Setelah emosi reda, saya berusaha untuk evaluatif. Memikirkan sebab yang menjadikan saya marah-marah ketika ditegur oleh seseorang. Toh, pada kenyataannya memang saya berbuat salah. Sebagaimana halnya si pengendara motor dan si pemilik mobil yang parkir di gang ketika ditegur: yang salah yang marah. Kenapa demikian?
Ada 5 Faktor
Untuk menjawabnya, kita membutuhkan sebuah "pisau" bernama ilmu komunikasi yang berkaitan dengan psikologi komunikasi sebagaimana yang saya baca di sini. Disebutkan di situ bahwa psikologi komunikasi bisa berarti sebagai proses mengenali atau mengetahui lebih lanjut tentang karakter dan sikap komunikan tanpa mengabaikan aspek kejiwaannya.
Saya pernah mendapat pelajaran tentang ilmu komunikasi semasa kuliah dulu. Dosen menyampaikan beberapa teori dasar tentang ilmu komunikasi. Tujuan komunikasi kalau dilihat dari tingkat kesulitannya sekaligus yang menjadi tujuan komunikasi, setidaknya ada 4 tingkat: 1) Kognisi, 2) Afeksi 3) Keinginan bertindak, dan 4) Bertindak. Tujuan komunikasi yang paling sulit ialah membuat orang lain bertindak atau melakukan sesuatu sesuai yang kita harapkan.
Bila kita masuk ke dalam konteks persoalan di atas tentang "menegur" dan "yang salah yang marah", maka inilah 5 faktor yang perlu diperhatikan:
- Standar Penilaian
Pada konteks komunikasi "menegur", maka si penegur berkedudukan sebagai komunikator dan yang ditegur sebagai komunikan. Sebelum menegur, tentu komunikator terlebih dahulu harus benar dalam menilai perbuatan yang dilakukan komunikan. Jika komunikator keliru menggunakan standar penilaian lantas menilai perbuatan komunikan yang berujung pada proses menegur, tentulah komunikan bisa merasa tidak bersalah sehingga marah-marah.
Coba kita kontekskan pada kasus pedestrian yang menegur pengendara motor di trotoar. Kita tahu bahwa ada aturan tertulis yang menerangkan fungsi trotoar sebagai tempat bagi pejalan kaki (pedestrian) dan pengendara kendaraan dilarang menggunakan trotoar. Ini tertuang pada Undang-undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ). Sehingga standar penilaian yang digunakan si penegur ini sudah benar. Jelaslah si pengendara motor itu yang keliru.
- Profil dan Relasi Komunikator -- Komunikan
Sebagaimana yang sudah sedikit disinggung di poin pertama, komunikator adalah orang yang memiliki maksud/tujuan tertentu dalam melakukan komunikasi. Dalam konteks menegur, maka si penegur inilah yang menjadi komunikator sedangkan yang ditegur posisinya sebagai komunikan.
Yang namanya menegur, pastinya berharap yang ditegur itu minimal mengakui kesalahannya. Syukur kalau sampai meminta maaf karena telah berbuat salah dan bertanggung jawab. Terutama jika ada pihak yang dirugikan. Tetapi dalam menegur, tidak boleh sembarangan. Harus diperhatikan profil dan relasi di antara si penegur dengan yang ditegur.
Misalnya konteks pemilik mobil yang parkir di gang dengan pengendara mobil yang mau melewati gang tersebut. Profil si penegur ini sama-sama orang biasa. Bukan pejabat atau petugas ketertiban yang kebetulan sedang patroli. Sedangkan relasi atau hubungan di antara keduanya adalah sama-sama stranger atau orang asing. Tidak pernah kenal sebelumnya. Sehingga si penegur ini tidak bisa bertindak sebagaimana pejabat bertindak atau petugas ketertiban bertindak untuk menegur si pemilik mobil yang parkir sembarangan itu tadi.  Â
- Isi Pesan
Isi pesan dalam komunikasi juga perlu menyesuaikan tujuan komunikasi. Jika tujuan si pengendara mobil yang menegur adalah membuat pemilik mobil memindahkan mobilnya dari gang, maka tentu isi pesannya akan berbeda jika tujuannya hanya sekedar membuat si pemilik mobil merasa bersalah. Perlu juga memahami karakter umum dari si pemilik mobil agar pesan yang disampaikan tidak membuatnya tersinggung dan marah. Jangan menggunakan kata-kata sumpah serapah, caci maki, maupun menyebut nama-nama binatang. Tidak pantas, meskipun kita berada di pihak yang benar.Â
- Waktu dan Media/Saluran
Menegur itu bisa dilakukan pada saat si salah berbuat salah atau bisa juga memberi jeda waktu. Kalau konteks si pengendara mobil, jelas waktu menegur memang lebih tepat dilakukan saat itu juga karena ia perlu melewati gang tersebut. Sedangkan media/saluran yang digunakan untuk menegur bisa secara langsung (tanpa perantara) dan tidak langsung (menggunakan perantara). Kasus pedestrian dan pengendara mobil itu contoh komunikasi secara langsung. Sedangkan kasus yang saya alami adalah contoh komunikasi tidak langsung karena menggunakan media chat pada handphone.
- Cara Penyampaian
Setelah si penegur ini paham profil yang bagaimana yang sesuai untuk ditampilkan, mengenal karakter umum dari komunikannya, memahami tujuan ia menegur, menyusun pesan yang sesuai dengan karakter komunikan, menentukan waktu dan media yang digunakan, maka saatnya eksekusi. Bagaimana realisasi dari komunikasi menegur itu sendiri? Apakah sesuai dengan kaidah psikologi komunikasi atau tidak?
Menegur dengan disertai emosi amarah yang meledak-ledak, tentu akan sulit diterima oleh yang ditegur. Ya, meskipun dia yang salah, tetapi jika cara menegurnya tidak sesuai dengan karakter komunikan, maka tujuan menegur bisa saja gagal. Andai berhasil pun, tentu akan meninggalkan efek samping. Seperti kasus pedestrian yang menegur dengan marah-marah kepada pengendara motor. Akibatnya, si pengendara motor memang pergi tetapi tetap menggunakan trotoar dan bahkan menggeber motornya di hadapan pedestrian tersebut.
Sedangkan pada kasus si pemilik mobil juga tidak berbeda jauh. Cuplikan video menunjukkan si pengendara mobil menegur dari dalam mobilnya. Tidak keluar dan bicara langsung dengan si pemilik mobil yang parkir di gang. Alhasil, si pemilik mobil bisa jadi tersinggung karena ditegur dengan cara seperti itu dan tetap kekeuh tidak mau memindahkannya. Si pemilik mobil justru menyuruh si pengendara agar putar balik saja. Cari jalan lain. Mungkin akan lain ceritanya jika di pengendara turun dari mobil dan bicara baik-baik dengan si pemilik mobil. Menjelaskan bahwa ia perlu melewati gang tersebut dan meminta agar si pemilik mobil setidaknya memindahkan mobilnya untuk sementara waktu.
Kelima faktor itulah yang juga saya jadikan "pisau" untuk membedah penyebab saya tersinggung hingga marah. Saya memiliki karakter dasar tidak bisa berbohong, melakukan manipulasi, apalagi korupsi. Sejak kecil didikan orangtua saya seperti itu: menjunjung nilai dan menghargai sebuah kejujuran. Sehingga ketika saya salah, maka saya akan cenderung menerima-mengakui-meminta maaf.Â
Hanya saja yang menegur saya bukanlah orang yang dekat dengan keseharian saya. Dia orang jauh. Tidak mengenal bagaimana karakter dasar saya. Sehingga walaupun dia melakukan hal yang benar --menegur saya--, tetapi profil dan relasinya tidak sesuai. Itulah yang membuat saya agak tersinggung di awal. Waktu itu saya merasa seperti seorang yang bermoral culas dan harus ditegasi dengan segera. Sedangkan orang yang sebenarnya berwenang menegur saya atau anggota lain yang dekat dengan keseharian saya justru tidak langsung menegur. Akan lain cerita jika yang menegur saya adalah orang yang berwenang atau yang tahu karakter dasar saya.
Tetapi saya mengingatkan diri bahwa faktor eksternal tidak bisa dikendalikan sepenuhnya. Toh, tidak akan merugi orang-orang yang berlapang dada menerima kesalahan lantas mengakui dan meminta maaf. Tidak akan merugi orang-orang yang tetap menjunjung nilai kejujuran dan menghargainya dengan pantas. Jangan sampai pula emosi membutakan diri dari cahaya kebenaran. Terlepas bagaimana cahaya kebenaran itu datang dengan damai maupun beriringan dengan konsekuensi yang pahit.
Pelajaran:Â
- Jika kita berada di posisi yang ditegur, maka berusahalah untuk mengelola emosi dan segera evaluasi: apa kesalahan kita, siapa yang menegur, bagaimana isi tegurannya, dan bagaimana cara ia menegur. Meskipun ditegur dengan cara yang tidak mengenakkan hati, berusahalah untuk tidak merasionalisasi kesalahan. Bersiap melapangkan hati untuk menerima serta mengakui kesalahan. Dan yang paling hebat adalah ketika kita mampu dengan tulus berterima kasih kepada si penegur. Sekali lagi, meskipun caranya nggak enak dan terkesan justru dia yang bersalah, tetaplah low profile because everyone do mistakes. Hindari playing victim ya. Tidak elok dan gentleman.
- Namun, jika kita yang menegur, pastikan kita memahami 5 faktor di atas. Walaupun yang kita sampaikan adalah sebuah kebenaran, tetapi jika tidak disertai dengan cara yang baik maka justru apa yang kita lakukan bernilai salah. Oiya, satu lagi. Jangan sampai perbuatan menegur ini menyemai bibit-bibit kesombongan dalam diri. Kita menegur orang lain itu tidak sama dengan diri kita lebih baik dari orang yang kita tegur. Karena bisa jadi kesalahan yang dilakukan orang lain, tidaklah lebih besar dan lebih banyak dari kebajikan yang telah ia lakukan sedangkan kita tidak mengetahuinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H