Latar Belakang
Sumberdaya alam (SDA) merupakan sumberdaya yang paling esensial bagi kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya. Sumberdaya alam tidak hanya menyediakan sesuatu yang diperoleh dari lingkungan fisik untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia namun juga memberikan kontribusi yang cukup besar bagi kesejahteraan suatu bangsa (wealth of nation) (Fauzi, 2006). Hilangnya atau berkurangnya ketersediaan sumberdaya alam akan berdampak besar bagi kelangsungan hidup manusia, untuk itu sumberdaya alam wajib dikelola secara hati dan bijaksana sehingga pemanfaatannya dapat berlangsung secara lestari, seimbang, selaras dan serasi.Â
Indonesia yang terdiri dari ± 17.508 pulau memiliki potensi sumberdaya alam (SDA) baik hayati maupun non hayati yang melimpah bila dibandingkan dengan negara-negara tetangganya. Hal ini terjadi karena keadaan alam Indonesia yang berbeda dari satu pulau kepulau lainnya, bahkan dari satu tempat ke tempat lainnya dalam pulau yang sama. Sistem perpaduan antara sumber daya hayati dan tempat hidupnya yang khas itu, menumbuhkan berbagai ekosistem, yang masing-masing menampilkan kekhususan pula dalam kehidupan jenis-jenis yang terdapat didalamnya. Sumber daya hayati yang paling banyak dieksploitasi pemanfaatannya adalah sumber daya yang terdapat dalam ekosistem hutan hujan yang terletak di dataran rendah . Dari segi ekonomi memang ekosistem hutan semacam inilah yang dapat mendatangkan keuntungan terbesar karena mengandung kekayaan paling tinggi yang disebabkan oleh adanya keanekaragaman hayati yang terbesar. Lagipula bagian terbesar hutan-hutan Indonesia termasuk dalam hutan hujan tropik yang terletak di dataran rendah itu. Didalam hutan semacam ini tumbuh berbagai jenis kayu yang bernilai ekonomis tinggi.
Di mata dunia internasional, hutan Indonesia berfungsi sebagai paru-paru dunia dan dianggap signifikan mempengaruhi iklim dunia. Selain itu, sebagai sumber keragaman hayati dunia hutan Indonesia telah menjadi perhatian untuk dipertahankan keberadaan dan tingkat mega biodiversity, yang memiliki 10 % tumbuhan berbunga di dunia, 17 % spesies burung , 12 % satwa mamalia, 16 % satwa reptilia, dan 16 % spesies amphibia, dari populasi dunia. Oleh karena itu, pengelolaan hutan Indonesia perlu dilakukan secara profesional dan terencana sehingga hutan dapat dimanfaatkan secara optimal, tanpa mengurangi kemampuan hutannya untuk menghasilkan manfaat berkelanjutan bagi masyarakat lokal, nasional, maupun regional, bahkan internasional. Pengelolaan hutan yang profesional dan terencana dibutuhkan, terutama untuk daerah yang rentan terhadap terjadinya degradasi lahan dan lingkungan.
Â
Isu dan PermasalahanÂ
Selama 3 dekade sektor kehutanan telah menjadi modal utama pembangunan ekonomi bangsa, dan telah memeberikan dampak positif, seperti penyerapan tenaga kerja, perolehan devisa, dan pengembangan wilayah. Pengelolaan hutan di masa lalu banyak kekurangan. Dinamika pembangunan masa lalu telah menyebabkan pemanfaatan hasil hutan, terutama kayu, yang berlebihan terbukti oleh kapasitas industri nasional yang melebihi kemampuan pasok kayu lestari (Mentri Energi dan Sumberdaya Mineral, 2011). Kekecewaan terhadap sistem pengusahaan hutan telah menimbulkan berbagai permasalahaan di beberapa daerah yang berdampak terhadap degredasi hutan. Selama periode 2000-2009, laju deforestasi diperkirakan sebesar 15,15 juta ha, dan deforestasi tersebasar terjadi di Kalimantan yaitu sekitar 5,5 juta ha atau 36,3 %. Kerusakan tersebut, disebabkan oleh pengelolaan hutan yang tidak tepat, penebangan liar, perambahan hutan, dan pembukaan hutan skala besar serta kebakaran hutan. Dampak dari kerusakan tersebut mengakibatkan berbagai bencana ekologi seperti banjir yang sepanjang tahun 2000-2007 terjadi sedikitnya 392 bencana banjir, belum lagi longsor, dan secara umum berdampak pada terjadinya climate change. Ada 2 (dua) hal yang bisa dikatakan sebagai penyebab utama dari kerusakan hutan. Yang pertama adalah adanya hak penguasaan hutan yang kita ketahui tidak lagi berjalan secara prosedural. Dalam artian instasi- instasi yang mendapat hak penguasaan hutan atau HPH tidak lagi mematuhi peraturan dalam pengelolaan hutan mereka.
Â
Sedangkan yang kedua adalah penambangan-penambangan di kawasan hutan lindung yang sampai saat ini mengalami kontroversi karena banyak investor yang sudah terlanjur menanamkan investasi mereka untuk penambangan sedangkan di Indonesia sendiri baru saja dikeluarkan UU No 41/1999 yang melarang adanya penambangan didaerah konservasi. Permasalahan pengusahaan pertambangan di hutan menjadi pelik karena ada kontrak-kontrak pertambangan yang telah dilakukan sebelum UU Nomor 41/1999 diberlakukan. Setelah UU itu berlaku, ternyata Departemen Kehutanan menetapkan bahwa lokasi pertambangan tersebut berada di dalam kawasan konservasi. Pemerintah membentuk dua tim untuk menyelesaikan masalah pertambangan yang diakibatkan oleh undang-undang No. 41/1999, di mana pertambangan terbuka tidak diperbolehkan di kawasan hutan lindung dan konservasi. Tujuannnya untuk mencari titik penyelesaian dari masalah tumpang tindih ini. Terutama difokuskan pada kontrak-kontrak pertambangan dan energi yang ditandatangani sebelum UU No. 41 /1999 tersebut.
Â
Kebijakan Eksisting
Pemerintah melalui Menteri Kehutanan Zukifli Hasan mengeluarkan kebijakan penebangan hutan alam primer dan hutan gambut tidak boleh dilakukan lagi seiring upaya yang dilakukan Kemenhut untuk memulihkan kondisi hutan Indonesia. Sementara itu masalah perizinan hutan lindung yang digunakan sebagai wilayah pertambangan terbuka tidak akan dilakukan lagi (Media Indonesia, 11 Februari 2012).
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004, Tentang Perizinan Atau Perjanjian Di Bidang Pertambangan Yang Berada Di Kawasan Hutan Menetapkan 13 (tiga belas) izin atau perjanjian di bidang pertambangan yang telah ada sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan Presiden ini, untuk melanjutkan kegiatannya di kawasan hutan sampai berakhirnya izin atau perjanjian dimaksud. Daftar perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan Yang berada di kawasan hutan yang telah ditandatangani Sebelum berlakunya undang-undang nomor 41 tahun 1999 Tentang kehutanan yang dapat melanjutkan kegiatannya Sampai berakhirnya perizinan atau perjanjiannya, perusahaan tersebut adalah :
1. Freeport Indonesia Comp. Produksi Tembaga, Emas, di Papua Mimika seluas 10.000 hektar dan di Paniai, Jaya Wijaya, Puncak Jaya seluas 202.950 Hektar
2. Karimun Granit di Karimun, Kepulauan Riau seluas 2.761 hektar
3. INCO Tbk. Nikel Produksi Sulsel, Sulteng, Sultra Luwu Utara, Kolaka, Kendari, Morowali seluas 218.528 hektar;
4. Indominco Mandiri Batubara, di Kota Bontang, Kutai Timur, Kaltim seluas 25.121 hektar
5. Aneka Tambang Tbk(A) produksi Nikel di Halmahera Tengah, Maluku Utara seluas 39.040 hektar
6. Natarang Mining Emas, dmp Konstruksi di Tenggamus LampungSelatan, seluas 12.790 hektar
7. Nusa Halmahera Minerals Emas dmp Produksi Konstruksi dan Eksplorasi di Maluku Utara Halmahera Utara, Halmahera Barat, seluas 29.622 hektar
8. Pelsart Tambang Kencana Emas dmp Eksplorasi di Kota Baru, Banjar, Tanah dan Tanah Laut, Kalimantan Selatan, seluas 201.000 hektar
9. Interex Sacra Raya Batubara, berupa Studi Kelayakan di Pasir, Tabalong, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, seluas 15.650 hektar
10. Weda Bay Nickel, produksi Nikel Eksplorasi di Halmahera Tengah Maluku Utara, seluas 76.280 hektar
11. Gag Nikel, eksplorasi Nikel di Sorong, Papua, seluas 13.136 Hektar
12. Sorikmas Mining Emas dmp, Eksplorasi, di Mandailing Natal, Sumatera Utara, seluas 66.200 hektar
13. Aneka Tambang Tbk, Eksplorasi Nikel di Kendari, Sulawesi Tenggara, seluas 14.570 hektar.
Â
Adanya Keputusan Presiden ini seakan-akan membolehkan adanya penambangan mineral di kawasan hutan, tentunya ini bertentangan dengan kaidah konservasi dan sangat mengganggu terhadap kelestarian Sumber daya Alam dan Lingkungan.Â
Adanya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2010 Tentang Wilayah Pertambangan, dimana Pasal 16 mengatur tentang Wilayah Pertambangan terdiri atas : a. Wilayah Usaha Pertambangan (WUP); b. Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR); dan/atau c. Wilayah Pencadangan Negara (WPN.) Pada pasal 18, WUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a terdiri atas : a. WUP mineral radioaktif; b. WUP mineral logam; c. WUP batubara; d. WUP mineral bukan logam; dan/atau e. WUP batuan.Â
Tentang Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), dijelaskan dalam Pasal 26, dimana Bupati/walikota menyusun rencana penetapan suatu wilayah di dalam WP menjadi WPR berdasarkan peta potensi mineral dan/atau batubara serta peta potensi/cadangan mineral dan/atau batubara. Untuk kepentingan strategis nasional, Menteri menetapkan Wilayah Pencadangan Negara (WPN)
Selain itu juga dikeluarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010, Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara, dalam pasal 26 dijelaskan untuk memperoleh Ijin Usaha Pertambangan (Eksplorasi) harus adanya pernyataan untuk mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Sedangkan untuk Ijin Usaha Pertambangan (Operasi Produksi) harus menyertakan pernyataan kesanggupan untuk mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; dan adanya persetujuan dokumen lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan Dan Fungsi Kawasan Hutan, mengatur bagaimana perubahan kawasan khususnya fungis kawasan. Dimana dalam Pasal 3, menjelaskan Lingkup pengaturan tersebut adalah a. perubahan peruntukan kawasan hutan; dan b. perubahan fungsi kawasan hutan. Sedangkan pada Pasal 4, menjelaskan Kawasan hutan yang dimaksud meliputi kawasan hutan yang memiliki fungsi pokok sebagai hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi. Dan Kawasan hutan konservasi meliputi a. kawasan suaka alam, terdiri atas : 1. cagar alam; dan 2. suaka margasatwa. b. kawasan pelestarian alam, terdiri atas : 1. taman nasional; 2. taman wisata alam; dan 3. taman hutan raya. c. taman buru. Dan Kawasan hutan produksi, meliputi a. hutan produksi terbatas; b. hutan produksi tetap; dan c. hutan produksi yang dapat dikonversi.
Perubahan fungsi kawasan hutan dapat dilakukan (Pasal 7) Perubahan peruntukan kawasan hutan dilakukan melalui a. tukar menukar kawasan hutan; atau b. pelepasan kawasan hutan. Perubahan peruntukan yang dilakukan melalui tukar menukar kawasan hutan hanya dapat dilakukan pada:a. hutan produksi tetap; dan/atau b. hutan produksi terbatas. Tukar menukar kawasan hutan dilakukan untuk: a. pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang bersifat permanen; b. menghilangkan enclave dalam rangka memudahkan pengelolaan kawasan hutan; atau c. memperbaiki batas kawasan hutan. Jenis pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang bersifat permanen ditetapkan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri terkait. Tukar menukar kawasan hutan dapat dilakukan dengan ketentuan: a. tetap terjaminnya luas kawasan hutan paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi dengan sebaran yang proporsional; dan b. mempertahankan daya dukung kawasan hutan tetap layak kelola.
Selain melalui proses Tukar menukar kawasan, perubahan fungsi kawasan hutan dapat dilakukan dengan Pelepasan kawasan hutan. Pelepasan kawasan hutan hanya dapat dilakukan pada hutan produksi yang dapat dikonversi. Pelepasan kawasan hutan dapat dilakukan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan, salah satunya pertambangan. Kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi tidak dapat diproses pelepasannya pada provinsi yang luas kawasan hutannya kurang dari 30% (tiga puluh perseratus), kecuali dengan cara tukar menukar kawasan hutan.
Â
Gambar 1. Peta Peruntukan Kawasan Hutan di Kalimantan Timur Berdasarkan SK 79/2001
Â
Â
Â
Tabel 1. Luas Kawasan Hutan Kalimantan TimurÂ
No.
Fungsi
SK 79/2001 (Ha)
SK 79/2001
Updated (Ha)
1.
KSA/KPA
2.165.198
1.773.804
2.
Hutan Lindung
2.751.702
2.790.890
3.
Hutan Produksi Terbatas
4.612.965
5.288.244
4.
Hutan Produksi
5.121.688
4.531.551
5.
Hutan Produksi Konversi
-
-
Total Kws. Hutan
14.651.553
14.384.489
    Â
Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah yang mengatur perubahan fungsi kawasan hutan untuk kegiatan diluar kehutanan, seperti pertambangan diharapkan mampu mengurangi kerusakan hutan akibat penambangan.Â
Masalahnya adalah banyak perusahaan tambang yang melakukan kegiatan eksplorasi dan produksinya dikawasan hutan lindung dan konservasi, malah ada yang berada di kawasan taman nasional, contohnya PT Aneka Tambang dan Chevron yang melakukan eksplorasi di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Tata Ruang Lokasi Pongkor, dan Pemanfaatan Lahannya. Rencana Tata Ruang Kabupaten Bogor dalam tata ruangnya menyebutkan bahwa lokasi kecamatan Nanggung ada peruntukan untuk tambang serta kawasan Lindung. RUTR Jabar menyebut bahwa Daerah Pongkor sebagai Kawasan Lindung, namun Pongkor sebagai kawasan Strategis Propinsi yang bisa dilakukan aktivitas tambang. Pasca keluarnya Permenhut 175/Kpts-II/2003, perluasan Taman Nasional Gunung Halimin Salak dan perubahan fungsi hutan dengan pengalihan lahan perhutani menyebabkan sebagian besar aktivitas kawasanPongkor berada diareal Taman Nasional, dan pada Keputusan Menteri Kehutanan No 195, tentang Penunjukkan Kawasan Hutan Jabar, intinya mengembalikan fungsi hutan sebagaimana semula. Tahun 2009 ditemukan tambahan cadangan yang memperpanjang umur tambang sampai 2018.
Â
Selain diatur tata cara memperoleh kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan, juga pemerintah mengeluarkan kebijakan yang mengatur tentang kegiatan pasca penambangan. Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2010 Tentang Reklamasi Dan Pascatambang, dalam pasala 4, dijelaskan Prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pertambangan paling sedikit meliputi: a. perlindungan terhadap kualitas air permukaan, air tanah, air laut, dan tanah serta udara berdasarkan standar baku mutu atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. perlindungan dan pemulihan keanekaragaman hayati; c. penjaminan terhadap stabilitas dan keamanan timbunan batuan penutup, kolam tailing, lahan bekas tambang, dan struktur buatan lainnya; d. pemanfaatan lahan bekas tambang sesuai dengan peruntukannya; e. memperhatikan nilai-nilai sosial dan budaya setempat; dan f. perlindungan terhadap kuantitas air tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undanganÂ
Kebijakan-kebijakan ini dkeluarkan untuk menjamin stabilitas ekosistem yang diakibatkan oleh kegiatan pertambangan. Perusahaan pertambangan wajib melakukan kegiatan reklamasi pasca penambangan. Selain pertambangan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar, juga banyak pertambangan yang dilakukan oleh rakyat. Dengan teknologi yang sangat sederhana, kekuatan modal yang kecil serta dengan pemahaman yang rendah terhadap kelangsungan sumber daya alam, kegiatan Penambangan rakyat sering juga menimbulkan kerusakan alam yang cukup berat. Disamping itu sering menimbulkan korban nyawa dari para penambang, apalagi jika penambang dilakukan secara illegal atau pertambangan tanpa ijin (Peti). Untuk mengatasi masalah ini pemerintah mengeluarkan kebijakan berupa Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2000, Tentang Koordinasi Penanggulangan Masalah Pertambangan Tanpa Izin.  Isi dari Inpres tersebut adalah :
1. Menghormati hak-hak ulayat dan kepentingan masyarakat adat setempat sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Mengarahkan kesadaran dan ketaatan hukum masyarakat dalam melakukan kegiatan usaha termasuk kegiatan usaha pertambangan secara benar dan legal sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan apabila diperlukan melakukan tindakan represif secara hukum.
3. Memperhatikan alokasi sumber daya alam bagi masyarakat setempat.
4. Memperhatikan kemitraan usaha dan kesempatan kerja bagi masyarakat setempat berdasarkan prinsip yang saling menguntungkan.
5. Memperhatikan sarana dan prasarana kesejahteraan dan harmonisasi kehidupan antara masyarakat perusahaan dan masyarakat setempat.
6. Menciptakan kemungkinan kemitraan antara koperasi atau usaha kecil dengan pengusaha menengah dan pengusaha besar di luar kegiatan pokok pertambangan.
7. Mengupayakan adanya penegakan hukum (law enforcement) dan pemberlakuan hukum (law in order) guna terjaminnya kepastian usaha pertambangan.
Â
Sintesis Terhadap Kebijakan dan Dampak terhadap Lingkungan
Informasi mengenai kerusakan hutan Indonesia berserta dampak buruk yang menyertainya ternyata tidak menyurutkan langkah pemerintah untuk mendukung kebebasan industri tambang guna menghancurkan hutan di Indonesia melalui operasi tambangnya. Keanekaragaman hayati dan keberlanjutan kehidupan masyarakat yang bergantung pada jasa lingkungan alam pun dikalahkan oleh mimpi melambungkan angka pertumbuhan ekonomi yang dijanjikan oleh industri tambang. UU No. 41 /1999 yang melarang adanya kegiatan pertambangan di areal hutan lindung nampaknya tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perbaikan kondisi hutan Indonesia. Setelah tumbangnya kekuasaan Soeharto, setidaknya ada 2 kebijakan public yang dikeluarkan oleh 2 presiden yang berbeda dengan substansi yang sama yaitu memberikan keleluasaan industri tambang melakukan aktivitasnya di hutan lindung tanpa dihantui oleh adanya dampak ekologi dan sosial. Presiden Megawati misalnya saat berkuasa mengeluarkan PP pengganti UU (Perpu) No. 1 tahun 2004 untuk menerobos UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan yang melarang kegiatan penambangan di areal hutan lindung. Setelah Perpu itu, tidak lama kemudian tepatnya tanggal 12 Mei 2004 keluarlah Keputusan Presiden (Keppres) yang mengizinkan 13 perusahaan tambang (dari 22 perusahaan yang diajukan) untuk melanjutkan operasinya di kawasan hutan lindung.
Pemberian keleluasan kepada industri-industri tambang juga dilakukan oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Menjelang masa jabatannya berakhir, SBY justru secara tiba-tiba mengeluarkan PP No. 2 tahun 2008 tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan Negara bukan pajak yang berasal dari –penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang berlaku di Departemen Kehutanan. Peraturan tersebut semakin menegaskan posisi pemerintah yang menganakemaskan industri pertambangan. Betapa tidak, hanya dengan membeyar Rp. 300 per meternya maka kawasan hutan lindung dapat segera burubah fungsi menjadi kawasan pertambangan. Kemudian sekarang melalui Menteri Kehutanan, pemerintah mengelurkan kebijakan bahwa kegiatan penebangan hutan dan penggunaan hutan lindung sebangai kawasan tambang terbuka tidak boleh dilakukan lagi seiring upaya yang dilakukan Kemenhut untuk memulihkan kondisi hutan Indonesia. Kebijakan ini hendaknya disertai dengan tidakan yang nyata, jangan sampai terjadi seperti yang sudah-sudah bahwa kebijakan hanyalah kebijakan namun kegiatan pertambangan tetap dilakukan. Pencabutan ijin perusahaan dengan lokasi yang menyalahi aturan harus dilakukan. Pemerintah harus tegas terhadap perusahaan-perusahaan pertambangan walaupun telah mengantongi ijin. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup mengenai audit lingkungan pada Kepmen LH No. 30 tahun 2001 dapat pula digunakan untuk mengevaluasi kepatuhan perusahaan-perusahaan dalam mengelola lingkungan, jika terjadi penyimpangan maka pemerintah harus menindak tegas perusahaan-perusahaan tersebut. Kali ini pemerintah harus lebih serius untuk mengatasi masalah kerusakan hutan yang semakin parah karena selama ini pemerintah dianggap tidak konsisten dalam menerapkan kebijakan dalam menangani permasalan tersebut sehingga menyebabkan hutan lindung semakin terancam. Harus disadari bahwa usaha mengubah fungsi kawasan hutan lindung untuk pertambangan hanya akan mendatangkan kerugian yang jauh lebih besar dimasa yang akan dating dibandingkan dengan manfaat yang bias dicapai saat ini.
Â
Gambar 2. Kerusakan Hutan Lindung akibat dari Penambangan
Gambar 3. Media Massa sering memberitakan tentang kerusakan Hutan akibat penambangan dalam kawasan
Â
Kesimpulan
Adanya kegiatan pertambangan di kawasan hutan baik yang legal maupun illegal, jelas merusaka terhadap kelestarian sumber daya alam dan lingkungan, selain juga membahayakan bagi nyawa khususnya penambang illegal. Pemahaman terhadap kaidah-kaidah konservasi SDA yang masih rendah dari para operator pertambangan, menyebabkan sering terabaikannya kebijakan-kebijakan yang sudah dikeluarkan pemerintah, baik undang-undang, peraturan presiden, instruksi presiden maupun peraturan menteri dll.
Kebijakan yang dikeluarkan dalam usaha pertambangan, diatur mulai dari tata cara memperoleh kawasan hutan yang akan digunakan pertambanagan, kegiatan pelaksanaan eksplorasi atau produksi pertambangan, sampai bagaimana pasca penambangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H