Persaingan bisnis hampir selalu menjadi kambing hitam atas banyak kesalahan yang disengaja. banyak pelaku bisnis yang secara sadar mencoba mencari celah dari peraturan untuk menambah keuntungan. jikalau kita menyimak dunia bisnis, sikut menyikut, saling hantam, saling tikam adalah sesuatu yang dianggap lumrah. Bisnis tidak mengenal teman atau saudara, karena dalam bisnis hanya ada satu kepentingan, mendapatkan keuntungan.
Well, tidak ada yang salah dari sebuah usaha untuk mendapatkan keuntungan. Yang menjadi salah adalah proses mendapatkan keuntungan. Banyak dari pelaku bisnis yang sudah berusaha menggunakan segala cara, bahkan bila perlu menghajar rambu-rambu peraturan yang ada demi memaksimalkan keuntungan. Bila perlu, mereka akan mematikan pesaing dengan cara yang logis maupun tak logis, dengan cara kasat mata ataupun tidak.
Dalam kehidupan, persaingan adalah sesuatu yang normal. Kata orang bijak; hidup tanpa persaingan adalah kehidupan yang telah mati". Bicara soal persaingan, kadang kita lupa hakikat dari persaingan untuk menuju yang terbaik itu. Orang telah lupa bahwa untuk memenangkan sesuatu, maka harus ditempuh kerja keras, dan kadang orang tidak bisa mendapatkan hasil semaksimal yang diharapkannya. Kadang kerja keras justru menemui kegagalan. Kehidupan yang makin kompetitif makin membawa orang pada perilaku "lebih memandang hasil akhir daripada proses". Bagaimana orang lebih menghargai orang yang terlihat mewah sesaat daripada orang yang terlihat sangat sederhana tetapi kehidupannya makin menanjak walau perlahan.
Maka tak heran ketika banyak atlet memutuskan untuk menggunakan doping guna mendongkrak kemampuannya. maka tak heran ketika banyak pengusaha menggunakan beragam cara, termasuk pelicin untuk menggolkan proyeknya. orang lupa bahwa untuk mendapatkan hasil baik, maka perlu ditempuh dengan cara yang baik pula.
Kasus TVONE adalah sebuah contoh kasus dimana persaingan bisnis sedikit banyak telah mendistorsi tujuan mulia sebuah jurnalisme. Kasus terbaru yang melibatkan "markus jadi-jadian dan menempatkan sang host, IR sebagai pesakitan dapat dilihat sebagai warning yang kasat mata akan dahsyatnya "persaingan" di dunia media.
Ada beberapa macam persaingan yang nampak disini.
Yang pertama; persaingan antar media. Sejak TVONE menahbiskan diri mereka sendiri sebagai TV berita, mau tidak mau, TVONE harus berhadapan (head to head) dengan TV lain yang sudah mencitrakan diri sebagai TV berita. tentu saja, sebagai pendatang baru, TVONE harus berjuang sekuat tenaga untuk memperkuat citra sebagai TV berita.
Persaingan kedua adalah persaingan antar HOST yang melibatkan IR dengan host dari TV lain. IR harus berjuang mempertahankan posisinya sebagai "anchor" (maaf kalo salah istilah) dengan segala cara guna mendongkrak citra diri di mata pemirsa TV serta mendongkrak citra program -yang ujung2nya kenaikan rating dan share, dimana pasti melibatkan puluhan pemasang iklan, serta secara umum mendongkrak citra stasiun TVONE sendiri.
Persaingan ketiga adakah di internal TVONE sendiri. Akan sangat naif ketika ada yang mengatakan tidak ada persaingan dalam internal suatu organisasi. Nah, sebagai seorang host yang sedang cukup naik daun, ditambah dengan jam terbang cukup tinggi dan merupakan jebolan dari 2 TV swasta yang punya nama, IR punya kewajiban "moral" pada dirinya sendiri untuk tetap bertahan di papan atas. IR juga harus menghadapi tekanan dari kiri dan kanannya dengan datangnya anchor2 baru yang mungkin; lebih cantik, lebih menarik, atau bisa juga lebih cerdas.
Menyikapi tiga persaingan di atas, tampaknya ada kajian yang cukup menarik terhadap apa yang dilakukan oleh TVONE dan IR.
Sadar bahwa harus "berperang" dengan stasiun TV berita yang lain, maka TVONE berpikir keras untuk menghadirkan sebuah berita yang "bombastis" untuk menarik perhatian pemirsa. Jujur saja, jutaan pemirsa di Indonesia banyak yang mengakui bahwa pemberitaan berita saat ini sudah sangat mirip dengan infotainment. Untuk sebuah kasus, kita akan disuguhi berita yang SAMA, hanya dengan sedikit editing di redaksionalnya, di banyak waktu. Seperti infotainment, berita politikpun dihadirkan hampir setiap saat dengan materi yang nyaris sama tanpa perkembangan baru. Untuk menghilangkan kesan monoton (mungkin) pihak stasiun TV mengemas dalam acara yang berbeda dan dipandu oleh host yang berbeda pula. Akan tetapi, sejatinya mereka sadar bahwa sesuatu yang monoton akan membawa kejenuhan pada pemirsa yang ujung-ujungnya akan meninggalkan mereka. Maka, KEMUNGKINAN: untuk mendapatkan berita, terpaksa mereka harus MEREKAYASA sebuah berita dan mengemas dengan sebaik mungkin. Itu Kemungkinan PERTAMA.
Artinya, Ide itu berasal dari tim kreatif pihak TV dalam hal ini TVONE yang mengkonsep acara "inverview wiht the MARKUS" itu.
Kemungkinan KEDUA adalah: ketika IR memiliki wewenang untuk mengkonsep acara tersebut, bisa sebagai konseptor tunggal atau terlibat didalamnya, maka untuk mengantisipasi persaingan baik terhadap program sejenis dari TV lain maupun antisipasi persaingan dengan anchor2 yang lain di internal TVONE, IR mencoba membuat sebuat ":terobosan" untuk mengangkat namanya sebagai seorang HOST yang berhasil mewawancara seseorang uang disebut sebagai MARKUS.
Praktek seperti ini bisa jadi bukan IR seorang yang melakukan, hanya persoalannya, kasus yang diangkat IR ini sangat sensitif, terlebih ini menyangkut institusi penegak hukum, maka wajar jika mendapat perhatian khusus. Andai hipotesis kedua ini benar, maka sesungguhnya, IR sudah sangat paham resiko yang harus dihadapinya, baik secara hukum maupun reputasinya sebagai host TV.
Pertanyaannya adalah:
1) Apakah tingkat persaingan didunia Broadcasting kita sudah sedemikian mengerikan sehingga untuk survive seserorang harus mempertaruhkan segalanya hingga nama besar dan reputasi adalah sesuatu yang cukup pantas untuk dipertaruhkan?
2) Apakah kasus "wawancara MARKUS JADI-JADIAN" ini inisiatif IR sendiri? bukankan TVONE adalah sebuah institusi yang besar yang tentu sangat menimbang sebuah keputusan vital?
3) Adakah IR dan tim redaksinya bekerja berdasar ide mereka atau karena tekanan, yang bisa berasal dari manapun?
Masih terlalu dini untuk disimpulkan siapa yang benar-benar bersalah dalam kasus ini. Akan tetapi, kasus ini akan selalu menyisakan sebuan trauma besar buat kita masyarakat awan yang mengandalkan media untuk mendapatkan informasi,
Satu Pertanyaan Penutup adalah:
Kita sudah cukup apatis dengan kejujuran orang-orang yang mengaku wakil kita di Senayan sana.
Kita Juga sudah cukup apatis dengan pertikaian politik yang justri banyak digunakan untuk kepentingan sesaat dan golongan tertentu.
Jika media saja sudah TEGA-atas alasan apapun- untuk membuat sebuah informasi, dan bukan menginformasikan data yang ada, maka SIAPA LAGI YANG HARUS KITA PERCAYA DI NEGERI INI?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H