap lelaki itu, aku menangis sendiri di dalam kamar yang minim cahaya. Tidak ada hujan di luar sana, tidak ada kemacetan dan tidak ada kamu di sini. Hanya ada aku, hati yang patah dan air mata.

Dua tahun kalian menjalin hubungan, jauh lebih lama dibandingkan denganku yang baru tiga bulan. Dua tahun bukanlah perjalanan cinta terlama yang pernah kamu lewati. Masa tujuh tahun penuh cinta, tapi dua tahun itulah yang paling berkesan sepanjang hidupmu.

Di kamar yang sama, kita memulai percakapan soal masa lalumu, masa laluku serta masa depan kita. Kamu tidak bisa datang malam ini karena “ingin mengujungi saudara yang sakit”. Aku menelpon sabelum kamu berangkat. Kita berecerita tentang aroma dan lagu lawas kesukaanmu, dua hal yang bisa membangkitkan memori ke masa lalu. Aroma dan lagu lawasan mengundang kenangan, kita bersepakat soal itu.

Aku pun menyemprotkan aroma lemon yang lembut ke seluruh tubuh agar bisa mengingatkanmu sampai di dalam tidur. Aku ingat aroma tubuhmu saat kita menangis bersama dan kuyakin itulah kenikmatan terbesar dalam hidupku. Kejadian itu lebih kuat terpatri bahkan bila dibandingkan dengan desahan kita di kamar mandi.

Setelah mengucapkan janji untuk tetap mencintaiku, suaramu lenyap dari telinga tetapi tetap melekat di hatiku. Aku tidak pernah menyangka itulah kata cinta terakhir yang kudengar darimu. Malam itu aku membawa kerinduanku ke keramaian, berharap lelah datang dan pulang dengan kantuk yang mengundangmu lebih cepat dalam impianku.

Sampai hari berganti dan kamu tak hadir dalam mimpiku lagi, kabar darimu belum juga datang. Aku harus menghubungimu karena didorong rasa rindu yang tak tertahankan. Panggilan pertama sampai panggilan yang tidak dapat kuingat tak juga mendapat tanggapan darimu. Aku mengirim pesan dan tidak mendapatkan jawaban. Haruskah kudatangi rumahmu untuk mengetahui apa yang terjadi?

Kamu pernah mengundangku ke rumah dan memperkenalkanku kepada orang tuamu dan ketiga adik lelakimu. Kamu anak perempuan satu-satunya dan sebagai anak sulung orangtuamu mengharapkan kamu bisa menjadi contoh yang baik bagi adik-adiknya. Kamu diharapkan menjadi tulang punggung keluarga bukan tumpuan keluarga. Itulah kedatanganku yang pertama sekaligus yang terakhir.

Kamu melarangku datang lagi karena kedua orang tuamu tidak merestui hubungan kita. “Bagaimana mereka bisa tahu hubungan kita? Kamu menceritakannya? Bukankan kita sudah sepakat akan merahasiakan sampai mereka dan dunia tahu dengan sendirinya?”

“Aku masih ingat dengan kesepakatan itu. Tapi aku tak ingin mereka tahu lebih cepat.”

“Mereka takkan tahu kalau kamu tidak menceritakannya. Keluargamu mengira kita hanya sahabat. Dunia juga mengira kita hanya sepasang sahabat.”

“Aku bisa membohongi perasaanku dengan kata-kata, tapi tidak dengan mataku.”

Aku menyukai kekhawatiranmu itu dan percaya memang karena itulah kamu melarangku ke rumah lagi. Kalau sekarang aku nekat ke rumahmu untuk mengetahui apa yang terjadi, apakah kamu akan marah?

Panggilanmu datang ketika aku berada dalam kebimbangan. Aku menyambut suaramu dengan gembira, tetapi kemudian kamu membawa kabar duka. Ayah Sapri kena stroke. Ketika aku mendengar itu pertama kali aku malah menduga itulah kabar gembira sesungguhnya. Kemudian kamu mengatakan dengan jujur selama ini kamu berada di rumah sakit untuk merawat Ayah Sapri.

“Mengapa harus kamu? Bukankah sudah ada keluarganya?”

“Ayah Sapri yang mengharapkan aku datang. Kami merawatnya bersama.”

“Kami?

“Aku, istri Ayah Sapri, dan ini adalah ke empat anaknya.”

Aku masih belum dapat memahami. Bahkan setelah kamu menjelaskan panjang lebar kalian (kamu, Ayah Sapri, istrinya dan anak-anaknya) sudah berdamai dan sepakat melangsungkan pernikahanmu dengan Ayah Sapri. Itu janji yang akan dipenuhi setelah Ayah Sapri sembuh dari sakitnya.

“Ayah Sapri pernah mengucapkan janji yang sama dulu. Tapi dia mengingkarinya…”

“Beda, sekarang janji di depan keluarganya sendiri dan semuanya menerima. Kami sekarang seperti sebuah keluarga.”

Kamu percaya dengan janji dan perubahan yang cepat sehingga suaramu terdengar sangat bahagia ketika mengucapkan itu. Kamu tidak peduli dengan hariku yang terluka sehingga dengan enteng mengatakan hal itu seperti mengabarkan sebuah berita tentang adanya film bagus malam ini.

“Kenapa?” aku mulai tidak mampu mengendalikan emosi setelah sekian lama terdiam, “mengapa kamu lakukan ini kepadaku?

“Maaf, sayang. Aku tahu ini membuatmu sakit. Tapi aku harus mengatakannya. Aku menginginkan seorang anak dari rahimku sendiri.”

Kita pernah sepakat mengadopsi beberapa anak saat kita hidup bersama. Masihkan kamu ingat dengan semua itu?

Suaramu lalu lenyap dari telingaku dan luka hatiku semakin menganga. Aku tidak percaya kamu melakukan semua ini kepadaku, apa pun alasannya. Kamu membunuh jiwaku dengan membuka kembali cinta lama yang ingin kamu kubur di dasar hatimu paling dalam. Jiwaku baru saja mati tetapi jiwamu baru hidup kembali.

Malam mulai meredup tapi aku masih duduk di tepian ranjang sambil terus menangis. Aku ingin kamu berada di sini dan kita menangis bersama sampai air mata kita menyatu seperti dulu lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun