5. Aneka Tambang Tbk(A) produksi Nikel di Halmahera Tengah, Maluku Utara seluas 39.040 hektar
6. Natarang Mining Emas, dmp Konstruksi di Tenggamus LampungSelatan, seluas 12.790 hektar
7. Nusa Halmahera Minerals Emas dmp Produksi Konstruksi dan Eksplorasi di Maluku Utara Halmahera Utara, Halmahera Barat, seluas 29.622 hektar
8. Pelsart Tambang Kencana Emas dmp Eksplorasi di Kota Baru, Banjar, Tanah dan Tanah Laut, Kalimantan Selatan, seluas 201.000 hektar
9. Interex Sacra Raya Batubara, berupa Studi Kelayakan di Pasir, Tabalong, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, seluas 15.650 hektar
10. Weda Bay Nickel, produksi Nikel Eksplorasi di Halmahera Tengah Maluku Utara, seluas 76.280 hektar
11. Gag Nikel, eksplorasi Nikel di Sorong, Papua, seluas 13.136 Hektar
12. Sorikmas Mining Emas dmp, Eksplorasi, di Mandailing Natal, Sumatera Utara, seluas 66.200 hektar
13. Aneka Tambang Tbk, Eksplorasi Nikel di Kendari, Sulawesi Tenggara, seluas 14.570 hektar.
Â
Adanya Keputusan Presiden ini seakan-akan membolehkan adanya penambangan mineral di kawasan hutan, tentunya ini bertentangan dengan kaidah konservasi dan sangat mengganggu terhadap kelestarian Sumber daya Alam dan Lingkungan.Â
Adanya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2010 Tentang Wilayah Pertambangan, dimana Pasal 16 mengatur tentang Wilayah Pertambangan terdiri atas : a. Wilayah Usaha Pertambangan (WUP); b. Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR); dan/atau c. Wilayah Pencadangan Negara (WPN.) Pada pasal 18, WUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a terdiri atas : a. WUP mineral radioaktif; b. WUP mineral logam; c. WUP batubara; d. WUP mineral bukan logam; dan/atau e. WUP batuan.Â
Tentang Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), dijelaskan dalam Pasal 26, dimana Bupati/walikota menyusun rencana penetapan suatu wilayah di dalam WP menjadi WPR berdasarkan peta potensi mineral dan/atau batubara serta peta potensi/cadangan mineral dan/atau batubara. Untuk kepentingan strategis nasional, Menteri menetapkan Wilayah Pencadangan Negara (WPN)
Selain itu juga dikeluarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010, Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara, dalam pasal 26 dijelaskan untuk memperoleh Ijin Usaha Pertambangan (Eksplorasi) harus adanya pernyataan untuk mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Sedangkan untuk Ijin Usaha Pertambangan (Operasi Produksi) harus menyertakan pernyataan kesanggupan untuk mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; dan adanya persetujuan dokumen lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan Dan Fungsi Kawasan Hutan, mengatur bagaimana perubahan kawasan khususnya fungis kawasan. Dimana dalam Pasal 3, menjelaskan Lingkup pengaturan tersebut adalah a. perubahan peruntukan kawasan hutan; dan b. perubahan fungsi kawasan hutan. Sedangkan pada Pasal 4, menjelaskan Kawasan hutan yang dimaksud meliputi kawasan hutan yang memiliki fungsi pokok sebagai hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi. Dan Kawasan hutan konservasi meliputi a. kawasan suaka alam, terdiri atas : 1. cagar alam; dan 2. suaka margasatwa. b. kawasan pelestarian alam, terdiri atas : 1. taman nasional; 2. taman wisata alam; dan 3. taman hutan raya. c. taman buru. Dan Kawasan hutan produksi, meliputi a. hutan produksi terbatas; b. hutan produksi tetap; dan c. hutan produksi yang dapat dikonversi.
Perubahan fungsi kawasan hutan dapat dilakukan (Pasal 7) Perubahan peruntukan kawasan hutan dilakukan melalui a. tukar menukar kawasan hutan; atau b. pelepasan kawasan hutan. Perubahan peruntukan yang dilakukan melalui tukar menukar kawasan hutan hanya dapat dilakukan pada:a. hutan produksi tetap; dan/atau b. hutan produksi terbatas. Tukar menukar kawasan hutan dilakukan untuk: a. pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang bersifat permanen; b. menghilangkan enclave dalam rangka memudahkan pengelolaan kawasan hutan; atau c. memperbaiki batas kawasan hutan. Jenis pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang bersifat permanen ditetapkan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri terkait. Tukar menukar kawasan hutan dapat dilakukan dengan ketentuan: a. tetap terjaminnya luas kawasan hutan paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi dengan sebaran yang proporsional; dan b. mempertahankan daya dukung kawasan hutan tetap layak kelola.
Selain melalui proses Tukar menukar kawasan, perubahan fungsi kawasan hutan dapat dilakukan dengan Pelepasan kawasan hutan. Pelepasan kawasan hutan hanya dapat dilakukan pada hutan produksi yang dapat dikonversi. Pelepasan kawasan hutan dapat dilakukan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan, salah satunya pertambangan. Kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi tidak dapat diproses pelepasannya pada provinsi yang luas kawasan hutannya kurang dari 30% (tiga puluh perseratus), kecuali dengan cara tukar menukar kawasan hutan.
Gambar 1. Peta Peruntukan Kawasan Hutan di Kalimantan Timur Berdasarkan SK 79/2001
Â
Â