Mohon tunggu...
Damara Puteri S
Damara Puteri S Mohon Tunggu... Penulis - Self healing by writing

Seorang ibu yang suka menulis sebagai sarana mencurahkan isi hati dan kepala.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Mengapa Kita Harus Bermpimpi Besar?

14 Oktober 2023   15:17 Diperbarui: 14 Oktober 2023   15:19 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

Gantungkanlah cita-cita setinggi langit. Agar jika engkau terjatuh, kau jatuh di antara bintang-bintang.

Saya yakin pembaca kenal dengan pernyataan yang pernah disampaikan oleh Bung Karno tersebut. Kalimat yang indah dan menggugah siapapun untuk berani bermimpi setinggi langit. Bermimpi besar. Tidak takut untuk mencanangkan tujuan-tujuan besar. Pencapaian-pencapaian yang luar biasa hebat. Dengan demikian, diharapkan para pemimpi ini memiliki tekad baja dan daya juang yang tinggi.

Tetapi, mengapa kita harus bermimpi besar? Apa maksud dari ungkapan "Agar jika engkau jatuh, kau jatuh di antara bintang-bintang"? Bagaimana dampak yang akan terjadi jika mimpi besar itu tidak terwujud?

Di sisi lain, banyak orang hebat yang menghasilkan karya besar (setidaknya bagi sebagian besar orang menganggap demikian), tetapi merasa dirinya masih merasa hampa. Mengapa yang demikian itu dapat terjadi? Izinkanlah penulis menyampaikannya secara runtut untuk mempermudah penjelasan.

Mimpi Besar

Dikatakan mimpi karena masih sebatas keinginan dalam angan. Jika diupayakan dengan sungguh-sungguh sehingga terealisasi dalam kehidupan, maka selanjutnya disebut dengan "mimpi yang menjadi kenyataan". Keterangan "besar" berarti menunjukkan bahwa keinginan yang dimiliki itu mengandung konsekuensi yang juga besar. Menuntut seseorang untuk lebih bekerja keras, lebih cerdas untuk menemukan solusi masalah, lebih banyak bersabar atau gigih, dan lebih ikhlas terhadap apapun hasil yang didapat. Selain mengundang konsekuensi yang besar, mimpi besar juga memberikan dampak yang besar bin luas terhadap orang lain.  

Bayangkan jika kamu bermimpi menjadi guru. Dampak dari keberadaanmu sebagai guru di sekolah ialah terbatas pada lingkup beberapa kelas yang diajar. Sekarang bandingkan jika kamu bermimpi menjadi kepala sekolah, kepala Dinas Pendidikan, atau bahkan Menteri Pendidikan. Sudah terbayang kan, konsekuensi dampak dari mimpi yang mau kamu wujudkan?

Nah, sudah jelas kalau kita bermimpi besar, maka harus bersiap untuk menghadapi tantangan yang juga besar. Mempersiapkan mindset yang senantiasa berkembang sekaligus memiliki daya juang tinggi. But, why? Mengapa setelah kita tahu kalau untuk mewujudkan mimpi besar itu susah, kita tetap harus memilikinya? Merealisasikannya.

Misi Manusia Sejak Awal Sudah Besar

Sebelum bicara tentang "awal", kita bisa tilik sejarah perjalanan Bung Karno menadi orang nomor satu di Indonesia (as a president of Republic of Indonesia). Bisa dikatakan, masa pendidikan Bung Karno selama tinggal di rumah kos milik HOS Tjokroaminoto menjadi faktor penting yang membuatnya masuk dalam lingkaran pergerakan perjuangan kemerdekaan RI. Pergerakan yang lebih dulu dilakukan oleh HOS Tjokroaminoto serta interaksi dengan sesama anak kos seperti Musso, Kartosuwiryo, dsb sedikit banyak memberikan gambaran kepada Bung Karno tentang langkah yang harus diambil sebagai kontribusi perjuangan.

Bayangkan jika Bung Karno tidak pernah mengerti tentang hal-hal seputar kebangsaan, penjajahan, kemerdekaan, revolusi, idealisme, dan agama atau spiritual. Tentu Bung Karno tidak akan menyeburkan diri ke dalam medan juang merebut kemerdekaan bangsa Indonesia. Barangkali ia tidak dikenal sebagai Bapak Proklamator atau salah satu Founding Fathers Indonesia. Melainkan sebagai seorang bangsawasan yang menjadi pejabat daerah atau pedagang besar di daerah asalnya.

Dari tilik sejarah Bung Karno tersebut, penulis kembali mengajak pembaca untuk tilik sejarah manusia. Sebagai umat beragama (khususnya Islam), tentu kita akan tilik sejarah manusia dimulai dari awal penciptaan manusia. Tuhan dengan kuasa-Nya menciptakan makhluk bernama manusia. Sepasang manusia awal yang Tuhan ciptakan itu mula-mula menjadi penghuni alam Surga. Yakni suatu tempat di sisi-Nya yang sangat nyaman dan menunjang segala kebutuhan maupun keinginan penghuninya.

Suatu waktu, sepasang manusia ciptaan Tuhan tergoda untuk melakukan perbuatan terlarang. Keduanya pun tidak lagi menjadi penghuni alam Surga dan pindah menjadi manusia yang tinggal dan hidup di alam dunia. Di planet bernama Bumi, tepatnya. Yakni sebuah tempat di alam dunia yang juga menyajikan berbagai kebutuhan hidup.

Bedanya, di alam dunia manusia harus berusaha terlebih dahulu untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup maupun keinginannya. Di alam dunia juga terdapat hal-hal yang berpotensi memberikan perasaan duka (termasuk lelah, sedih, kecewa, marah, dan emosi negatif lainnya). Tidak seperti alam Surga yang senantiasa membuat penghuninya bersuka cita.

Tidak selamanya manusia menghuni Bumi. Adalah janji Tuhan bahwa setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kelak, manusia mengenal yang namanya usia dan ajal. Tetapi kematian bukanlah sebuah akhir dari perjalanan seorang manusia. Alam akhirat yang terbagi menjadi Surga dan Neraka inilah titik akhir pemberhentian setiap nyawa. Jika telah terkisah bahwa alam Surga adalah tempat yang menyenangkan, maka Neraka merupakan kebalikannya. Tidak ada kebahagiaan sedikitpun yang akan dirasakan oleh para penghuninya.

Bagi yang sungguh-sungguh beriman, menjalankan setiap perintah dan menjauhi larangan Tuhan-lah yang akan kembali ke asalnya. Kembali ke alam Surga. Itulah janji Tuhan yang Maha Benar.

Sekarang, bukankah bermimpi untuk bisa kembali ke "kampung halaman" di alam akhirat ini adalah mimpi yang besar? Sebuah mimpi yang mengandung konsekuensi besar sehingga Tuhan berpesan agar kita menjadi manusia yang bisa memberikan manfaat sebanyak-banyaknya dan sebesar-besarnya bagi sesama manusia (sekaligus berbuat baik kepada hewan dan alam).

Untuk itulah, misi kita sebagai manusia sudah besar sejak awal. Misi untuk kembali pulang ke "kampung halaman". Sehingga layaklah bagi kita semua untuk memiliki "mimpi besar" itu.

"Ah, itu mimpi yang kejauhan! Mimpi yang terlalu besar!"

Kejauhan? Sepertinya tidak. Jika batasnya adalah kematian, maka itu menjadi amat dekat. Karena tidak ada yang tahu pasti apakah esok kita masih hidup di dunia yang fana ini.

Terlalu besar? Itu persepsi semata. Kalau kembali pulang ke "kampung halaman" adalah sesuatu yang terlalu besar, maka apa yang lebih layak untuk dicapai seorang anak manusia? Menjadi kaya dan berkuasa? Kematian tetap akan merenggut semuanya, bukan?

Jika mimpi itu begitu besar, maka fokuslah pada prosesnya. Fokus pada langkah demi langkah yang dijalani. Tahap demi tahap yang dilalui. Serta fokus menghadapi satu per satu masalah yang menghampiri. Pastikan segalanya dilakukan dengan cara-cara yang diperkenankan Tuhan.

Dengan tilik sejarah penciptaan manusia yang demikian, tentunya kita kembali sadar bahwa hidup di dunia hanyalah sementara. Akan ada masanya diri kita berpulang kembali ke hadapan-Nya. Pulang kembali ke "kampung halaman" itulah mimpi besar yang seharusnya dimiliki oleh setiap kita.

Mimpi Besar yang Keliru 

Adalah menjadi barang umum hari ini bahwa mimpi besar identik dengan hal-hal yang berkaitan dengan materi. Memiliki harta yang melimpah, sehingga bisa "membeli kebahagiaan". Menjadi orang yang berkuasa, sehingga bisa "mengatur kebahagiaan". Semua itu tersentralisasi pada diri, keluarga, atau kelompok tertentu. Tidak berlakulah "menjadi orang yang memberi manfaat sebanyak-banyaknya dan sebesar-besarnya untuk sesama manusia (sekaligus kepada hewan dan alam)".

Sedangkan mimpi besar lainnya yang juga bersifat materi dan tersentralisasi pada diri ialah menikmati kenyamanan hidup tanpa peduli nasib orang lain yang masih tertinggal. Sengaja menutup mata dari fenomena jurang kemiskinan yang semakin dalam akibat pendidikan yang belum merata dan penguasa yang semena-mena.

Itu adalah mimpi besar yang keliru.

Mimpi yang Sederhana

Tidak ada mimpi yang sederhana.

Jika seseorang bermimpi untuk menjadi seorang hartawan sehingga ia mampu membantu perekonomian banyak orang, maka mimpinya besar. Jika seseorang bermimpi untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya sehingga ia mampu memberikan pemecahan masalah, maka mimpinya besar. Jika seseorang bermimpi untuk menjadi seorang petinggi daerah sehingga mampu menjadikan daerah pimpinannya maju dari banyak aspek, maka mimpinya besar.  

Bahkan, bermimpi untuk memperbaiki nasib sehingga tidak menggantungkan diri pada orang lain adalah satu langkah kecil menuju mimpi yang besar. Karena bangun dari kondisi terpuruk dan mampu memberdayakan diri sendiri bukanlah sesuatu yang kecil nan mudah dilakukan. Gigih memperbaiki nasib dan memberdayakan diri adalah indikasi bahwa seseorang memiliki mimpi besar yang ingin diraihnya.

Semoga Terjawab

Mengapa kita harus bermimpi besar?

Karena tidak ada pilihan lain. Tidak ada mimpi kecil, mimpi sederhana. Sudah digariskan bahwa kita sebagai manusia memiliki mimpi besar yang harus dicapai.

Apa maksud dari ungkapan "Agar jika engkau jatuh, kau jatuh di antara bintang-bintang"?

Sebagai perumpamaan bagi mereka yang telah berusaha untuk meraih serpihan-serpihan dari target impian tetapi (seolah) merasa gagal mencapainya. Mereka masih tetap akan mendapat hal-hal baik sebagai akibat dari usaha yang telah dilakukannya.

Bagaimana dampak yang akan terjadi jika mimpi besar itu tidak terwujud?

Jika mimpi besar kita adalah untuk pulang ke "kampung halaman" tidak terwujud, maka hanya tersisa satu tempat lagi yang mudah-mudahan kita semua tidak pernah sempat tinggal di sana.

Mengapa banyak orang hebat yang menghasilkan karya besar (setidaknya bagi sebagian besar orang menganggap demikian), tetapi merasa dirinya masih merasa hampa?

Mungkin mimpi besarnya keliru. Bisa keliru dalam hal realitas yang diimpikan maupun dari proses mewujudkan mimpinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun