Mohon tunggu...
Damara Puteri S
Damara Puteri S Mohon Tunggu... Penulis - Self healing by writing

Seorang ibu yang suka menulis sebagai sarana mencurahkan isi hati dan kepala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pernah Menegur Tapi Malah Dimarahi? Cek 5 Faktornya!

2 November 2022   09:53 Diperbarui: 2 November 2022   10:01 643
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.freepik.com/

Beberapa waktu lalu ketika sedang asyik scrolling, mampirlah sebuah video di layar HP saya. Video tersebut merekam tentang seorang pejalan kaki yang marah-marah ke seorang pengendara motor yang menggunakan trotoar. Teman-teman tentu paham fungsi daripada trotoar, bukan? Ya, trotoar adalah jalan khusus untuk orang-orang yang bepergian dengan berjalan kaki. Bukan yang mengendarai motor apalagi mobil. 

Apa yang dilakukan oleh pejalan kaki itu tidak salah. Karena memang si pengendara motor ini melakukan kesalahan dengan sempat memarkir motor dan mengendarai motornya di trotoar yang saat itu sedang padat oleh para pedestrian (pejalan kaki). Tetapi sepertinya teman-teman bisa menebak bagaimana respon si pengendara motor ini. Ya, si pengendara motor justru terlihat kesal dan pergi dengan memacu motornya di trotoar bahkan sengaja benar menggeber ke arah pedestrian yang tadi menegurnya dengan emosi.

Kasus lain yang serupa ialah saat pemilik mobil memarkir mobilnya di jalan sempit atau gang. Lagi-lagi mampir sebuah video yang menunjukkan seorang pengendara mobil yang hendak melewati sebuah gang, tetapi tidak bisa karena ada mobil yang diparkir di gang tersebut. Tepatnya, mobil tersebut diparkir di depan sebuah rumah di dalam gang. Di dalam video, si pengendara yang masih di dalam mobilnya itu sedang menegur seorang bapak yang sepertinya pemilik mobil yang diparkir di gang. 

Si bapak ini terlihat marah-marah dan justru menyuruh si pengendara untuk putar balik saja. Cari jalan lain. Tidak ditampilkan bagaimana ujung drama mobil diparkir di gang itu. Apakah akhirnya si pengendara mobil mengalah saja dan putar balik melewati jalan lain atau si bapak yang akhirnya mengaku salah dan bersedia memindahkan mobilnya ke tempat lain.

Yang salah yang marah

Nah, dari kedua kasus tersebut tentu kita bisa melihat ada kemiripan: yang salah yang marah. Ketika seseorang yang melakukan kesalahan itu ditegur oleh orang lain, ia justru seperti tidak terima dan tidak mau disalahkan. Di luar sana, saya yakin teman-teman sering menemui kejadian serupa atau bahkan memiliki pengalaman pribadi soal tegur-menegur yang dibalas amarah ini. 

Sejujurnya, ini juga yang merupakan pengalaman pribadi saya. Tetapi yang harus diketahui, justru saya yang berada di posisi: yang salah yang marah. Meskipun sebenarnya saya tidak langsung marah-marah ke orang yang menegur saya. Melainkan saya meluapkan emosi amarah saya kepada suami tercinta -yang alhamdulilah sabar menampung emosi saya-.

Secara garis besar, saya melakukan sebuah kesalahan karena kealpaan dan sebenarnya kalau ditinjau secara dampak tidak begitu besar. Itu terjadi di sebuah grup chat. Tetapi ada seseorang yang chat ke saya dengan maksud mengingatkan kalau yang saya lakukan itu sepanjang pemahamannya, tidak bisa dibenarkan. 

Berhubungan orang tersebut bukanlah orang yang berwenang, saya menampung dulu protesnya dan mengonfirmasi bahwa saya akan menanyakan ke pihak yang berwenang. Setelah saya tanyakan, ternyata saya memang salah. Baiklah, chat di grup akhirnya saya tarik dan saya mengklarifikasi kesalahan saya tersebut di grup itu saat itu juga. Sekalian menyelipkan ungkapan terima kasih kepada orang yang sudah japri saya. Karena kasus saya ini berkaitan dengan nilai dan harga sebuah kejujuran.

Semula saya tersinggung sehingga melampiaskan emsoi amarah kepada suami. Beruntung, suami saya termasuk sabar. Soal nilai dan harga sebuah kejujuran, ia hanya berpesan pendek, "Pertahankan, tidak banyak orang yang bisa seperti itu (mempertahankan kejujuran)." Cesss... Bagai ada embun yang nyiprat ke hati saya yang sedang membara. Saya pun terdiam. Diam untuk meredakan emosi dan diam untuk meresapi kalimat suami.

Setelah emosi reda, saya berusaha untuk evaluatif. Memikirkan sebab yang menjadikan saya marah-marah ketika ditegur oleh seseorang. Toh, pada kenyataannya memang saya berbuat salah. Sebagaimana halnya si pengendara motor dan si pemilik mobil yang parkir di gang ketika ditegur: yang salah yang marah. Kenapa demikian?

Ada 5 Faktor

Untuk menjawabnya, kita membutuhkan sebuah "pisau" bernama ilmu komunikasi yang berkaitan dengan psikologi komunikasi sebagaimana yang saya baca di sini. Disebutkan di situ bahwa psikologi komunikasi bisa berarti sebagai proses mengenali atau mengetahui lebih lanjut tentang karakter dan sikap komunikan tanpa mengabaikan aspek kejiwaannya.

Saya pernah mendapat pelajaran tentang ilmu komunikasi semasa kuliah dulu. Dosen menyampaikan beberapa teori dasar tentang ilmu komunikasi. Tujuan komunikasi kalau dilihat dari tingkat kesulitannya sekaligus yang menjadi tujuan komunikasi, setidaknya ada 4 tingkat: 1) Kognisi, 2) Afeksi 3) Keinginan bertindak, dan 4) Bertindak. Tujuan komunikasi yang paling sulit ialah membuat orang lain bertindak atau melakukan sesuatu sesuai yang kita harapkan.

Bila kita masuk ke dalam konteks persoalan di atas tentang "menegur" dan "yang salah yang marah", maka inilah 5 faktor yang perlu diperhatikan:

  • Standar Penilaian

Pada konteks komunikasi "menegur", maka si penegur berkedudukan sebagai komunikator dan yang ditegur sebagai komunikan. Sebelum menegur, tentu komunikator terlebih dahulu harus benar dalam menilai perbuatan yang dilakukan komunikan. Jika komunikator keliru menggunakan standar penilaian lantas menilai perbuatan komunikan yang berujung pada proses menegur, tentulah komunikan bisa merasa tidak bersalah sehingga marah-marah.

Coba kita kontekskan pada kasus pedestrian yang menegur pengendara motor di trotoar. Kita tahu bahwa ada aturan tertulis yang menerangkan fungsi trotoar sebagai tempat bagi pejalan kaki (pedestrian) dan pengendara kendaraan dilarang menggunakan trotoar. Ini tertuang pada Undang-undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ). Sehingga standar penilaian yang digunakan si penegur ini sudah benar. Jelaslah si pengendara motor itu yang keliru.

  • Profil dan Relasi Komunikator -- Komunikan

Sebagaimana yang sudah sedikit disinggung di poin pertama, komunikator adalah orang yang memiliki maksud/tujuan tertentu dalam melakukan komunikasi. Dalam konteks menegur, maka si penegur inilah yang menjadi komunikator sedangkan yang ditegur posisinya sebagai komunikan.

Yang namanya menegur, pastinya berharap yang ditegur itu minimal mengakui kesalahannya. Syukur kalau sampai meminta maaf karena telah berbuat salah dan bertanggung jawab. Terutama jika ada pihak yang dirugikan. Tetapi dalam menegur, tidak boleh sembarangan. Harus diperhatikan profil dan relasi di antara si penegur dengan yang ditegur.

Misalnya konteks pemilik mobil yang parkir di gang dengan pengendara mobil yang mau melewati gang tersebut. Profil si penegur ini sama-sama orang biasa. Bukan pejabat atau petugas ketertiban yang kebetulan sedang patroli. Sedangkan relasi atau hubungan di antara keduanya adalah sama-sama stranger atau orang asing. Tidak pernah kenal sebelumnya. Sehingga si penegur ini tidak bisa bertindak sebagaimana pejabat bertindak atau petugas ketertiban bertindak untuk menegur si pemilik mobil yang parkir sembarangan itu tadi.    

  • Isi Pesan

Isi pesan dalam komunikasi juga perlu menyesuaikan tujuan komunikasi. Jika tujuan si pengendara mobil yang menegur adalah membuat pemilik mobil memindahkan mobilnya dari gang, maka tentu isi pesannya akan berbeda jika tujuannya hanya sekedar membuat si pemilik mobil merasa bersalah. Perlu juga memahami karakter umum dari si pemilik mobil agar pesan yang disampaikan tidak membuatnya tersinggung dan marah. Jangan menggunakan kata-kata sumpah serapah, caci maki, maupun menyebut nama-nama binatang. Tidak pantas, meskipun kita berada di pihak yang benar. 

  • Waktu dan Media/Saluran

Menegur itu bisa dilakukan pada saat si salah berbuat salah atau bisa juga memberi jeda waktu. Kalau konteks si pengendara mobil, jelas waktu menegur memang lebih tepat dilakukan saat itu juga karena ia perlu melewati gang tersebut. Sedangkan media/saluran yang digunakan untuk menegur bisa secara langsung (tanpa perantara) dan tidak langsung (menggunakan perantara). Kasus pedestrian dan pengendara mobil itu contoh komunikasi secara langsung. Sedangkan kasus yang saya alami adalah contoh komunikasi tidak langsung karena menggunakan media chat pada handphone.

  • Cara Penyampaian

Setelah si penegur ini paham profil yang bagaimana yang sesuai untuk ditampilkan, mengenal karakter umum dari komunikannya, memahami tujuan ia menegur, menyusun pesan yang sesuai dengan karakter komunikan, menentukan waktu dan media yang digunakan, maka saatnya eksekusi. Bagaimana realisasi dari komunikasi menegur itu sendiri? Apakah sesuai dengan kaidah psikologi komunikasi atau tidak?

Menegur dengan disertai emosi amarah yang meledak-ledak, tentu akan sulit diterima oleh yang ditegur. Ya, meskipun dia yang salah, tetapi jika cara menegurnya tidak sesuai dengan karakter komunikan, maka tujuan menegur bisa saja gagal. Andai berhasil pun, tentu akan meninggalkan efek samping. Seperti kasus pedestrian yang menegur dengan marah-marah kepada pengendara motor. Akibatnya, si pengendara motor memang pergi tetapi tetap menggunakan trotoar dan bahkan menggeber motornya di hadapan pedestrian tersebut.

Sedangkan pada kasus si pemilik mobil juga tidak berbeda jauh. Cuplikan video menunjukkan si pengendara mobil menegur dari dalam mobilnya. Tidak keluar dan bicara langsung dengan si pemilik mobil yang parkir di gang. Alhasil, si pemilik mobil bisa jadi tersinggung karena ditegur dengan cara seperti itu dan tetap kekeuh tidak mau memindahkannya. Si pemilik mobil justru menyuruh si pengendara agar putar balik saja. Cari jalan lain. Mungkin akan lain ceritanya jika di pengendara turun dari mobil dan bicara baik-baik dengan si pemilik mobil. Menjelaskan bahwa ia perlu melewati gang tersebut dan meminta agar si pemilik mobil setidaknya memindahkan mobilnya untuk sementara waktu.

Kelima faktor itulah yang juga saya jadikan "pisau" untuk membedah penyebab saya tersinggung hingga marah. Saya memiliki karakter dasar tidak bisa berbohong, melakukan manipulasi, apalagi korupsi. Sejak kecil didikan orangtua saya seperti itu: menjunjung nilai dan menghargai sebuah kejujuran. Sehingga ketika saya salah, maka saya akan cenderung menerima-mengakui-meminta maaf. 

Hanya saja yang menegur saya bukanlah orang yang dekat dengan keseharian saya. Dia orang jauh. Tidak mengenal bagaimana karakter dasar saya. Sehingga walaupun dia melakukan hal yang benar --menegur saya--, tetapi profil dan relasinya tidak sesuai. Itulah yang membuat saya agak tersinggung di awal. Waktu itu saya merasa seperti seorang yang bermoral culas dan harus ditegasi dengan segera. Sedangkan orang yang sebenarnya berwenang menegur saya atau anggota lain yang dekat dengan keseharian saya justru tidak langsung menegur. Akan lain cerita jika yang menegur saya adalah orang yang berwenang atau yang tahu karakter dasar saya.

Tetapi saya mengingatkan diri bahwa faktor eksternal tidak bisa dikendalikan sepenuhnya. Toh, tidak akan merugi orang-orang yang berlapang dada menerima kesalahan lantas mengakui dan meminta maaf. Tidak akan merugi orang-orang yang tetap menjunjung nilai kejujuran dan menghargainya dengan pantas. Jangan sampai pula emosi membutakan diri dari cahaya kebenaran. Terlepas bagaimana cahaya kebenaran itu datang dengan damai maupun beriringan dengan konsekuensi yang pahit.

Pelajaran: 

  • Jika kita berada di posisi yang ditegur, maka berusahalah untuk mengelola emosi dan segera evaluasi: apa kesalahan kita, siapa yang menegur, bagaimana isi tegurannya, dan bagaimana cara ia menegur. Meskipun ditegur dengan cara yang tidak mengenakkan hati, berusahalah untuk tidak merasionalisasi kesalahan. Bersiap melapangkan hati untuk menerima serta mengakui kesalahan. Dan yang paling hebat adalah ketika kita mampu dengan tulus berterima kasih kepada si penegur. Sekali lagi, meskipun caranya nggak enak dan terkesan justru dia yang bersalah, tetaplah low profile because everyone do mistakes. Hindari playing victim ya. Tidak elok dan gentleman.
  • Namun, jika kita yang menegur, pastikan kita memahami 5 faktor di atas. Walaupun yang kita sampaikan adalah sebuah kebenaran, tetapi jika tidak disertai dengan cara yang baik maka justru apa yang kita lakukan bernilai salah. Oiya, satu lagi. Jangan sampai perbuatan menegur ini menyemai bibit-bibit kesombongan dalam diri. Kita menegur orang lain itu tidak sama dengan diri kita lebih baik dari orang yang kita tegur. Karena bisa jadi kesalahan yang dilakukan orang lain, tidaklah lebih besar dan lebih banyak dari kebajikan yang telah ia lakukan sedangkan kita tidak mengetahuinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun