Dokter mendiagnosis dia menelan air ketuban sehingga masuk ke paru-parunya, bayi itulah yang kami namai Muh. Afhamul Hikam.
Komentar, ketakutan terhadap anggapan banyak orang, kondisi kesehatan baby Aam saat itu yang seringkali mengalami muntah, dan anggapan kegagalan dari pikiran saya sendiri lah yang kemudian memperparah "gangguan mental" yang saya alami.Â
Setelah 3 hari Baby Aam dirawat dan diinkubator di rumah sakit, akhirnya dia pulang ke rumah.
Sebuah kesyukuran, tapi ternyata saya benar-benar mengalami gangguan yang bisa saja jika tidak disertai dengan support system yang baik di sekeliling saya.
Kata sebagian praktisi kesehatan mental hal tersebut bisa berujung dengan istilah "post partum deppression".Â
Bersyukurnya saya memiliki ibu dan suami yang bisa menenangkan kondisi saya.
Saat kondisi mental saya drop, saya tidak mampu menggendong anak saya. Jangankan menggendong, menyentuhnya pun saya tak mau.Â
Saya selalu menangis sejadi-jadinya, menganggap diri saya tak mampu mengurusnya. Tak bisa menjaganya dan tidak mampu menjadi ibu yang baik.Â
Banyak orang yang tidak mengetahui cerita di balik postingan-postingan membahagiakan saya dengan baby Aam sekarang ini, bahwa kami pernah sama-sama melewati masa-masa sulit. Setelah saya melalui masa-masa itu dan mulai pulih karena support dari suami dan ibu saya.
Saya kemudian memahami bahwa orang seperti saya ternyata pernah mengalami baby blues. Sekuat apapun mental seseorang karena kondisi dan situasi yang ada di sekelilingnya, bisa saja mentalnya up and down. Karena itu, mengomentari kondisi orang lain yang betul-betul kita tidak ketahui ada baiknya tidak perlu kita lakukan.Â