Prinem. Itu jawaban salah satu anak buah kapal setelah saya tanya pulau apa ini ketika  turun. Saya tidak mengambil gambar di sini. Yang saya ingin lakukan adalah belajar menikmati indahnya bawah laut. Sama halnya tempat-tempat yang lain di Raja Ampat, airnya jernih. Rifa anak bu Aisyah sampai mengatakan "seperti ada kota di bawah laut" ketika ia mengangkat kepala setelah bersnorkling ria.
Tepat pukul 4 sore kami meninggalkan pulau Prinem. Terlalu cepat sebenarnya. Tapi ini demi menghindari ombak yang semakin meninggi menjelang petang. Setiba di dermaga saya bertemu teman lama saat kuliah. Marthen Bertobui. Setau saya dari akun sosial medianya, ia baru pulang dari Amerika dan Korea Selatan. Sekarang ia bekerja di Asosiasi Turis di Raja Ampat. Kantornya persis di depan dermaga.Â
Jadi setiap turis Internasional yang mau mengelilingi Raja Ampat harus melaporkan identitas dan sebagainya di kantor Marthen. Terjawab sudah kenapa ia bisa sampai bisa jalan-jalan ke luar negeri setelah kami bercakap-cakap. Ia masih saja rendah hati meski sudah memiliki pekerjaan yang "wah" menurut saya.
Dari marten saya belajar. Bahwa tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Kalau dulu saat kuliah ia bisa dibilang mahasiswa biasa saja, kini ia membuktikan kalau ia juga memiliki potensi dn kemampuan yang luar biasa. Kalau dulu ia masih terbata-bata berbahasa Inggris. Kini ia sudah lebih lancar dibanding saya. So. Keep fighting till the end.
Untuk kesekian kalinya, bersyukur banyak-banyak bahwa selama di Raja Ampat tidak terjadi apa-apa. Semoga korban tsunami diberi kekuatan dan kesabaran.
Salam hangat dari Kota Sorong Papua Barat.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H