Tak terasa, dalam hitungan jam ke depan ummat Islam di seluruh penjuru dunia akan menyongsong hadirnya bulan Ramadhan. Sebagian besar ummat Islam tentu saja telah menyipakan sejumlah strategi untuk mengisinya, terutama berkaitan dengan ibadah. Bagaimana tidak? Hampir seluruh ummat Islam sangat yakin bahwa pada bulan Ramadhan, pahala seluruh ibadah akan dilipatgandakan begitu besar. Hal penting lainnya yaitu bulan Ramadhan ini hanya tampil sekali dalam setahun dan belum tentu tahun berikutnya kita dapat menjamin akan menjumpainya kembali.
Namun ada yang berbeda pada bulan Ramadhan 2020 (1441 H) ini. Hampir di seluruh permukaan bumi, termasuk Indonesia, tengah menghadapi pusaran badai wabah COVID-19 (Coronavirus Disease 19) yang diakibatkan oleh infeksi virus yang dikenal dengan nama SARS CoV-2 (Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2).Â
Sejak ditetapkan sebagai pandemik global oleh WHO, COVID-19 telah merengut nyawa sekitar 182.467 (20%) penduduk dunia. Di Indonesia sendiri, jumlah penderita positif telah mencapai angka 7.418 kasus dengan jumlah kematian sebesar 635 kasus.
Tak ada yang dapat memprediksi dengan tepat kapan wabah ini akan berakhir atau minimal berkurang, apakah pada bulan Ramadhan tahun ini atau mungkin setelahnya, atau bahkan mungkin saja tahun berikutnya. Yang dapat dilakukan sekarang adalah berusaha semaksimal mungkin mematuhi berbagai himbauan yang disampaikan oleh Pemerintah setempat, baik terkait pencegahan maupun penanganannya. Dan yang paling utama adalah tetap berharap kepada Sang Maha Pencipta agar wabah ini segera berakhir secepat mungkin.
Seandainya pada bulan Ramadhan tahun ini wabah belum berakhir, apakah ibadah utama yaitu puasa harus ditiadakan juga secara global dengan alasan kesehatan? Masih terlalu prematur untuk menetapkannya, apalagi hingga mendesak fatwa dari para ahli agama (Islam) atau dalam hal ini ulama untuk segera meniadakan ibadah puasa tersebut. Butuh kajian lebih mendalam, khususnya urgensi dari segi kesehatan didukung kebijakan dari sisi syariat agama (Islam) untuk memutuskannya. Â Â Â Â Â Â
Jika kita mencoba mencari di berbagai media, sebenarnya cukup banyak artikel yang telah menyebutkan berbagai manfaat menjalankan ibadah puasa, baik hubungannya dengan penyakit degeneratif atau efek dari pola hidup yang tidak sehat seperti diabetes melitus, hipertensi, stroke, dan kanker hingga penyakit yang berkaitan dengan infeksi kuman (bakteri, virus, fungi/jamur, atau protozoa). Aktivitas puasa bahkan dijadikan salah satu alternatif terapi untuk sejumlah penyakit berbahaya selain melalui tindakan medis.
Pada tahun 2016, salah seorang peneliti asal Jepang bernama Professor Yoshinori Ohsumi memperoleh hadiah Nobel di bidang fisiologi kedokteran. Beliau memenangkan hadiah Nobel tersebut setelah mengemukakan teorinya mengenai suatu proses yang dikenal dengan istilah autophagy.Â
Autopaghy berasal dari kata auto (sendiri) dan phagy (makan); merupakan suatu proses dimana sel-sel tubuh kita melakukan degradasi (memecah/menghancurkan) atau digesti (memakan) komponen di dalam sel itu sendri.  Melalui proses tersebut, sel tubuh akan menghancurkan komponennya sendiri yang telah mengalami kerusakan, terinfeksi kuman berbahaya, dan masalah lainnya.
Autopaghy diketahui memiliki peran biologis yang sangat luas, seperti memperbaiki sel yang rusak (remodeling), mengontrol kualitas protein, menekan pertumbuhan tumor, mengatur kinerja imunitas tubuh, membantu sel untuk bertahan hidup serta dapat mengeliminasi kuman berbahaya yang menginfeksi sel-sel tubuh. Karena peran fundamental tersebut, maka kelainan atau kegagalan proses autopaghy dapat mempengaruhi kondisi kesehatan organ-organ tubuh kita. Proses autopaghy sendiri dapat terjadi ketika seseorang sedang berpuasa.
Berkaitan dengan imunitas (daya tahan tubuh), laporan klinis yang ditulis oleh Omer ND bersama rekan-rekannya tahun 2013 pada sebuah laman Journal of International Medical Research menyimpulkan bahwa aktivitas puasa di bulan Ramadhan tidak menyebabkan adanya gangguan imunologis berat pada orang sehat.Â
Pada penelitian tersebut menunjukkan adanya penurunan jumlah imunogloblin G (IgG) dalam darah beberapa partisipan yang sedang berpuasa namun masih dalam kondisi normal sedangkan imunoglobulin M (IgM) dalam darah mereka tidak mengalami penurunan ataupun kenaikan yang signifikan.